Share

BAB 5 | Puzzle

"Dia hanya ‘menyiapkan’ apa yang sudah ia temukan dan membiarkan Rania yang menyusun sendiri puzzle yang sudah coba dirinyaa kumpulkan.”

~Papa Rania (Bapak Yanto)

“Tadi pagi Rania bilang dia nggak kerja hari ini.” Ucap Jovan.

Saat ini, ia sedang berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama Papa dan Mamanya.

“Kemana dia pergi, pagi-pagi banget?” Tanya sang Mama.

“Kampung Salak.” Jawab Jovan yang membuat semua orang bertatapan.

Ada perasaan bergemuruh dari dalam diri mereka masing-masing. Ada trauma tersendiri dari kampung itu untuk keluarga mereka. 

Kampung Salak merupakan kampung asli Rania. Ia dan keluarga kandungnya lahir dan besar di sana. Semenjak kecelakaan maut 6 tahun silam, Rania tidak pernah lagi menginjakkan kaki di sana. Segala kenangan yang dapat membangkitkan rasa kesedihan besar dan trauma Rania berkumpul di kampung itu.

Rumah lama Rania masih kokoh berdiri di sana lengkap dengan mobil keluarga yang 6 tahun terakhir tak pernah dikeluarkan dari bagasi kecuali saat akan dibersihkan. Keluarga angkat Rania menyuruh seseorang untuk membersihkan rumah itu dua minggu sekali.

Seluruh keluarga besar ayah kandungnya masih ada di kampung itu. Tapi Rania sudah 6 tahun tidak menyapanya. Saat acara besar seperti hari raya pun, Rania hanya berdiam diri di dalam mobil dan memandangi mereka dari jauh.

Setelah kecelakaan terjadi, Rania sama sekali tidak berbicara. Meskipun itu dengan tujuan meminta makan sekalipun. Ada kurang lebih 2 bulan Rania tidak berbicara sama sekali pada siapapun. Gadis itu tidak pernah bercerita bagaimana kondisinya, dia hanya diam dan menekuk wajah di kamarnya, bahkan juga tidak menangis.

Belakangan sang mama yang seorang psikiater tahu, bahwa Rania sedang tidak berada pada kondisi yang tidak baik secara mental. Dia selalu diam, mengurung, dan menahan diri untuk bertemu orang lain. Sehingga orang-orang di sekitarnya yang harus bekerja ekstra untuk tahu dan kembali dekat dengan Rania yang sudah berubah 180°. 

Sampai-sampai teman dekatnya seperti Nilam dan Randi ikut terkena imbasnya. Sehingga mereka harus bertemu psikiater karena jiwa mereka juga ikut terserang.

Sejak saat itu, hingga saat ini, Rania tetap saja masih diam dan enggan berbagi keadaan dengan orang lain. Bahkan kekasihnya sendiri yang merupakan teman masa kecilnya. Kekasih Rania, Naufal, harus rela memikirkan satu hal setiap cuti militernya. Bagaimana kondisi Rania saat ini?

Dia sudah berteman dengan Rania selama 10 tahun saat kejadian naas itu terjadi.

Hanya sekali kejadian, harapan mereka semua diberi tanda akan keajaibannya. Tiba-tiba, 3 tahun lalu Rania mengajak bicara Papa Yanto, bahwa dia ingin mengetahui lebih lengkap tentang kecelakaan keluarganya.

Pikirannya ling-lung saat hari kecelakaan itu, tapi secara samar dia ingat bahwa ada kejanggalan pada kecelakaan.

Sebenarnya Papanya sudah sadar sejak lama, tapi karena ingin menghormati keputusan yang mungkin akan diambil putrinya kelak, dia menunggu Rania sendiri yang meminta karena takut perasaannya akan terluka jika dia bertindak sendiri.

Tapi walaupun begitu, Rania tidak bercerita lebih lanjut tentang apa yang gadis itu janggalkan. Sang Papa juga tidak bertanya lebih lanjut dan memilih untuk menyelidiki pribadi secara langsung kejadian yang sudah lama ia curigai. Tapi lagi-lagi, takut perasaan sang putri terluka, dia hanya ‘menyiapkan’ apa yang sudah ia temukan dan membiarkan Rania yang menyusun sendiri puzzle yang sudah coba dirinya kumpulkan.

“Menurut Mama, apa Rania bisa ungkap ini sendirian?” Tanya Jovan putus asa.

Makanan mereka mulai dingin karena empunya dari tadi sibuk dengan pikiran khawatir mereka masing-masing.

“Bisa, tapi sulit. . . Kemungkinan rasa trauma dia bisa bangkit lagi. Walau sebenarnya trauma itu bukan sembuh, tapi dipendam. Tubuh Rania juga sering kesakitan kalo inget-inget kejadian itu lagi.” Sahut sang mama pelan, sedikit putus asa.

“Kita udah bantu semaksimal mungkin dan udah nggak bisa lebih dari itu. Kalo lebih dari itu, Rania akan beranggapan kalo kita udah sembunyiin sesuatu dari dia.” Sahut sang Papa sambil memakan sesendok makanan dari piringnya.

“Kita lihat reaksinya nanti. Kalo dia pulang dengan kondisi yang buruk, nggak ada yang bisa kita bantu tolong kecuali kesehatan jiwa dia. Percuma semua usaha yang udah kita lakuin. Bagaimana perasaan dan kondisi Rania itu yang terpenting.” Tegas sang Mama.

Mereka berdua mengangguk menyetujui ucapannya dan melanjutkan sarapan yang sudah dingin.

“Tapi gimana kalo Rania kembali dengan kondisi yang sama seperti saat itu?” Tanya Jovan tiba-tiba.

Papa dan Mamanya tidak merespon. Mereka tahu itu masa tersulit yang pernah mereka hadapi. 

“Tiga tahun lalu saat Rania pertama kali ada keinginan dalam hidupnya setelah sekian lama, Jovan yakin untuk nikah karena sedikit harapan ke Rania. Tapi rupanya nggak semudah yang dibayangin. Aku masih takut kalo Rania gini terus. Dia sendiri yang nggak mau keluar dari kubangan kelam itu.”

Mereka bertiga hanya menahan tangis dengan mata yang berkaca-kaca.

“Makan, nanti tambah dingin.” Ujar sang Mama pada akhirnya.

***

Rania berada dalam mobil yang sedang berjalan di atas jalan bebas hambatan. Matanya hanya mengarah kepada jalan sembari tangan dan kakinya mengontrol kemudi. Tidak ada siapapun di dalam mobil yang cukup untuk 4 orang itu. Hanya ada tas tangan yang bertengger di kursi depan samping Rania dengan gantungan boneka yang ikut bergoyang karena mengikuti tekstur jalan.

Dia sudah meyakinkan diri hari ini untuk bisa sedikit bertahan demi rasa penasaran yang tiba-tiba bergejolak lagi dalam dirinya. Akhir-akhir ini, tiba-tiba ingatan dari masa lalu tentang perkataan dokter yang melakukan otopsi terhadap mayat keluarganya kembali terngiang-ngiang di kepalanya.

Dokter itu bilang bahwa ada luka di bagian belakang kepala ibunya, sedangkan ayah dan 2 adiknya tidak mengalami luka yang cukup parah. Tidak ditemukan bahan kimia berbahaya dalam tubuh pasien kecuali sang ibu yang meminum obat jantungnya. Walau begitu sekujur tubuh ibunya memiliki luka yang cukup parah dibanding anggota keluarga yang lain. Wajar jika mati karena kecelakaan.

Sedangkan ayah dan kedua adiknya yang tidak memiliki penyakit kronis, mati tanpa luka serius.

Dokter itu juga berkata bahwa ada kemungkinan mereka mati 45 jam sebelum laporan itu keluar pada jam 5 sore hari esoknya. Rania mengingat dengan keras bahwa kecelakaan itu terjadi pada pukul 9 pagi bahkan mendekati pukul 10. Kenapa malah jam kematian lebih maju dari penyebab kematiannya?

Sama sekali tidak ada perasaan curiga seperti ini 6 tahun lalu. Apa yang Rania pikirkan saat itu adalah keinginan menyusul keluarganya segera untuk ikut mati. Tapi keinginan itu hilang dan timbul dalam kepalanya. Jadi dia hanya diam dan mengutuk sendirian.

Sayangnya, perpisahan Rania dengan orang-orang di kampung Salak sangat tidak baik. Dia sempat tidak sadarkan diri setelah mengurung diri di kamar selama hampir 2 bulan dan saat bangun, dirinya sudah berada di rumah dinas Papa angkatnya dengan infus di tangan.

Sejak saat itu, dia tidak pernah mengunjungi kampung Salak lagi. Ditambah dia yang tidak pernah turun dari mobil saat dirinya dan keluarga menghadiri acara di kampung Salak. Makin buruk lah hubungannya dengan warga dan keluarganya yang ada di sana.

Saat sampai di gapura yang menjadi batas masuk desa, Rania masih enggan untuk membelokkan kemudi ke sana. Dia menepikan mobilnya di samping kiri jalan dan memandang nama desa di gapura itu dalam diam. Masih ada perasaan ragu dalam hatinya untuk menuju ke sana. 

Di depan gang itu, ada sebuah warung nasi sedang yang terbuat dari kayu sedang ramai pengunjung. Rania melihat sekilas bahwa ada Randi di sana. Tapi sebelum pria itu melihat ke arahnya, Rania dengan cepat menutup jendela mobil. Dia juga masih enggan berbagi cerita kepada siapapun.

Randi memang masih tinggal di sini. Walau sudah punya apartemen pribadi di dekat tempat ia bekerja, dia masih sering pulang ke rumah orang tuanya di kampung ini. Biaya tol yang menyentuh angka ratusan ribu bukanlah halangan bagi Randi yang merupakan anak dari orang terpandang di kampung. Keluarganya memiliki hampir dari 80% kebun yang ada di sana.

Tapi ternyata Randi paham betul bahwa Rania ada di kampung Salak. Entah gadis itu terlalu bodoh atau sedang mabuk, pikirnya. Bisa-bisanya bersembunyi di dalam mobil yang sering Randi pinjam untuk keluar. 

Iya, Randi sangat kaya, tapi pinjam mobil Nilam atau Rania masih jadi hobinya. Padahal dirinya sendiri punya banyak mobil di basement nya.

Randi mengetahui bahwa akhir-akhir ini Rania sering ke kampung Salak. Walau hanya berakhir dia hanya memarkirkan mobil di jalan seperti itu lalu pulang tanpa turun sekali saja. Tapi Randi paham apa yang sedang pikiran Rania geluti saat ini. 

Kemarin malam dirinya mendapat telepon dari Papa Rania bahwa gadis itu mulai kembali berniat menyelidiki kasus ini lagi. Akhirnya dirinya hanya berlalu dari warung itu dan mengendarai sepeda motor ulungnya yang berisik meninggalkan tempat itu.

Sepertinya dirinya harus cuti kerja hari ini. Tiba-tiba firasatnya buruk jika harus meninggalkan Rania sendirian di kampung yang memberinya banyak kenangan pahit ini.

Tbc.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status