All Chapters of Kontrasepsi di Kamar Adikku : Chapter 41 - Chapter 50
232 Chapters
Part 40
‘Ya Allah, kenapa dia tega berkata seperti itu kepadaku’Kini mataku kembali sulit untuk dipejamkan.Pukul dua belas malam terdengar suara orang membuka pintu sambil mengucap salam. Aku segera bangun, merapikan rambut yang sudah berantakan lalu keluar menyambut kedatangan suamiku.“Kok malam banget, Mas?” tanyaku sembari melingkarkan tangan di lengan suamiku.“Iya, sayang. Maaf ya!” Dia mencubit mesra pipi ini. “Sudah maem?” Aku menggeleng pelan.“Loh, kok belum maem?”“Pengen yang pedas-pedas, Mas. Makan mie rebus pake cabe rawit kayanya enak. Apalagi kalau tinggal makan.” Aku mengedip-ngedipkan mata.“Ya sudah, Mas ganti baju dulu habis itu Mas buatkan mie instan spesial buat istri tercintaku!” “Aku mau ikut.”“Ikut ke mana?” “Ganti baju!” Bergelayut manja di lengan Mas Kenzo.Pria berjambang tipis itu tersenyum. Ia kemudian membuka koko dan sarungnya, lalu mengenakan kaos oblong serta celana pendek. Aku terus memperhatikannya, karena entahlah, beberapa hari ini aku sangat suka m
Read more
Part 41
Ponselku terus saja menjerit-jerit di atas meja. Ayah memanggil. Tumben. Ada apa? Biasanya kalau dia nelepon itu nggak jauh-jauh dari ceramah. Parti dia mau ngasih wejangan supaya aku tidak keluyuran malam, jangan ini, jangan itu.“Assalamualaikum!” sapaku pada laki-laki yang selalu membekaliku ilmu agama itu.“Waalaikumussalam, Salim. Sehat nak?” jawab ayah dengan intonasi sangat lembut.“Alhamdulillah, ada apa? Kok tumben Ayah nelepon?”“Bagini, Lim, Ayah mau minta izin sama kamu. Ayah mau menikah lagi.” Aku tersedak ludah saat Ayah mengatakan keinginannya. Ya Allah, Yah. Sudah tua malah masih mikirin buat nikah lagi. Bukannya mikir nyariin jodoh buat anaknya. Tapi ya sudahlah. Dengan berat hati aku mengizinkan Ayah untuk menikah lagi dengan pujaan hatinya. Apalagi Ayah bilang kalau perempuan itu sangat menyayangi Saquina adikku. Calon istri Ayah juga sudah janda. Aku nggak mau kalau ayah menikah dengan perempuan yang masih muda belia dan masih gadis ting-ting. Bisa kalah pamor aku
Read more
Part 42
“Ayah nggak kerja?” tanyaku sembari memicingkan mata.“Ini hari Sabtu, Salim!” jawab ayah sambil tersenyum.Iya deh, yang lagi jatuh cinta. Obral senyum mulu kerjaannya. Kayaknya dia sengaja banget manas-manasin anaknya yang jomblo berkepanjangan ini.“Eh, ada Quina sama Salim?” Suara lembut sang bidadari terdengar begitu menyejukkan hati. Suara perempuan yang selalu membuat aku lupa bahwa dia adalah ibu tiriku.“Yah, pinjem mobil. Saya mau pergi ke rumah temen!”“Tinggal bawa saja, Salim. Ayah nggak ke mana-mana kok hari ini. Ibumu maunya weekend-an di rumah. Malas keluar-keluar katanya!”Ish, emang aku lagi naya Ayah mau jalan-jalan atau tidak? Kan enggak!Aku menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas kulkas lalu pergi menemui temanku yang datang dari Semarang di sebuah hotel. Mataku memicing ketika melihat seorang wanita muda yang sedang mengandung keluar dari mobil bersama om-om. Aku seperti mengenal dia, tapi di mana?Yah, aku ingat sekarang. Dia adiknya Efita. Aku sering lia
Read more
Part 43
POV Efita“Ya sudah, kamu masuk dulu, Dewi!” Aku menyuruh adikku masuk.“Enggak, nggak boleh. Dia tidak boleh masuk ke rumah ini!” cegah Salim ketika Dewi hendak melangkah ke dalam.“Emang kenapa, Salim?” Dahiku mengernyit menatap anak tiriku.“Dia bisa jadi petaka kalau masuk di kehidupan kita. Saya tidak mau ada parasit di rumah ini.” Ucap Salim tanpa tedeng aling-aling.“Kamu itu ngomong apaan sih?!” Dewi melotot menatap sulungnya Mas Kenzo.“Saya tahu watak asli kamu, Dina, eh Dewi!” Salim melipat tangannya. Wajah putra pertama suamiku terlihat memerah padam.“Pokoknya saya nggak mau dia tinggal di rumah ini!” imbuhnya lagi.“Tapi dia itu adik saya, Lim?” protesku.“Ya sudah, kalau kamu lebih berat sama dia ketimbang anak dan suami kamu, mending kamu tinggal berdua saja sekalian sama dia. Asal jangan di rumah ini!” Ish, kenapa sih bocah ini selalu saja sentimen sama aku dan juga keluargaku.Dewi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahunya berguncang. Aku tahu kalau saat
Read more
Bab 44
Dengan langkah penuh semangat Dewi masuk ke dalam mobil. Bibir tipis wanita itu selalu saja mengembangkan senyuman, menunjukkan rasa bahagia yang tak terkira karena dia mengira akan dinikahkan dengan Mas Akmal. Sebenarnya aku tidak tega melihat reaksinya saat ini. Tapi, semuanya demi kebaikan kita bersama.Mobil yang kami tumpangi terus saja melaju membelah jalanan ibukota. Sesekali aku memergoki Salim yang sedang melirik ke arah kami dari kaca spion depan. Sedang Mas Kenzo, laki-laki yang mulai menumbuhkan rasa cinta di hatiku itu terus saja memandangi layar gawai dengan dahi berkerut-kerut.“Mas, ada apa?” aku memegang pundak Mas Kenzo.“Nggak, Sayang. Tidak ada apa-apa!” Pria dengan jambang tipis itu menggenggam jemariku.“Kalau kamu ada masalah, jangan sungkan cerita sama aku ya, Mas. Biar kita cari solusi bareng-bareng!”“Iya, Sayang!”Tiga puluh menit kemudian mobil yang kami tumpangi berhenti di pelataran rumah Papa. Mas Akmal sudah berdiri di halaman, sambil bersandar di monco
Read more
Part 45
Aku menautkan alis menatap Salim yang sedang terlihat salah tingkah. Lagian kok ada-ada saja. Masa bisa salah pegang? Perasaan antara tanganku dan rem parkir posisinya lumayan cukup jauh."Maaf ya, Kak!" Pria berkulit putih itu tersenyum."Iya, nggak apa-apa. Besok jangan sampai salah pegang lagi!" jawabku sambil turun dari mobil.Aku memesan satu loyang martabak rasa keju lalu duduk di sebelah Salim yang sedang memainkan gawainya. Mengintip layar ponsel anak tiriku itu, penasaran, ingin tahu dia sedang berbalas pesan dengan siapa."Pacar kamu orang mana, Lim?" tanyaku penasaran."Apaan sih? Saya nggak mau pacar-pacaran. Maunya langsung nikah!" sahut pria itu sambil menutup layar gawainya."Ya sudah, kenalin ceweknya sama Bunda dan Ayah. Biar kita langsung datangi orang tuanya buat meminang dia!"Salim langsung memalingkan wajah. Air mukanya langsung berubah. Apa dia jangan-jangan tidak mencintai wanita?Ih, amit-amit! Aku mengelus perut sambil menelisik tubuh Salim yang terlihat mach
Read more
Part 46
"Iya, Sayang. Mas akan selalu menjaga kesehatan untuk kamu. Agar kita bisa terus bersama sampai anak-anak kita besar. Doain Mas supaya panjang umur ya, Dek!"Aku mengangguk mengiyakan kemudian membenamkan wajah di dada Mas Kenzo."Ya sudah makan dulu, habis itu kamu bobo lagi. Aku beliin bubur ayam di depan komplek ya, Mas!" "Iya, Sayang. Hati-hati. Kalau nggak minta tolong Salim atau Salman saja. Soalnya nyebrang jalan!"Aku segera mengambil kerudung lalu menutup pintu kamar. Menyambar dompet yang ada di atas lemari es, berjalan ke depan untuk membeli sarapan."Bu Fita mau ke mana?" sapa seorang tetangga yang berpapasan di depan rumah."Mau beli bubur, Bu," jawabku sembari mengembangkan sedikit senyuman."Bu Fita lagi isi ya? Kok pucat sekali. Wajahnya kelihatan beda gitu!""Aamiin, doakan saja, Bu.""Mudah-mudahan Saquina cepat punya adek. Ya sudah, saya duluan, Bu Fita!" pamitnya."Iya, Bu. Monggo."Tidak lama berselang, Salim muncul menggendong Saquina. Dia tersenyum, lalu meraih
Read more
Part 47
“Kamu itu ngawur! Mana bisa Dek Fita nikah sama kamu. Emangnya kamu naksir Bunda?” Mas Kenzo menatap lekat wajah putranya.“Apaan, sih. Saya bercanda kali, Yah. Mana mungkin saya mencintai Ibu tiri saya sendiri. Kan nggak boleh. Bikin sakit hati doang, karena hanya bisa mengagumi tanpa bisa memiliki!” jawab Salim sembari melipat tangan di depan dada.Aku menahan tawa mendengarnya.“Udah ah, kita sarapan. Ayah lapar!” Pria berwajah tampan itu mengambil sendok ,lalu segera menyantap bubur yang baru saja aku beli.“Sini, Dek. Makan dulu. Biar Mas suapin!” Mas Kenzo menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya, memberi isyarat supaya aku duduk di sampingnya.“Kak Fita bisa makan sendiri kali, Yah. Nggak usah lebay!” rutuk Salim lagi.“Aak, Mas. Adek maunya makan disuapin kamu!” “Ish!” Salim mengangkat satu ujung bibirnya. Ekspresinya itu lucu sekali, seperti orang sedang kepanasan. Mungkin dia cemburu karena sang ayah sekarang lebih perhatian kepadaku.Hampir dua minggu ini Mas Kenzo selalu
Read more
Part 48
Aku membekap mulut membaui aroma minyak kayu putih yang langsung membuat perut ini mual serta kepalaku bertambah pusing. “Muntahin di sini saja, Dek!” Mas Kenzo menyodorkan sebuah keresek.Aku mengeluarkan semua isi perutku, hingga kerongkonganku terasa perih dan mulutku terasa sangat pahit. “Kamu sudah tes belum, Fit. Kayanya kamu beneran isi deh!” ucap Ibu sambil menggenggam jemariku.“Sudah, tapi negatif!” jawab Mas Kenzo mewakiliku.“Coba dites lagi. Siapa tahu kemarin belum terdeteksi!” Ragu-ragu aku berjalan menuju kamar mandi, dipapah oleh Mas Kenzo karena badanku masih terasa lemas. Kebetulan aku juga sedang ingin buang air kecil dan langsung menampung sedikit urine di wadah yang ibu sodorkan.Ibu membuka sebungkus test pack yang sengaja aku simpan di dalam laci, mencelupkannya ke dalam air seniku beberapa detik, lalu dia terus mengamati benda kecil tipis itu tanpa berkedip.“Coba ambil satu lagi, Za!” titah Ibu kepada Mbak Kenza.“Gimana, Bu?” Mbak Kenza terlihat penasara
Read more
Part 49
“Kenzo Al Faiq, Mbak,” sambungku pelan.“Orang yang ditanya nama saya kok!” protes Salim.“Suster itu nanya nama ayah bayi dalam perut saya, Salim. Bukan nama kamu?” Menunjuk ke perut.“Oh!” Dia menggaruk kepala sambil tersenyum, salah tingkah.“Yang benar yang mana?” tanya suster sembari menatapku, lalu bergantian menatap Salim.“Kenzo Al Faiq,” jawab Salim.Laki-laki berusia dua puluh tahun itu kemudian membantuku berdiri untuk menimbang berat badan. Masih tetap empat puluh delapan kilogram. Mudah-mudahan setelah hamil berat badanku naik, biar terlihat agak berisi.“Sudah dipanggil apa belum, Dek?” tanya Mas Kenzo, setelah hampir lima belas menit menerima panggilan telepon dari rekan kerjanya.“Belum, Mas. Kamu nelepon saja kok lama sekali. Sebenarnya yang suamiku itu Salim apa kamu sih?” protesku, memonyongkan bibir manja.“Maaf, Dek. Tadi atasan nelepon Mas. Ada hal penting yang mau beliau sampaikan, jadi Mas tinggal kamu dulu berdua sama Salim.”“Ya sudah kalau pekerjaan lebih pe
Read more
PREV
1
...
34567
...
24
DMCA.com Protection Status