All Chapters of BENIH 2 MILIAR: Chapter 21 - Chapter 30
167 Chapters
22. Jarak
Selesai membersihkan diri, aku yang bingung mau apa hanya bisa mondar-mandir di sekeliling kamar. Menonton TV, membaca buku, bahkan hanya sekedar rebahan sudah kulakukan. Namun, sama sekali tak mampu mengusir bosan. Lain dengan saat jalan-jalan bersama Khalid keliling Batam. Berjam-jam waktu ditempuh tak ada jenuh yang dirasakan.Sedikit ragu, aku melangkah keluar. Menatap lama pintu kamar Khalid yang persis ada di seberang. Terdengar samar suara orang yang mengaji. Akhirnya kuberanikan diri menghampiri.Lelaki itu tengah bersila beralaskan sajadah, kitab suci dia genggam erat di pangkuan. Memang tak semerdu para tilawah Qur'an, tapi suara cukup menenangkan.Sadar diperhatikan, Khalid menoleh. Sejenak dia menyisir rambut yang masih menyisakan sedikit jejak wudhu, kemudian memanggilku."Duduk di sini!" Khalid mengubah posisi sajadahnya. Yang semula lurus vertikal, ke horizontal. "Tadinya setelah tarawih saya mau langsung ke ruang tamu, tapi tiba-tiba ingat kalau hari ini belum sempat n
Read more
23. Beda Kelas
Bila sekolah punya kelas untuk membedakan nilai akademi. Begitu juga dengan kami. Aku dan Naya punya status yang sama tapi kami berada di level yang berbeda. Status sebagai istri seolah tak berarti bila hanya salah satu yang dicintai. Keadilan hanya sanggup diucapkan, kewajiban tak benar-benar dijalankan. Dan selembar kertas seolah menjadi penghalang yang mutlak ditekankan.Bahkan saat dia pertama kali datang menawarkan komitmen yang dibalut kesepakatan aku tak pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Hanya demi uang aku rela melakukan, hanya demi kebebasan, rahim kupinjamkan. Benih sudah ditanam, hanya menunggu kurang lebih tujuh bulan semua yang pernah terjadi dianggap tak berarti. Semuanya akan hilang hanya sebagai histori. Namun, kenapa malah timbul sesuatu yang sulit kumengerti."Nindi!" Panggilan Khalid menginterupsi. Dari balik pintu mobil yang sudah terbuka dia berdiri membungkuk menatapku. Rupanya kami sudah tiba di tempat yang dituju.Kupeluk diri saat dinginnya malam meny
Read more
24. Terungkap
"Mbak Nindi!" Sebuah panggilan menginterupsi. Kualihkan pandangan dari benda pipih dalam genggaman, lalu menatap wanita renta yang berdiri membawa nampan berisi minuman dan camilan.Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya dia asisten baru di sini, ini pertama kali aku melihatnya setelah beberapa kali ke mari.Hanya yang membuat heran kenapa dia bisa langsung menyebut namaku?"Eh, iya, Mbok. Makasih."Dia menatapku cukup lama setelah meletakkan nampan di atas meja. Nanar dan sayu, tatapan itu seolah menyiratkan sesuatu."Boleh simbok duduk di sini!" Dia menunjuk tempat kosong di sebelahku."Eh, oh. Iya, boleh!" Sedikit ragu aku mempersilakan."Kenalkan nama simbok Warmi. Simbok sudah lama sekali bekerja dengan Pak Budi dan Non Naya. Kalau ndak salah kita pernah bertemu di panti dulu. Saat simbok anter Non Naya pulang saat itu."Aku mengernyitkan dahi, berusaha mengingat-ingat. Terlalu banyak memori buruk yang terekam dalam otakku, hingga tak menyisakan sedikit ruang apalagi untuk seseorang
Read more
25. Nostalgia Masa Lalu
Sepuluh tahun lalu ....Suara deru kendaraan terdengar di depan halaman panti, dari balik tilas jendela aku melihat anak-anak berlarian keluar memburu pemilik yayasan dan sang istri yang biasa datang tiap seminggu sekali. Setiap kali mengunjungi, keduanya selalu membawa serta banyak makanan dan mainan entah dari sumbangan maupun dana pribadi."Kak Nin, nggak nyamperin Pak Budi sama Bu Siksa? Nanti nggak kebagian jatah, loh." Bocah tujuh tahun berambut ikal itu berdiri di ambang pintu kamarku, menjilati es krim yang hanya seminggu sekali bisa kita nikmati."Nggak apa-apa. Kak Nin udah gede, mending buat kalian aja." Aku tersenyum lebar menatap Dodi, bocah tujuh tahun yang masih berdiri memakan es krim di sana. Sesekali menelan ludah mencoba menahan keinginan untuk mencicipi bagaiman es krim yang dingin dan segar itu menjalari tenggorokan panas-panas begini."Yakin? Atau mau cobain dikit punya Dodi." Bocah itu menawarkan, seraya menyodorkan es krim stik di tangan kanannya.Sekali lagi
Read more
26. Kenangan Pilu
Perutku tiba-tiba berbunyi saat tengah membasuh piring. Dari balik jendela dapur kulihat anak-anak tengah bermain dengan Pak Budi seraya menyantap Baso Malang yang biasa lewat tiap siang menjelang.Aku hanya bisa menelan ludah, sembari menahan perih di ulu hati. Sejak seringkali melewatkan makan, penyakit magh menyerang. Rasanya kadang menyiksa bila harus menghadapi tanggung jawab yang menunggu ditunaikan.Tiba-tiba terdengar suara derap langkah di belakang. Bunyinya seperti hak sepatu tinggi yang beradu dengan ubin.Aku menoleh, dan mendapati Bu Siska berjalan mendekat sembari menenteng mangkuk di tangan. Dari mulutnya masih ada sisa baso yang kemudian dilepehnya lagi."Mau?" tanyanya sembari menyodorkan baso bekas yang bentuknya sudah tak layak konsumsi.Namun, daripada magh-ku lebih parah bila dibiarkan lebih lama lagi, akhirnya aku mengiyakan."Nih!" Mangkuk tersebut ditelengkan hingga membuat kuahnya sedikit tumpah. Belum sempat aku meraih, seperti sengaja dia langsung menyiram s
Read more
Sasaran Dendam
Aku terbangun di dalam kamar. Sebuah infusan terlihat di salah satu lengan. Pusing berkunang-kumang masih bisa dirasakan dengan mata perih dan mulut yang sedikit pahit. Hampir dua hari sejak kejadian yang kuanggap mimpi itu terjadi, besoknya aku langsung meriang dan demam, lalu dirawat selama sehari di rumah sakit. Yang paling menghawatirkan dari semua itu jelas adalah janin ini.Namun, beruntung dokter mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan dalam keadaan sehat. Asupan nutrisi juga terpenuhi. Bu Sarah dan Pak Ali sempat datang untuk memastikan keadaan, begitu pula dengan Pak Budi dan Bu Siska.Tak ada sorot bersalah yang digambarkan ibu kandung Naya itu bahkan setelah apa yang dia lakukan selama ini. Sementara sang suami, Pak Budi, besar kemungkinan sampai detik ini lelaki paruh baya itu masih belum tahu tentang statusku setelah dua puluh lima tahu berlalu. Kalau pun tahu kuyakin semua tak akan berakhir seperti ini."Sudah, baring saja! Kamu masih sakit." Kurasakan tangan besar menah
Read more
Membatasi Diri
"Udah mendingan, kok. Jadi kamu bisa mulai kerja besok." Sekembalinya dari kamar mandi, kulihat Khalid melakukan kegiatan rutinnya sejak dua hari lalu. Yaitu mengantar makanan dan obat-obatan tiap pagi, siang, dan malam. "Kebetulan Neli juga sempet WA kalau dia udah di jalan." Kuabaikan dia yang masih berdiri di sisi ranjang, setelah meletakan nampan di atas nakas. Kemudian kuyalakan hairdryer untuk mengeringkan rambut. Segar rasanya setelah dua hari badan lengket dengan keringat."Siapa yang suruh kamu mandi? Kondisimu masih belum stabil, Nindi!" Aku memutar bola mata saat mendengarnya meributkan hal yang kurasa tak perlu."Tubuhku, terserah aku. Mau mandi, berendam, atau telanjang. Apa urusanmu?"Tampak dari pantulan kaca lemari, rahangnya mengatup rapat."Jangan coba membatasi diri! Saya tahu sebelum kejadian itu kamu nggak begini.""Maaf?" Aku berbalik. Siapa yang kamu bilang membatasi diri? Bukannya selama ini kamu yang bersikap naif dan punya aturan sendiri?" Melihatnya mulai
Read more
Belajar Pelan-Pelan
Sampai di ambang pintu, aku menimbang-nimbang lagi. Jujur, egoku terlalu tinggi bila harus memulai duluan. Tapi, kembali lagi. Bila perang dingin ini tak segera diakhiri, bisa-bisa aku dan Neli tidak lagi menjadi Bestie.Kuhela napas panjang sebelum menghampiri Khalid yang baru saja menutup kitab suci, dia beranjak bangkit dan tertegun saat mendapatiku berada di hadapannya saat ini."Sorry." Kukatakan itu dengan pandangan berpaling."Saya di sebelah sini, Nindi!" Aku berdecak, lalu terpaksa menatap langsung ke matanya."Maaf, kalau aku nyebelin akhir-akhir ini." Sedikit ketus, kalimat sakral itu akhirnya terucap.Khalid tersenyum kecil. "Iya, nggak apa-apa. Saya ngerti.""Ya udah, kita turun sekarang! Jam buka tinggal beberapa menit lagi."Dia mengangguk, masih dengan sarung dan kaus putih yang melekat, Khalid melepas kopiah yang semula bertengger manis di kepalanya."Sebentar!" Refleks aku menarik tangan kanan Khalid yang terdapat memar."Ini gara-gara mukul lemari tadi?" Aku bertan
Read more
Saling Terbuka
Aku kehilangan kata untuk menggambarkan sosok Khalid Prasetya. Dia nyaris tak ada celah, dan sulit sekali mencari kekurangannya.Bagaimana bisa dia membawaku ke acara besar seperti ini hanya beberapa jam sebelum dilaksanakan? Semua serba dadakan, tapi hasil yang didapatkan menurutku tak terlalu mengecewakan.Kami tampil layaknya pasangan pada umumnya. Pakaian couple berwarna senada, jas dan kaftan, bergandeng tangan menyalami kerumunan orang-orang yang sebagian besar menatapku penasaran. Tak heran memang. Meski pernikahan kami resmi, tapi acaranya tertutup untuk umum. Hanya saudara dan kerabat dekat saja yang datang."Kalau boleh saya tahu ini siapa, ya, Pak Khalid?" Sudah kuduga. Akhirnya pertanyaan sakral itu datang juga.Khalid menatapku sejenak, lalu mengetatkan genggaman tangan kami."Istri saya." Singkat, padat, jelas. Dan aku suka.Kedua lelaki paruh baya itu berpandangan."Maaf, sebelumnya. Bukannya istri Anda Bu Naya. Anu, yang berjilbab." Hati-hati salah satu dari mereka ber
Read more
Butuh Waktu
Aku duduk di tepi ranjang samping kiri. Memintal-mintal selimut yang menutup setengah tubuh ini. Kutatap Khalid yang baru kembali dari kamar mandi, jejak basah terlihat masih tertinggal di ujung rambut hingga menetesi kerah kaus."Kalau kamu keberatan saya bisa tidur di sofa atau ruang tam--""Nggak usah!" sentakku tanpa sadar. Kutahan tangannya yang hendak meraih selimut dan bantal. "Di sini aja, temenin." Kutepuk dahi sesaat setelah mengatakan, kalau begini jadinya aku seperti sangat menginginkan. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Ini bahkan bukan pengalaman pertamaku dengan lelaki. Aku bahkan sudah mengenal berbagai macam Kaum Adam.Tapi, kenapa sekarang seolah ada perasaan janggal yang tak pernah dirasakan?"O-oke." Tanpa menoleh aku bisa merasakan pergerakan ranjang di samping kanan. Dia menarik selimut yang semula hanya kugunakan.Napasku tercekat saat kaki kami bersentuhan. Sialan, apa-apa perasaan ini?Mencoba menepis berbagai macam perasaan yang berkecamuk menjadi satu, aku
Read more
PREV
123456
...
17
DMCA.com Protection Status