All Chapters of PENDEKAR MACAN TUTUL: Chapter 11 - Chapter 20
47 Chapters
PART 11
Gantian laki-laki desa yang mengulang nama tempat yang disebutkan oleh Panji Jagat. Ada gambaran keheranan yang terlihat di wajah laki-laki paroh baya baya itu. Karena menurut masyarakat di sekitar, Ngarai Kulon adalah sebuah kawasan yang sangat angker dan tak siapa pun berani memasuki kawasan itu. Bukan karena sekedar angker tetapi untuk menuruni jurang agar bisa berpijak di kawasan itu amatlah sulit dan sangat berbahaya. Lalu tempat tinggal pemuda tampan berwajah bangsawan ini di sebelah mananya? “Kenapa, Ki ...?” “Oh, tak apa-apa, Den Bagus,” jawab laki-laki desa dengan cepat. “Jadi Den Bagus ini akan menuju kota raja?” “Iya, Ki. Apakah kota raja masih cukup jauh dari sini?” “Bukan masih jauh lagi, Den Bagus, tapi masih sangat jauh. Dengan naik kuda yang paling cepat karinya pun, Den Bagus baru sampai ke sana mungkin sudah mulai malam. Jika jalan kaki, ya mungkin bisa sampai esok hari, Den Bagus.” “Oh, baiklah. Saya akan menikmati perjalanan k
Read more
PART 12
Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Kedua cuping hidungnya kembang-kempis. Ada aroma yang demikian sedap yang menyerangnya dan membuat perutnya langsung bereaksi dan bersuara. Matahari kala itu sesaat lagi akan tepat di atas kepalanya. Saat ia mengangkat dagunya dan memngarahkan pandangannya ke tengah desa. Ia melihat sebuah kedai berkepul yang terlihat cukup ramai dikunjungi oleh orang-orang. “Hm, kayaknya aroma sedap itu sumbernya dari sana. Baiknya aku memang harus makan dulu, karena perjalanan masih sangat jauh, dan belum tentu ada kedai makan di perkampungan-perkampungan selanjutnya. Kebetulan sejak bangun tidur tadi perutku belum terisi,” desahnya lagi. Kedai atau warung makan yang sebagian dibuat setengah terbuka itu memang cukup luas dan bersih. Aroma masakannya yang begitu sedap makin menggoda perutnya yang memang sedang kosong. Pantas saja ramai pelanggan yang menikmati masakan di warung itu. “Selamat datang di warung makan kami, Aden,” ucap seoran
Read more
PART 13
Di ruang makan, Panji Jagat pun sedikit kaget melihat kehadiran kelompok kecil yang terdiri dari enam orang itu. Adab mereka kasar seperti penampilannya. Mereka masuk begitu saja, sehingga sebagian pelanggan yang sedang menikmati santap siang mereka lebih memilih untuk meninggalkan makanan mereka. Dan sebagian lain yang bertahan melanjutkan makan mereka dengan membisu dan wajah merunduk waspada. Tanpaknya para pelanggan warung makan itu tak mau berurusan dengan keenam laki-laki yang bertampang kasar dan sangar itu. Keenam pun bebas memilih meja makan yang sudah kosong. Suasana warung makan langsung berisik dengan suara pembicaraan yang diselingi oleh tawa lepas mereka. Dunia seakan-akan hanya milik mereka saja. Walau merasa risih juga dengan kehadiran manusia-manusia yang tak disukai itu, Pendekar Macan Kumbang tetap melanjutkan makannya dengan lahap dan tenang, namun sekali-sekali matanya tetap mengawasi keenam orang itu. “Sronto! Mana makanannya, kenapa lama
Read more
PART 14
Lagi-lagi Panji Jagat menahan amarahnya. Dia melangkah mendekati Ki Sronto dan membawanya untuk duduk di kursi di dekatnya yang sudah kosong. Wulan yang sejak tadi bersembunyi langsung berlari keluar dan memeluk tubuh ayahnya sembari terisak. “Kalian bersabar saja. Orang-orang seperti itu hanya tunggu waktu saja untuk dijemput celaka,” ucap Panji Jagat. “Memang mereka itu siapa, Ki, Dik Wulan, kalau boleh saya tau?” “Mereka itu gerombolan begal, Kang. Entah sudah berapa puluh kali mereka mampir makan di tempat ini dengan tanpa membayar,” jawab Wulan sembari mengusap air matanya. “Biadab mereka!” ucap Panji Jagat geram. “Kira-kira berapa utang mereka, jika dihitung?” “Wah, mungkin sudah hampir dua puluh keping emas, Den Bagus. Tapi biarlah. Mudah-mudahan mereka tak pernah kembali lagi di sini,” sahut Ki Sronto dengan nafas masih tersengal-sengal akibat dadanya yang maish terasa sakit dan sesak. Panji Jagat mendengarkan baik-baik harapan pemilik warung ma
Read more
PART 15
Tepos, Gobang, dan Jolang serentak menyanggupi. “Bagus! Aku berharap, dari Wulan aku akan mendapatkan keturunan yang tak aku dapatkan dari kesembilan istriku itu. Payah mereka!” ucap Ki Barong Seta sembari kembali melanjutkan perkalanan. Kelima anggotanya tak mau menanggapi omongan perihal anak itu, karena mereka tahu bahwa sang ketua mereka itu tak mungkin bisa punya anak. Penyakit Raja Singa yang dideritanya sejak masih muda masih sering kambuh dan membuatnya menjerit kesakitan ketika tengah malam. “Aku yakin,” lanjut Ki Barong Seta lagi, “rombongan kerajaan tadi membawa perhiasan yang banyak, baik dari para prajurit maupun dari para gadis calon dayang istana itu. Sebab para gadis itu bukanlah putri dari warga sembarangan. Mereka rata-rata berasal dari keluarga yang berada, tentu saja orang tua mereka membekali mereka dengan perhiasan yang mahal dan banyak. Bagaimana menurutmu, Jarot?” “Saya selalu percaya dengan firasatnya Ketua. Selama ini tak pernah
Read more
PART 16
Belum lagi usai rasa kaget mereka, mereka malah dibuat kaget lanjutan karena tiba-tiba sosok di hadapan mereka tertawa kecil yang membuat tubuhnya bergoncang-gincang. “Haahh??” Kelima anggota begal mendesahh kaget sembari mundur ke belakang dengan golok siap menebas. Pendekar Macan Tutul tiba-tiba mengangkat wajahnya, dan langsung mennatap tajam ke depan sembari mengaum dan menggerung keras. Pada saat yang sama kesepuluh ujung jari tangannya bermunculan kuku-kuku tajam dan melengkung seperti cakar seekor macan. “Hati-hati!” Ki Gobang memperingatkan keempat temannya. “Naga-naganya kita sedang berhadapan dengan sesosok siluman harimau! Kita harus... eh, awaaas!!” Belum selesai Ki Gobang berucap, Panji Jagat tiba-tiba bergerak menyerang ke depan dengan sebuah gerakan menyergab yang sangat cepat. Tak ada waktu bagi kelima anak buahnya Ki Barong Seta untuk menyerang, dan hendak membuat formasi bertahan pun gagal. Cakaran cepat dari kedua tangan sang lawan den
Read more
PART 17
PENDEKA Habis berkata demikian, murid Ki Raksa Jagat langsung melesat ke arah barat sembari meninggalkan suara gerungannya laksana seekor macan. “Siapakah gerangan dia? Seumur-umur, baru kali ini aku melihat manusia yang sangat sakti mandraguna seperti itu?” ucap Jarot. “Apakah dia sesosok siluman?” tanya Ki Jolang pula tanpa ditujukan pada siapa pun. “Siapa pun dia, kita sudah berjanji padanya!” tandas Ki Jolang. “Kita harus memenuhi janji kita untuk menjadi manusia yang baik. Sejak saat ini, kita harus bubar dan kembali mengurus keluarga masing-masing.” Ucapan Ki Jolang itu langsung disetujui oleh keempat temannya.*** Ketika matahari sudah condong ke arah barat, Panji Jagat baru dapat melihat dari kejauhan rombongan pedati kerajaan yang dilihat tadi siang. Ia tidak mengikut jalan untuk menyusul rombongan itu, tetapi berlari dengan kecepatan tinggi melalui sisi hutam yang cukup lebat di kiri kanan jalan itu. Ketika telah berada sejajar dengan rombon
Read more
PART 18
Ki Arya Bendut memerintahkan seluruh rombongan untuk turun dan menikmati daging dan ikan panggang yang telah disiapkan oleh Panji Jagat. “Nanti saja dirikan tendanya. Kalian nikmati dulu daging rusa dan ikan-ikan panggang ini,” seru Ki Arya Bendut. “Oh ya, perkenalkan pemuda dermawan ini, namanya Panji Jagat. Katanya dia memang sengaja menyiapkan semua ini buat kita semua. Terima kasih, sekali lagi, Panji Jagat.” “Sama-sama, Ki Arya,” sahut Panji Jagat, lalu kepada para segenap anggota rombongan ia berkata, “Silakan Tuan dan Ni semuanya, nikmati sajian sederhana saya ini.” Mungkin karena memang sudah lapar atau karena makanan itu memang makanan yang lezat, semua rombongan, baik para prajurit pengawal maupun para gadis calon dayang istana menikmati daging dan ikan panggang itu dengan lahapnya. Setelah semuanya merasa kenyang semuanya duduk santai di atas hamparan pinggiran sungai yang terdiri dari hamparan bebatuan. “Jadi, Dik Panji ini hendak mengadu nasib ke
Read more
PART 19
Ketika di beranda depan istana muncul dua laki-laki muda, puluhan prajurit kawal istana segera berdiri berbaris menyambut keduanya. Kedua pemuda itu tentu saja dua pangeran istana itu. Panji Jagat terkagum-kagum melihat penampilan kedua putra Sang Prabu Nata itu. Dan betapa senangnya jika kelak ia bisa mengenal lebih dekat dengan kedua pangeran dan calon raja itu. Pangeran yang berjalan di depan berusia mungkin dua puluh tahun, sementara pemuda yang berjalan di belakang tampak sedikit lebih tua, namun wajahnya lebih tampan dan posturnya lebih tinggi dan kekar. Wajah keduanya tampan namun namun keangkuhannya sebagai putra bangsawan terlihat sekali. Saat hendak hendak mengambil alih tali kekang kuda yang akan ditunggamnginya, pandangan mata sang pangeran yang di depan melihat ke arah Panji Jagat yang saat itu kebetulan sedang menatap tak berkedip ke arahnya. “Siapa dia?” tanyanya tanpa ditujukan khusus pada salah satu prajutir kawal istana. “Oh, kami
Read more
PART 20
Ki Arya Dhanu menatap wajah Panji Jagat. “Apa kaupunya semacam keahlian khusus, Anak Muda?” “Ampun, Gusti,” sahut Panji, “saya hanya seorang pemuda desa. Saya hanya memiliki keahlian sebagai anak desa seperti berburu dan bertani.” “Hm. Tapi pernah mengurus kuda?” “Bisa dikata belum terlalu berpengalaman, Gusti, karena kakek saya tak memiliki peternakan kuda. Tetapi saya sudah terbiasa membantu teman-teman saya yang punya kuda untuk memandikan kuda-kuda mereka, termasuk melatih kuda untuk berpacu.” “Hm, itu berarti kamu pernah menangani kuda, walau hanya sekali-sekali,” ucap Ki Arya Dhanu. “Benar, Gusti. Jika saya diberi kesempatan untuk bekerja, saya berjanji untuk bekerja sambil belajar untuk menjadi pengurus kuda yang baik.” “Ya, ya, ya. Memang, semua orang itu bisa menjadi pekerja yang baik bahkan ahli di suatu pekerjaan setelah ia menekuninya,” ucap Ki Arya Dhanu bijak. “Baiklah, aku akan memberimu kesempatan bekerja di sini. Aku ingin melih
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status