Share

BAB 6 | Adat dan Dibuat-buat

“Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”

~

6 Tahun Lalu. Di rumah duka keluarga Rania

Apa yang biasa dilakukan orang saat melayat di rumah orang mati yang didalamnya masih ada mayat yang belum dikuburkan?

Menyambangi keluarga yang ditinggal, memberi semangat, atau membaca ayat-ayat kitab suci, dan banyak hal baik yang lain.

Tapi rupanya hal ini tak berlaku di kediaman Rania saat ini. Jenazah ayah, ibu, dan kedua adiknya sudah sampai di rumah sejak setengah jam yang lalu, tapi orang-orang yang datang malah sibuk berbicara. Atau lebih tepatnya bergosip.

Hal ini disebabkan, keluarga yang ditinggal, yang mana merupakan Rania seorang diri, sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya sejak tadi pagi. Usut punya usut, ternyata Rania hanya diam di kamar yang dikunci dari dalam dan tidak keluar sama sekali bahkan saat mayat keluarganya datang. Hal itulah yang jadi pergunjingan warga yang sedang melayat di rumahnya.

Di kampung Rania terdapat adat dimana pihak keluarga yang ditinggal harus menyediakan makanan bagi para pelayat yang datang dan menemui mereka. Tapi saat itu, keadaan benar-benar di luar kendali dan Rania kepalang tak sanggup bertemu banyak orang. Untuk keluar meminta makan saja dia tidak ada hasrat, bagaimana bisa menjamu orang?

Karena itulah, di dalam rumah duka tersebut terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu yang hanya fokus memperhatikan ‘keselamatan’ Rania. Sedangkan kubu kedua adalah kubu kritis yang sibuk protes kenapa para pelayat tidak mendapat sambutan dari tuan rumah.

Salah satu pemimpin kubu kedua adalah adik ipar ayah Rania, istri dari adik kandungnya atau bibi Rania. Daritadi dia sibuk mondar-mandir mengetuk pintu kamar Rania yang tertutup rapat, kembali ke dapur berkomentar, lalu ke depan lagi menyambut tamu sekaligus memberi tahu orang-orang,

“Nggak tahu dari tadi anaknya ada di kamar terus. Lah yo harusnya tamu ini disambut.”

Para tamu yang merasa bahwa bibi Rania adalah yang dituakan saat itu, otomatis setuju dengan pendapatnya dan menanggapi,

Lah kan harusnya ada tamu itu disambut gitu, kan. Kok jadi ditinggal tidur di kamar.”

Parahnya, Rania mendengar hal itu semua dari dalam kamar yang tidak kedap suara dari luar. Banyak umpatan dan protes yang ingin ia teriakkan langsung pada orang-orang di luar sana. Tapi saat ia berusaha melangkah keluar, dirinya berbalik sesaat sebelum menyentuh pintu dan kemudian menangis kembali.

Nilam dan Randi dari tadi hanya menahan diri di depan pintu kamar Rania sekaligus menahan emosi melihat orang-orang yang yang membicarakan hal-hal yang tidak berguna di hadapan mereka. Nilam tahu betul bahwa bibi Rania itu adalah seorang penjilat dan suka cari muka. Dia berlagak peduli dengan sok sibuk mondar-mandir depan belakang padahal segala hal sudah disiapkan oleh orang tua angkat Rania, Pak Yanto dan istrinya.

Bibi Rania bekerja sebagai ART di rumah Rania. Tidak sekali dua kali Nilam melihat orang itu bersikap sinis, saat keluarga Rania masih hidup pun, dia sering memperlihatkan kekasarannya baik itu pada tamu atau tuan rumah alias ayah dan ibu Rania. Ayah Rania tidak enak hati memecatnya yang mana bisa berimbas pada silaturahmi keluarga nantinya.

Wanita yang sudah banyak memiliki kerutan tu menghampiri Nilam dan Randi yang duduk di depan pintu kamar Rania dengan mata melotot yang sudah hampir keluar. Tangan kiri sudah bertengger di pinggang serta telunjuk tangan kanannya bersiap menyalah-nyalahkan orang.

“Rania kemana, seh?” Sentaknya sambil menodong muka Nilam. 

Karena teriakannya cukup keras, orang-orang yang awalnya berada di dapur berkumpul ke depan kamar Rania. Kejadian seperti ini lebih menarik perhatian banyak orang memang.

Nilam memilih untuk diam dan beralih dari pandangan wanita yang seusia ibunya itu. Tubuhnya terlalu lelah, bahkan kantung mata nya besar, sisa dari kebanyakan menangis.

Pandangan Bibi Rania beralih pada Randi di sisi lain daun pintu yang tak kalah ikut memalingkan wajah daripadanya. Tapi tanpa disangka, pintu yang dari tadi tertutup di samping mereka terbuka dan menampakkan Rania yang kacau balau dengan kondisi yang tidak sanggup diceritakan.

Belum sempat gadis itu bicara, sang Bibi langsung menyemprot dengan perkataan pedasnya,

“Dari pagi nggak keluar dari mana saja se,  Ran?”

Rania hanya menghembuskan nafas kasar dan menatap jengah,

“Lah ya banyak tamu itu loh di depan sana ditemuin! Malah jadi ndekem di kamar seharian nggak keluar-keluar. Itu tamunya dikasih makan apa? Suguhanmu di meja depan wis habis.”

Rania melongo tak percaya dengan apa yang bibinya katakan. Begitu pantaskah mengatakan hal seperti itu pada orang yang sedang berduka ketika ditinggal 4 keluarganya sekaligus?

Mama angkat Rania menghampiri sang Bibi dan bicara sedikit berbisik padanya,

“Sudah, dilihat orang banyak, malu. Saya dan suami sudah siapkan beberapa suguhan di depan. Rania sedang berduka tolong dimaklumi.” Ucap sang Mama mencoba halus.

“Kalau masalah berduka, Bu, saya juga berduka. Suami saya juga ada di mobil yang sama dengan orang tua Rania, loh! Tapi saya masih tegar dan nggak nyerah sama keadaan. Anak muda sekarang ini apa-apa dibawa ke penyakit jiwa. Bilang aja males.”

Nilam menggertak,

“Tapi suami Bibi nggak mati. Rania empat-empatnya loh, Bi. Barengan.”

“OH JADI KAMU NYUMPAHIN SUAMI SAYA MATI?” Serang balik sang bibi.

Suami dari bibi Rania adalah sopir keluarga. Pada kecelakaan itu, pamannya turut menjadi korban dan menjadi satu-satunya yang selamat. Beliau sekarang dirawat di rumah sakit karena mengalami beberapa luka.

“SAYA DAN SUAMI MEMANG CUMA PESURUH DI RUMAH INI. TAPI KAMI JUGA KELUARGA!” Lanjut sang bibi dengan nada yang sangat tinggi.

“Berhenti, dong. Kok jadi merembet kemana-mana.” Lerai Mama angkat Rania memegangi pundak sang Bibi.

Ia berusaha mendorong wanita yang sedang emosi sambil melotot ke arah Rania itu untuk kembali  ke dapur dan memisahkan mereka.

Mata Rania memandang orang-orang yang berdiri mengerumuninya dari pagar depan hingga gorden ruangan sebelum kamarnya. 

Tatapan itu..

Rania benci tatapan itu..

Kenapa mereka semua menatapnya seolah Rania yang bersalah?

Suara desas-desus orang-orang seolah menggunjingnya atas duka yang sedang ia alami terdengar paling jelas untuk pendengaran Rania.

Kasihan dia ditinggal orang tua bersamaan.

Kasihan dia kehilangan seluruh keluarganya.

Tapi bibinya tadi benar.

Adat kita seperti itu, kenapa dia tidak mengerti?

Dia terlalu dimanja orang tuanya dahulu.

Rania terlalu dibebaskan.

Masa adat orang mati saja tidak mengerti? Apa dia tidak pernah melayat?

Apatis sekali kalau begitu?

Suara suara sumbang yang harusnya tetap dibiarkan terlilit dalam putaran otak itu terus terdengar jelas di telinga Rania. Ia memegangi tangannya dan mulai merasa sakit kepala. Tenggorokannya masih perih bekas tersedak duri ikan karena bertengkar dengan sang ayah kemarin. Hatinya sakit karena tidak sempat mengucapkan maaf dan selamat tinggal sebelum kepergiannya. Adik-adik yang menjadi alasan ia giat sekolah dan bekerja untuk membiayai mereka pergi begitu saja.

Rania sakit di luar dan dalam.

“Anak muda sekarang tidak ada yang tau adat. Nanti kalo adatnya hilang sok-sokan mau bikin program pelestarian adat.” Lanjut sang Bibi masih kasar walau sudah ditarik ke belakang ruangan.

Suasana seolah mendukung semua yang diucapkan Bibinya. Rania merasa perih di matanya dan sakit di sekujur tubuhnya.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA !!” Teriak Rania pada akhirnya.

Tidak tahan lagi dirinya. Nilam dan Randi berusaha mendekat karena khawatir akan keadaan Rania. Tapi Mama angkat  Rania langsung menahannya dan memberi isyarat biarkan Rania terlebih dahulu.

Tapi teriakan Rania tidak berhenti. Gadis itu memegangi kepalanya dan melompat-lompat di tempatnya sambil melanjutkan teriakannya.

Matanya melihat sekitar dan tangannya meraih vas bunga keramik berukuran sedang di meja belajar. Ia melempar vas itu secara cepat ke arah sang Bibi. 

Sontak semua orang yang berada di situ berteriak. Sebagian dari mereka bahkan berhamburan keluar karena mengira Rania kesurupan.

Pada akhirnya Mamanya, Randi, dan Nilam menghentikan laju Rania yang berusaha menghampiri sang Bibi.

Sambil mencak-mencak di rangkulan mereka, Rania berkata,

“AKU YANG SEDANG BERDUKA! Kenapa aku yang disuruh mengerti mereka? Seharusnya mereka yang mengerti aku.” 

Ketiga orang itu, ditambah Papa dan kakak Jovan ikut menghentikan laju Rania.

“Persetan masalah adat. Kenapa kalian jadi tidak punya rasa kemanusiaan?” Mata Rania memerah dan mengeluarkan air. Seluruh tubuhnya masih menginginkan melempari kepala orang itu dengan berbagai hal yang berhasil dipegangnya.

Rania berbalik arah dan mengambil keranjang plastik berwarna merah muda di bawah sana dan melemparnya ke salah satu kerumunan laki-laki yang berkumpul ‘melihat’ nya.

Karena tanpa persiapan matang, ia yang diserang otomatis terkena lemparan tepat di kepalanya. Suasana makin chaos dan Rania masih berusaha ditahan sebisa mungkin.

“Kau! Tampilan seperti orang bijak! Tapi otak tak pernah sekolah! Sudah tau orang tua ku mati! Bahkan mayatnya masih ada di depan kalian! Masih dibicarakan? Aku yang bangsat! Aku yang tak menurut orang tua! Pantaskah membicarakan orang mati yang mayatnya masih belum menyentuh liang lahat?”

Kerumunan laki-laki yang tadi sibuk berkomentar itu hanya diam dan menunduk. Mama, Papa, Kakak Jovan, Nilam, dan Randi hanya menahan tangis sambil memegangi Rania.

“Jika kalian datang ke sini karena memang berduka padaku. Kalian tidak akan datang hanya untuk menuntut ini dan itu!”

Segala sumpah serapah keluar dari mulut Rania saat itu. Beberapa orang mengiyakan apa yang dikatakan Rania. Tapi masih ada saja yang merasa bahwa Rania keterlaluan, mengingat peti mati dari keempat keluarganya masih ada di ruang tamu saat itu.

Karena hari itu, adik dari ibunya, yang sekarang menjadi papa angkat Rania beserta istrinya memutuskan untuk membawa Rania keluar dari kampung Salak. Hubungannya dengan keluarga sana sudah pasti sulit untuk diperbaiki. 

Ditambah lagi, Rania sudah tidak punya siapapun sebagai alasan untuk tetap hidup di rumah di kampung ini.

Hari ini adalah hari pengecualian, Rania sudah memasukkan mobilnya ke dalam gang Kampung Salak. Dia tidak akan pulang dengan tangan kosong lagi hari ini. 

Tbc.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status