All Chapters of Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa: Chapter 11 - Chapter 20
74 Chapters
Bab 11: Keputusan Haiyan
Sendiri, Haiyan meneruskan makan. Ia tidak akan pernah membuang makanan. Ia tahu, begitu keras usaha manusia untuk mengenyangkan perut. Jadi, meski seleranya sudah menguap, ia berusaha memakan semua yang ada di piring. Haiyan masih mengunyah potongan buncis saat mendengar suara langkah kaki mendekati ruang makan. Lalu, wajah lelah mamanya muncul dari balik ruang tengah. "Kenapa makan sendiri, Hai? Ke mana Papa?" Ekor mata perempuan berusia 50 tahun itu melirik piring Baskoro. "Papa buru-buru tadi, Ma. Jadi duluan. Mama mau diambilkan makan? Pasti hari ini capek banget." Haiyan menarik kursi di sampingnya agar mamanya bisa duduk dengan mudah. "Minum saja, Hai. Mama ingin minum teh hangat." "Tunggu sebentar, Ma." Haiyan ke dapur, meminta pelayan membuatkan secangkir teh hangat untuk Prameswari. Pelayan sudah tahu teh seperti apa yang diinginkan tuannya. "Mama sudah menghubungi toko emas terbaik di kota ini. Mereka akan segera meneleponmu. Kamu bisa pilih salah satu cincin terb
Read more
Bab 12: Permintaan Haiyan
Kalila memasukkan kamera dan laptop ke dalam ransel. Setelah Miranti pulang, sebenarnya hari ini ia ingin kembali masuk ke dalam gua. Kalila masih butuh menenangkan diri. Tentang ajakan Haiyan untuk bertemu, ia belum memberi keputusan. Pesan itu masih ia diamkan. Begitu pula dengan panggilan Haiyan, Kalila sama sekali tidak menggubris. Kalila benar-benar bimbang. Satu sudut hatinya ingin bertemu demi menuntaskan ingin tahu kenapa Haiyan mendadak memilih Gea. Ibarat naik motor, Haiyan menyalakan lampu sein ke kiri, tetapi malah belok kanan. Sungguh membingungkan. Sementara di sisi lain, bertemu Haiyan adalah hal paling berat bagi Kalila saat ini. Ia terlalu sakit bahkan untuk sekadar melihat Haiyan. Di tengah bimbang, Mas Wibi, manajer restoran Omah Ndeso tiba-tiba menelepon, memintanya mengubah jadwal pemotretan produk, dari weekend menjadi hari ini. "Kekurangan pembayaran sudah saya transfer barusan. So, saya tunggu kedatangan Mbak Lila." "Baik, Mas. Saya akan datang sebelum jam
Read more
Bab 13: Perpisahan
Segera setelah Kalila membuka chat room, pesan dari Haiyan datang bertubi-tubi. Pria itu mungkin sengaja menunggu balasan darinya sejak pertama kali mengirim pesan dua jam lalu. Sementara sampai sekarang Kalila sama sekali belum tergerak untuk membalas pesan Haiyan. "Karena kamu nggak jawab, aku anggap setuju." Yah, anggap saja begitu, tapi datang atau tidak, bukan urusanmu. "Aku tunggu di Cirius jam empat." Kalila menutup chat room, mengabaikan pesan terakhir Haiyan. Dimatikannya ponsel lalu menyimpannya di ransel. Kalila khawatir Haiyan tiba-tiba menelepon. Ia sedang ingin makan tanpa gangguan. Setelah itu, Kalila menggeser duduk. Kini posisinya membelakangi sawah dan menghadap dua petak kolam ikan yang permukaan airnya berkilau ditimpa cahaya matahari. Dari tempatnya duduk, Kalila bisa melihat ikan-ikan berwarna kuning, putih, hitam, meliuk-liuk di permukaan air. Ia juga bisa mendengar riuh kecipak air saat karyawan melempar makanan ikan ke kolam. Makan sendirian karena
Read more
Bab 14: Penyerangan
Satu detik. Waktu serasa berhenti. Kalila terperangah. Pekik dan jerit pengunjung di dalam kafe memenuhi telinganya.Dua detik. Naluri jurnalis dalam diri Kalila mendorong gadis itu untuk berlari mengejar si pelempar batu. Dicarinya Kawasaki Ninja di antara lalu lalang kendaraan di Jalan Kaliurang. Seharusnya motor itu mudah dikenali karena bercat hijau terang. Kalila terus berlari, menuju traffic light yang berjarak sekitar tiga ratus meter di depannya. Kalila mengadu peruntungan. Siapa tahu si pelempar batu terjebak lampu merah. Ia hanya ingin mendapat nomor polisi motor si pelempar batu. "Lila! Berhenti!"Sayup Kalila mendengar suara Farhan. Namun, tarikan rasa ingin tahu jauh lebih kuat ketimbang larangan Farhan. Kalila memilih mengabaikan perintah pria itu. "Lila! Berhenti!"Suara Farhan makin keras dan Kalila masih terus berlari. Ayunan kakinya baru berhenti di dekat traffic light. Kedua matanya memicing. Motor hijau itu tidak ada di antara deretan kendaraan roda dua yang me
Read more
Bab 15: Perjanjian Pra Nikah
Wisnu meneguk isi gelas perlahan. Kalau sekarang Farhan yang diserang, bukan tidak mungkin ia menjadi target berikutnya. Jika itu terjadi, ia sudah terlalu tua untuk melawan. Ia bisa mati kapan saja dan meningkatkan Lila sendiri. Mengingat kenyataan itu membuat dada Wisnu mendadak nyeri. Kepergian Farhan keluar negeri masih dua bulan lagi. Masih cukup untuk bersiap menikahi Kalila. Setelahnya, Wisnu bisa tenang. Kapan pun, di mana pun bersama Farhan, Wisnu tidak perlu khawatir akan terjadi fitnah dan jika sewaktu-waktu ia mati, ia akan mati dengan tenang. Tugasnya telah selesai dan ia telah menitipkan Kalila pada orang yang tepat. Tanpa bisa dicegah, setitik air jatuh di sudut mata Wisnu. Ia memutar kursi dan kini tubuhnya menghadap foto keluarga. Matanya semakin perih dan dadanya semakin sesak saat matanya menatap senyum mendiang sang istri. "Kuharap kita bisa bersama lagi, Sayang." Wisnu menghapus air mata lalu tersenyum. "Maaf aku menangis. Padahal aku sudah janji akan selalu ku
Read more
Bab 16: Ancaman
"Maaf." Hanya satu kata yang bisa meluncur dari bibir tipis Kalila. Kehilangan tak pernah mudah dan ia tidak pernah tahu kalau Farhan telah menanggung duka sejak kecil. Ia yang hanya kehilangan salah satu sayap saat sudah dewasa saja seperti didera mimpi buruk berkepanjangan, apalagi Farhan yang harus kehilangan dua kepak sayap saat dia masih sangat membutuhkan pelukan keduanya. Mungkin karena itu Bang Farhan tidak banyak bicara. Bukankah duka bisa memerangkap manusia dalam ruang gelap bernama sunyi? Kalila menghela napas sembari mengaduk gelas. Ada hening di antara ia dan Farhan. Kalila kehilangan kata. Sekilas ia melihat seperti ada lapisan air di mata Farhan. Namun, Kalila tidak ingin memperhatikan lebih lama sehingga ia memilih memandang sisi barat kota Yogyakarta yang tampak dari tempat mereka duduk. "Nanti orangtua saya akan diwakili Paman dan Bibi.” Farhan kembali membuka obrolan. “Mereka tinggal di Jogja. Jadi, kapan saja bisa datang." Kalila hanya mengangguk lalu meny
Read more
Bab 17: Kedatangan Haiyan
Hati Farhan berdesir. Benar dugaannya, penjahat itu kini mengincar Kalila. Pria itu berdiri lalu mendekati jendela. Dilihatnya langit biru di kejauhan. Dadanya dipenuhi gumpalan khawatir sekaligus amarah. Kenapa harus menyeret Kalila? Kenapa tidak dirinya saja menjadi sasaran. Ia rela kalau harus mati sekarang. Namun, Kalila? Hati Farhan nyeri membayangkan Kalila yang tidak tahu masalahnya harus meregang nyawa. Ponsel Farhan bergetar. Ia mengalihkan pandangan dari halaman fakultas ke ponselnya. Sebuah video kembali masuk ke ponsel Farhan, dikirim dari nomor berbeda. Video itu memperlihatkan pertemuan warga dengan perusahaan perencana dan konstruksi dengan warga lereng bukit Wadas. Mereka juga memberikan pernyataan lisan kalau sudah menerima ganti rugi layak dan tidak akan menuntut perusahaan. Lalu, sebuah panggilan kembali masuk. Dari nomor tak dikenal dan berbeda dengan nomor pertama. “Jangan coba-coba mengganggu kami kalau Anda ingin calon istri Anda, juga diri dan karir Anda sel
Read more
Bab 16: Ancaman
"Maaf." Hanya satu kata yang bisa meluncur dari bibir tipis Kalila. Kehilangan tak pernah mudah dan ia tidak pernah tahu kalau Farhan telah menanggung duka sejak kecil. Ia yang hanya kehilangan salah satu sayap saat sudah dewasa saja seperti didera mimpi buruk berkepanjangan, apalagi Farhan yang harus kehilangan dua kepak sayap saat dia masih sangat membutuhkan pelukan keduanya. Mungkin karena itu Bang Farhan tidak banyak bicara. Bukankah duka bisa memerangkap manusia dalam ruang gelap bernama sunyi? Kalila menghela napas sembari mengaduk gelas. Ada hening di antara ia dan Farhan. Kalila kehilangan kata. Sekilas ia melihat seperti ada lapisan air di mata Farhan. Namun, Kalila tidak ingin memperhatikan lebih lama sehingga ia memilih memandang sisi barat kota Yogyakarta yang tampak dari tempat mereka duduk. "Nanti orangtua saya akan diwakili Paman dan Bibi.” Farhan kembali membuka obrolan. “Mereka tinggal di Jogja. Jadi, kapan saja bisa datang." Kalila hanya mengangguk lalu menyeru
Read more
Bab 17: Kedatangan Haiyan
Hati Farhan berdesir. Benar dugaannya, penjahat itu kini mengincar Kalila. Pria itu berdiri lalu mendekati jendela. Dilihatnya langit biru di kejauhan. Dadanya dipenuhi gumpalan khawatir sekaligus amarah. Kenapa harus menyeret Kalila? Kenapa tidak dirinya saja menjadi sasaran. Ia rela kalau harus mati sekarang. Namun, Kalila? Hati Farhan nyeri membayangkan Kalila yang tidak tahu masalahnya harus meregang nyawa. Ponsel Farhan bergetar. Ia mengalihkan pandangan dari halaman fakultas ke ponselnya. Sebuah video kembali masuk ke ponsel Farhan, dikirim dari nomor berbeda. Video itu memperlihatkan pertemuan warga dengan perusahaan perencana dan konstruksi dengan warga lereng bukit Wadas. Mereka juga memberikan pernyataan lisan kalau sudah menerima ganti rugi layak dan tidak akan menuntut perusahaan. Lalu, sebuah panggilan kembali masuk. Dari nomor tak dikenal dan berbeda dengan nomor pertama. “Jangan coba-coba mengganggu kami kalau Anda ingin calon istri Anda, juga diri dan karir Anda sel
Read more
Bab 18: Mendadak Sakit
"Sorry kalau aku ganggu." Kalila masih mematung, tidak percaya dengan penglihatannya. Dia pikir Haiyan sudah tidak akan pernah lagi menampakkan batang hidungnya kecuali pria itu ada urusan dengan Wisnu. "Aku hanya ingin bicara sebentar. Untuk terakhir kalinya." "Silakan duduk, Mas." Kalila menunjuk kursi di teras. Dadanya berdebar. Bukan karena masih menyimpan rasa, melainkan karena takut ada sisa masalah yang belum selesai. Atau Mas Haiyan berubah pikiran? Sepertinya tidak mungkin. Haiyan mendekati kursi. Ia duduk dengan jengah seperti ada segerombolan semut menggigit-gigit pantatnya. Sementara di seberang meja, Kalila menuggu dengan jemari sibuk meremas tepi rok. Sekian detik keduanya terperangkap dalam jenak pikiran masing-masing ditingkahi desau angin yang menggerakkan dedaunan pohon mangga dan kelengkeng. Haiyan menghela napas dalam-dalam. Mendadak dada dan hidungnya seperti disesakipenuhii debu hingga terasa sakit saat menghirup oksigen. Seharusnya semua sudah berakhir,
Read more
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status