Semua Bab Kontrasepsi di Kamar Adikku : Bab 31 - Bab 40
232 Bab
Part 30
Sebuah sentuhan lembut mendarat di kaki. Memijatnya perlahan, membuatku akhirnya tertidur karena keenakan.“Istriku tidur?” ucap Mas Kenzo dekat sekali di telinga, membuat bulu romaku meremang jadinya.“Belum ngasih upah, loh,” ucapnya lagi sambil mengecup pipiku.Aku membuka mata perlahan, menatap laki-laki di sebelahku yang sedang tersenyum-senyum sendiri. Ih, dasar aneh.“Uangku ada di tas, Mas. Kamu kaya tukang pijat aja pake tarif,” jawabku sembari menutup tubuh dengan selimut hingga ke bagian leher.“Bukan pake duit bayarnya, sayang. Tapi pake ....” Dia mengerling nakal.“Ish, tadi kan udah, Mas. Masa mau lagi?”“Nggak apa-apa, dong. ‘Kan udah halal,” laki-laki berhidung mancung itu memelukku dan ....Suara gemercik air membangunkanku dari tidur malam ini. Aku melihat jam dinding yang menggantung di tembok, ternyata masih jam dua pagi. Tidak lama kemudian Mas Kenzo keluar dengan tubuh hanya dililit handuk. Aku menutup wajahku ketika laki-laki itu menoleh, menyadari kalau diriny
Baca selengkapnya
Part 31
“Bohong!” sanggah Salman. “Saya lihat Bapak ini mengendap masuk ke rumah Bunda, habis itu saya panggil Bibi karena kalau saya langsung masuk takut jadi fitnah. Dan saat kami berdua datang, saya mendengar bunda berteriak. Saya dan Bibi mencoba masuk tapi pintunya dikunci dari dalam. Akhirnya saya memecahkan kaca jendela dan melihat bandot tua itu hampir menodai Bunda!” terangnya emosi.“Dia juga memukul Bunda, menamparnya, hingga wajah bunda memar. Saya punya foto dan Bibi menyimpan hasil visum Bunda!” imbuhnya lagi.Salman menunjukkan foto wajahku yang terlihat babak belur, membuat mata Mas Akmal kembali berkabut.Setelah melakukan upaya mediasi yang terasa begitu alot, akhirnya polisi memutuskan untuk menahan Papa sampai sidang di gelar dan Papa terbukti tidak bersalah.“Fit, tunggu!” Mas Akmal mencekal lenganku ketika hendak keluar ruangan, namun segera ia lepaskan ketika suamiku menatapnya.“Aku mau ngomong sama Efita sebentar, Mas!”“Saya tidak mengizinkan. Sudah siang, permisi, A
Baca selengkapnya
Part 32
Aku duduk di kursi panjang yang ada di koridor rumah sakit setelah melaksanakan salat isya di musala rumah sakit, memegangi kepala karena terasa agak sedikit pusing dan kliyengan. “Minum dulu!” Seseorang menyodorkan minuman sambil berdiri di hadapanku.Aku mendongak menatap wajah datarnya. Salim. Kenapa ekspresi bocah ini selalu datar, tidak seperti Salman yang ramah serta periang seperti Mas Kenzo. Apa dia bukan anak suamiku? Tapi, Mas Kenzo bilang kalau Salim anak kandungnya.“Terima kasih!” Mengambil botol air mineral tersebut, membuka tutupnya kemudian meneguk sedikit isinya.Salim duduk di sebelahku dengan jarak lima puluh centi.“Kenapa kamu mau menikah dengan ayah saya. Apa yang kamu inginkan dari dia?” Alisku bertaut, tidak percaya kalau Salim putra tiriku menyebut kamu kepadaku. Harusnya dia menyebutku dengan sebutan Bunda seperti yang lainnya.“Saya tahu kamu tidak mencintai ayah saya. Saya bisa baca dari sorot mata kamu. Lagian, kamu itu terlalu muda untuk ayah saya. Kamu
Baca selengkapnya
Part 33
Membuka pintu mobil, lalu duduk di kursi belakang kemudi.“Ayah duduk di sebelah aku saja,” ucap Salim ketika Mas Kenzo sudah duduk di sisiku“Lah, emangnya kenapa kalau Ayah duduk di belakang?” tanya Mas Kenzo.“Kalau Ayah duduk di samping Kak Efita nanti ada adegan dewasanya!” pungkas laki-laki berusia dua puluh tahun itu.“Kamu pikirannya ngeres aja, Lim. Mana cewek kamu, kenalin sama Ayah, biar Ayah nikahkan kalian!” “Biar kita cepet punya cucu ya, Mas!” selorohku, akan tetapi langsung disambut tatapan tidak suka oleh Salim.Aku langsung membuang pandangan ke luar jendela. Lama-lama seram juga tatapan anak tiriku yang satu ini. Padahal dia ganteng kalau nggak jutek. Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah kontrakan, karena Mas Kenzo meminta bermalam di rumah yang sudah aku sewa selama setahun itu.Salim memapah sang ayah masuk kemudian membantu membaringkannya di atas tempat tidur.“Makasih, Salim!” ucapku sambil duduk di sebelah Mas Kenzo.“Hmm ...!” Hanya itu ja
Baca selengkapnya
Part 34
“Ya sudah, aku jalan dulu ya, Mas!” Meraih tangan Mas Kenzo, mencium punggung tangannya dengan takzim.Setelah itu aku berjalan mengekor di belakang Salim dan masuk ke dalam mobil.“Duduknya jangan di belakang dong. Emangnya saya sopir kamu!” ucapnya ketika aku sudah berada di dalam mobil.Ya Tuhan, aku ini ibunya loh. Kalau di sinetron-sinetron dan serial kartun kan ibu tiri yang jahat. Kenapa ini malah anak tirinya yang jahat seperti ini?Aku lalu pindah posisi duduk di sebelah kursi kemudi. Sepanjang perjalanan tidak satu patah kata pun yang keluar dari mulut kami. Aku dan Salim saling diam dengan pikiran masing-masing. Sesekali aku melirik Salim yang sedang fokus menyetir sambi menatap lurus jalanan yang lumayan cukup ramai. Hanya suara derum mobil yang terdengar, di iringi suara klakson yang saling bersahutan.“Lim, turun di depan pasar ya. Saya mau cari adik saya dulu!” ucapku memecah keheningan.Salim menoleh, menatap lekat wajah ini.“Kamu punya adik?!” tanya pria itu datar.“
Baca selengkapnya
Part 35
Aku menggigit bibir sambil menahan perih di dada. Air mata berbondong-bondong jatuh dari sudut netraku, membasahi pipi ini."Ayo pulang. Ayah udah neleponin mulu dari tadi," ucap Salim sembari berjalan mendahuluiku.Aku masih tetap saja berdiri mematung, memandangi Dewi yang sedang bergelyut manja di bahu laki-laki hidung belang itu."Ayo, lelet banget sih!" Salim menarik tanganku hingga aku hampir terjatuh."Ya Allah, Salim. Saya ini bukan anak kecil yang bisa kamu perlakukan seenaknya begitu. Tolong hargai saya sedikit karena saya itu ibu kamu sekarang!" Menyingkirkan tangan Salim kemudian berjalan menuju parkiran.Salim melipat tangan di depan dada sambil menatapku. Benar-benar sudah kelewatan anak itu. Makin lama semakin dibuat jengah aku dengan perlakuannya.Aku membuka pintu mobil dan duduk di belakang kursi kemudi, tidak memedulikan ocehan Salim yang terus memintaku untuk duduk di sebelahnya."Kamu itu sebenarnya anak kandungnya Mas Kenzo apa bukan sih? Selain wajah kamu nggak
Baca selengkapnya
Part 36
"Ya sudah, ayo kita tidur. Sudah malam!" Mas Kenzo beranjak dari tempat duduknya lalu masuk ke dalam kamar. "Ayo, Dek," ajaknya lagi."Aku nggak akan tidur kalau Mas belum makan dan minum obat!" Mas Kenzo menghela nafas berat kemudian kembali ke meja makan. Aku menggigit bibir ketika melihat wajah teduh suamiku berubah menjadi datar. Apa kata-kataku telah menyinggung perasaannya. Salahkah jika aku menginginkan seorang anak yang sudah aku damba selama bertahun-tahun lamanya."Mas, aku minta maaf." Pelan aku berucap, laksana angin yang sedang berembus."Kamu nggak salah, Dek. Sudah jangan dibahas lagi. Kita makan lalu istirahat. Besok Mas sudah mulai masuk kerja."Mas Kenzo mulai menyuap nasinya tanpa lagi menawariku seperti tadi. Padahal, aku berharap dia menyuapiku dan kita makan sepiring berdua seperti biasanya.Setelah selesai Makan Mas Kenzo langsung mencuci piring dan meminum obat yang sudah aku sediakan. Aku langsung mengikuti suamiku masuk ke dalam kamar, lalu duduk sebentar u
Baca selengkapnya
Part 37
“Loh, kamu kenapa, Fit. Kok muntah-muntah?” Tanya Ibu seraya menghampiriku.“Nggak tau, Bu. Tiba-tiba Efita mual cium bau masakan Ibu,” jawabku jujur.“Loh, ibu kan goreng ikan gurame, dan baunya biasa saja kalau menurut ibu!” “Entahlah, Bu. Efita tiba-tiba mual seperti ini. Mungkin Efita masuk angin.”“Hayo, jangan-jangan ....?” Ibu melengkungkan bibirnya menatapku.“Jangan-jangan apa, Bu?” “Kamu lagi isi kali, Fit!”Mulutku menganga mendengar ucapan Ibu. Masa iya aku sudah isi, sedang usia pernikahanku dan Mas Kenzo saja baru berusia dua minggu?“Aamiin saja deh, Bu. Aku memang pengen banget cepet punya anak dari Mas Kenzo.”Aku mengambil segelas air dan meneguknya perlahan. Setelah membantu ibu membereskan rumah, aku pamit pulang karena kepalaku terasa berat dan tubuhku mulai gemetaran.Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku terus saja tersenyum membayangkan jika aku benar-benar hamil. ‘Apa aku beli alat tes kehamilan saja ya?’ batinku sambil mengelus perut datarku.Aku segera m
Baca selengkapnya
Part 38
Aku menyender di tembok sambil memegangi kepala.“Kalau pusing, tiduran saja di pangkuan saya. ‘Kan saya anaknya Bunda.” Salim mengulangi perkataannya.Aku menghela nafas berat menatap putra sulungku. Sepertinya tidak mungkin aku menyandarkan kepala di pahanya, walaupun dia anak dari suamiku. Takut menjadi fitnah jika ada tetangga atau teman Mas Kenzo yang melihatnya.“Mau nelepon siapa?” tanya Salim ketika aku mengambil gawai di dalam tas.“Ayah kamu!” sahutku.“Ngapain harus menghubungi Ayah. Kan ada saya di sini. Emang apa-apa harus sama Ayah. Kan bisa minta tolong sama saya!” protesnya.“Saya mau minta dijemput, soalnya kepala saya pusing banget, Salim. Sudah nggak kuat!”“Sini saya pijetin, pijetan saya juga enak loh. Nggak kalah sama Ayah.”“Kamu itu sudah dewasa, Salim. Jadi kalau saya bersandar di paha kamu, dipijat sama kamu, nanti timbul fitnah, paham?!”Salim mendengus kesal.“Lagian, ayah sudah tua, bukannya nyariin mantu buat anaknya malah nyari istri. Nyarinya yang muda
Baca selengkapnya
Part 39
“Dek, kamu kenapa?” Mas Kenzo berlari ke arahku dan langsung merengkuh tubuh ini.Aku mengusap air mataku dengan punggung tangan. Memutar badan, lalu membenamkan wajahku yang sudah sembab dan kuyu di dalam pelukan suamiku. Kuletakkan testpack bergaris satu itu di lantai.“Ya Allah, Dek. Kamu yang sabar dong. Kita baru menikah dua mingguan loh. Masa iya sudah ketahuan hamil atau tidaknya.” Hibur Mas Kenzo sambil mengusap lembut kepalaku.“Bismillah!” Tiba-tiba Mas Kenzo membopong tubuhku dan membawanya keluar dari kamar mandi.“Aku bisa jalan sendiri loh, Mas!” ujarku sambil menyusut air mata yang terus saja mengalir bagai sungai.“Jangan sedih lagi dong sayang, kalau kamu sedih Mas juga ikut sedih jadinya.”“Maaf!” “Untuk apa?” Mas Kenzo merebahkan tubuhku di atas sofa.“Karena sudah bikin Mas sedih.” Aku menahan tubuh suamiku ketika ia hendak bangun. “Aku mau dipeluk, jangan ditinggal. Pokoknya maunya berdua terus sama kamu.” Rengekku manja.“Ya sudah kalau begitu kita pindah ke kam
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
24
DMCA.com Protection Status