Share

BAB 7 | Lagu Lama

“”

~

Dari kejauhan, Randi yang melihat bahwa akhirnya Rania masuk ke kampung itu mengeluarkan keringat dingin. Ini jauh dari  prediksi awalnya yang memperkirakan Rania hanya kesana untuk melihat lalu pergi lagi.

Dia tergesa-gesa menekan ponsel pintarnya mencari nomor Nilam. Setelah ketemu, ditekannya segera tombol panggil,

“Halo, Nilam!” Sapa Randi tergopoh-gopoh sambil mengendarai sepeda motor menuju rumahnya.

“Kenapa? Tumben pagi-pagi nelpon lo.” Sahut Nilam di seberang telepon.

“Rania masuk!”

“Ha gimana?” Nilam sedikit berteriak di restoran sarapan yang sedang ia antri hingga membuat semua orang menoleh.

Gadis itu berjalan keluar segera setelah mendapat pesanan sarapannya.

“Gimana gimana? Maksudnya?” Tanyanya pada Randi.

“Ini kayaknya Rania masuk kampung, deh.”

“Beneran lo? Katanya biasanya cuma berhenti di depan gapura?”

“Iya biasanya gitu. Tapi sekarang masuk dia nya!”

“Yaudah deh, tunggu dulu! Gua kesana.”

Randi berlari memasuki rumahnya setelah memarkir sepeda. Ia membuka helm dan melemparkannya asal-asalan. Mamanya yang melihat hal itu terburu-buru menghampiri Randi,

“Kenapa, Ran?” Tanyanya.

“Rania kesini, Ma. Aku keluar lagi ya, nanti aja ceritanya!” Ucap Randi tergesa-gesa sambil mengganti jas kerja nya menjadi jaket.

Bu Ratih, sang Mama membantu Randi memasukkan tangan ke dalam jaket. Kejadian 6 tahun lalu tidak hanya merubah hidup Rania. Tapi juga hidup dari putra suaminya yang sudah dianggap sebagai putranya sendiri ini. Kejadian itu turut merubah sikap Randi padanya. Satu sisi dia bahagia karena Randi tidak lagi menganggapnya hanya istri dari ayahnya, bukan ibunya, tapi di sisi lain, dia juga turut prihatin atas kondisi Rania.

Oleh sebab itulah, dirinya langsung paham dengan perkataan Randi tadi.

“Hati-hati! Jangan agresif berlebih ke Rania. Pahami aja dia ya. Setelah 6 tahun anak itu berani ke sini lagi.” Nasihatnya.

Randi mengangguk mengiyakan permintaan Ibunya. Dia mencium tangan ibunya lalu memeluknya dan segera pergi keluar.

“Nanti makan jangan nunggu Randi pulang ya, Ma!”

“Iya, hati-hati!” 

Randi memilih untuk tidak menaiki motornya dan berjalan menuju rumah Rania.

***

Rania keluar dari mobilnya setelah memarkirkannya di taman yang terletak tepat di depan gerbang rumahnya. Dia masih berdiri di sana, enggan untuk segera masuk ke dalam. Di tangan kanannya ia menenteng tas dan tangan kirinya masih memegang kunci mobil.

Bertahun-tahun dia tidak ke sini, rasanya masih sama. Suasana di rumah ini masih sama persis seperti yang ia tinggalkan 6 tahun silam. Bahkan warna catnya masih sama, terlihat terawat dan terus diperbarui setiap saatnya.

Dahulu dia pergi dari sini dengan kesan buruk yang mungkin akan terkenang bagi banyak orang. Jika ada tetangganya tahu dia di sini sekarang, pastilah akan langsung jadi pembicaraan dan gosip yang cepat menyebar.

Keluarganya cukup terpandang di desa ini, saat seluruh anggota keluarga yang sangat disegani warga itu mati dalam waktu yang bersamaan, pastilah akan menjadi berita besar yang membuat banyak orang rela tidak bekerja hari itu hanya untuk melayat ke sana.

Dan tentunya, mereka semua ada di sana saat Rania mengamuk seperti orang gila dahulu. Mereka semua ada di sana saat Rania tidak protes dibawa pergi dari kampung Salak. Mereka juga pastilah tau Rania sering mendekat ke kampung ini walau tidak pernah turun mobil.

“Rania?” Suara seorang wanita paruh baya dari arah kiri mengejutkan Rania yang ada di sana.

Gadis itu menoleh ke sumber suara dan hanya menatap wanita itu lekat tanpa ada niat membalas sapaannya.

“Iya kamu Rania kan? Anaknya Pak Mardi? Adik suami saya?” 

Iya, dia adalah Bibi Rania. Dalam hati Rania, mengapa harus orang ini yang ia temui pertama kali saat ke sini. Ingatan Rania tentang orang ini hanyalah tentang bagaimana dia bereaksi saat kematian keluarganya dahulu.

Dia juga yang membuat Rania marah-marah seperti orang gila karena terus menerus menyalahkannya hanya karena adat yang katanya harus dituruti. Saat orang lain banyak berduka karena kehilangan, yang beliau sibukkan hanya masalah adat, adat, dan adat. Marah karena orang lain sibuk menemani Rania yang terus mengurung diri, marah karena tidak ada makanan yang tidak bisa diberikan kepada tamu.

Apa yang paling diingat Rania adalah saat bagaimana dirinya harus sibuk membanding-bandingkan kecelakaan yang juga dialami suaminya. Rania selalu ingat bagaimana sang bibi mengomentari bahwa orang-orang menanggapi terlalu lebay kematian keluarganya padahal suaminya juga menjadi korban kecelakaan itu.

Padahal setelah beberapa minggu, pamannya kembali pulih dan hidup biasa seperti sedia kala. Sementara karena kecelakaan yang sama pula, Rania kehilangan hidupnya. Dari situ sudah sangat jelas, sang Bibi tidak berada di pihaknya. 

“Akhirnya kesini juga kamu ya! Nggak kangen sama keluarga sini kah? Atau kamu udah bahagia bersama pamanmu yang jenderal tentara itu iya? Hidupmu pasti sentosa.”

Tidak tahu saja dia bagaimana aku merasa mati tiap saat dalam hidup.’ Batin Rania.

“Ayo masuk, ini kan rumahmu. Jangan di luar terus!”

Sang Bibi membuka gerbang dengan kunci yang ia bawa sendiri. Rania awalnya heran dan memandangi kunci rumah yang ia bawa ternyata tidak berguna.

Sang Bibi juga terlihat sudah terbiasa masuk ke rumah itu, dilihat dari bagaimana caranya dia masuk lalu memberi makan ikan, membuka pintu dan jendela, dan pergerakan lain yang memperlihatkan beliau sudah lama memiliki rumah itu.

Rania hanya memilih diam dan tidak menghiraukan keheranannya. Ia menuju kolam ikan di pojok rumahnya. Ikan koi kesayangannya masih di sana ternyata!

“Moshi!” Sapa Rania sambil menyentuh ikan koi di dalam kolam.

“Bibi kasih makan Moshi tiap hari. Kadang juga bibi tidur di sini biar rumahnya nggak kayak sarang hantu. Lama nggak ditempatin manusia.”

Sementara di luar rumah Rania, Randi harap-harap cemas tentang keadaan yang baru saja ia lihat. Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat dingin melihat Rania hanya masuk berdua dengan orang yang turut menyumbang trauma di masa lalunya.

Da tidak berani ikut masuk ke dalam karena sudah pasti jika Randi tiba-tiba di sana, Rania akan enggan melanjutkan penyelidikannya dan menjauhi Randi dan ia tidak suka itu. Sudah cukup dahulu ia serasa hampir mati melihat Rania yang awalnya ceria, gemuk, berisi. Menjadi kurus kering tinggal tulang, berbulan-bulan tidak bicara, dan percobaan bunuh diri. 

Sudah cukup ia bermimpi buruk setiap saat waktu itu karena pikirannya masih bergelut pada pertanyaan : Apakah Rania bisa bertahan hidup? Apakah Rania mencoba bunuh diri lagi? Apakah dia aman? 

Dari kejauhan Randi melihat Nilam keluar dari mobilnya.dan segera berlari menuju arahnya.

“Kata lo Rania kalo kesini nggak pernah turun mobil?” Tanya Nilam langsung saat sudah sampai di depan Randi.

“Iya biasanya emang gitu. Ini nggak tahu tadi dia keluar mobil dan akhirnya sekarang masuk ke rumahnya!”

“Masuk? Kesana?” Tanya Nilam sambil menunjuk rumah Rania “Yakin, lo?” Lanjutnya.

“Iya beneran. Mana masuknya sama ntuh si bibi yang waktu itu marah-marah di hari pemakaman, yang suaminya nyetirin mobil maut.” Jelas Randi merujuk pada mobil yang digunakan oleh keluarga Rania saat kecelakaan 6 tahun silam.

“Dia keluar!” Sahut Nilam tiba-tiba melihat Bibi Rania keluar dari rumah.

Beberapa saat kemudian, mereka melihat Bibi Rania membawa serta sang suami dan melangkah tergesa ke rumah itu.

“Wah, kok dia bawa sekutu? Perasaan gue nggal enak, Nil.” Ucap Randi.

“Kesana-kesana! Ayok samperin! Cepetan!” Ajak Nilam sambil mereka melangkah dengan setengah berlari ke rumah lama Rania.

Randi dan Nilam mengendap-ngendap memasuki gerbang tinggi rumah itu. Samar-samar mereka mendengar nada tinggi terucap dari dalam sana.

Kamu minta kejelasan lagi ini maksudnya gimana? Kamu nggak percaya kalo dari kecelakaan tragis itu pamanmu ini nggak ikut mati?”

Bertahun-tahun baru nyapa keluarga di sini, dateng-dateng nanyain kronologi kejadian yang buat semua orang sedih. Kamu nggak mikir?” Suara sang Paman lantang.

“Udah keenakan dia hidup di rumah pegawai negara. Dari kecil enak, ditinggal orang tua pun masih hidup enak! Sengaja buat kita sedih dengan nanyain hal-hal yang buat pamannya ngerasa bersalah, begitu maksudnya?”

Nilam dan Randi menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi playing victim! Nggak ada yang nuduh tiba-tiba sok merasa dituduh.

Lagu lama.

Tbc.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status