Semua Bab Suami Bersama: Bab 31 - Bab 40
98 Bab
Acara Akikah
Klik.Satu notifikasi pesan masuk ke ponselku. Mas Yusuf yang mengirim pesan itu. Aku segera membuka dan membaca isi pesannya."Suamimu belum pulang sudah sore begini?" tanya ayah saat aku tengah membaca pesan dari menantunya itu. Aku meletakkan ponselku di meja yang berada di depanku dan beralih pada ayah. Ayah menyeruput kopi hitam yang kubuat beberapa menit lalu dan sudah tidak terlalu panas."Dia ... hari ini gak pulang, ayah. Barusan Mas Yusuf kirim pesan, dia akan ke Bandung sore ini," jawabku ragu, takut memunculkan kemarahan ayahku.Ia meletakkan kembali cangkir kopinya di atas piring, lalu bertanya padaku, "Ke Bandung? Untuk apa dia ke sana?""Mas Yusuf dan Naura mau ngadain tasyakuran putri mereka di sana.""Dia sudah punya anak dari istri keduanya itu?" Ayah mengernyitkan dahi. Banyak hal memang yang tidak ayah ketahui tentang Mas Yusuf, karena aku tidak pernah bercerita apapun padanya. "Iya, Ayah. Dan an
Baca selengkapnya
Dipermalukan
"Wah, rupanya ada tamu jauh, ya," ucap ibunya Naura sinis. Ia baru saja masuk kembali ke ruangan. Entah dari mana wanita paruh baya itu dan tiba-tiba muncul di hadapan kami. Aku dan Mas Yusuf mengarahkan pandang padanya. Wanita itu kemudian menghampiri ketiga temannya yang berdiri tidak jauh dari tempat kami. Mereka tampak mengobrol. Namun, obrolan mereka begitu terdengar di telingaku. "Eh, Jeng Lucy, kok, perempuan itu keliatan akrab banget sama menantunya, Jeng? Memangnya siapa dia?" tanya salah seorang teman ibunya Naura sembari menunjuk ke arah kami. Mereka adalah wanita-wanita berkelas dengan penampilan glamor. Terlihat pakaian mereka begitu bagus dan mahal. "Oh, dia itu istri pertama menantu saya," jawab wanita itu santai. Tidak ragu-ragu mengakui aku adalah istri pertama dari menantu kebanggaannya. "Istri pertama menantunya Jeng Lucy? Loh, kok, bisa, Jeng? Berarti Naura itu merebut suaminya, begitu, Jeng?" Wanita itu tampak berhati-hati menguca
Baca selengkapnya
Bertahan
Sepulang Mas Yusuf dari Bandung, ia langsung memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya sudah ia dengar jawabannya. Saat aku meluruskan pernyataan Bu Lucy, ibu mertuanya. Ia masih saja menanyakan tentang hubunganku dengan Adrian. Padahal ia tahu, kami hanya berteman. "Aku gak ada apa-apa sama Adrian, Mas!" tegasku pada Mas Yusuf. "Bohong!" bentaknya. Manik mata yang biasanya teduh, kini memanas menatapku. Ia benar-benar sudah termakan omongan ibu mertuanya atau mungkin istrinya juga. Sejak pertama bertemu denganku, ibunya Naura memang tidak menyukaiku. Sehingga ia menyebarkan rumor yang tidak sedap tentang aku dan Adrian kepada para tamu. Dan Mas Yusuf percaya saja dengan semua itu. "Mas, kamu percaya yang Bu Lucy katakan daripada aku, istri kamu sendiri? Aku ini selalu ada bersama kamu. Mengapa kamu lebih percaya sama orang yang tinggal jauh di sana?" tanyaku. "Bagaimana aku bisa percaya sama kamu, Nadhira? Kamu sendiri tidak
Baca selengkapnya
Bertemu Adrian
Beberapa bulan berlalu. Hubunganku dengan Mas Yusuf mengalami pasang surut. Setelah pertengkaran hebat siang itu sepulang suamiku dari Bandung, kami tidak saling bicara selama beberapa hari. Ia kembali ke rumah, tapi aku tidak menemuinya. Aku lebih banyak mengurung diri di kamar, sementara ia tidur di kamar lain. Aku dan Mas Yusuf seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu atap. Walaupun begitu, aku masih menjalankan kewajibanku sebagai istri, menyiapkan makan, pakaian, dan memenuhi segala kebutuhannya. Selama pernikahan, aku banyak menerima ketidakadilan dalam rumah tanggaku bersamanya, tetapi aku memilih bertahan dan memaafkan lelaki itu. Biarlah orang menganggap diriku ini bodoh, karena masih mau mempertahankan pernikahan yang sudah tidak sehat sejak awal.  Sejak kemunculan Naura di kehidupan kami ditambah sosok baru dalam hidupnya, Mas Yusuf semakin banyak berubah. Namun, ia tidak pernah mau mengakui perubahan sikapnya itu. Memang susah berdebat dengan
Baca selengkapnya
Pabrik Adrian
Aku masih melakukan aktivitas mengajar, setelah meminta pengertian Mas Yusuf, agar aku bisa menyelesaikan tugas sampai akhir tahun pelajaran. Sekitar tiga bulan lagi dan ia pun menyetujuinya.  Aku sudah rapi dengan pakaian dinasku. Hari ini aku tidak mengajar, tetapi melaksanakan tugas luarku yaitu mengawas ruang ujian di sekolah lain. Pelaksanaan Ujian Nasional diselenggarakan di sekolah-sekolah menengah atas secara serempak selama tiga hari. Selama tiga hari itu, siswa kelas XII berjuang untuk mendapatkan kelulusan mereka setelah tiga tahun belajar di sekolah. Tiga hari itu juga menjadi penentuan masa depan mereka untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi. Ini adalah hari terakhirku mengawas Ujian Nasional. Aku baru tahu ternyata sekolah tempatku mengawas tidak jauh dari kantor Adrian setelah ia memberitahuku. Mungkin setelah melaksanakan tugasku ini, aku bisa mampir ke kantornya. "Pagi, Mas!" sapaku pada Mas Yusuf yang baru saja turun. Ia sudah
Baca selengkapnya
Pelampiasan
Pagi ini, aku sudah rapi dengan pakaian kerja. Aku menuruni tangga hendak bergegas pergi. Saat ingin menghindarinya, panggilan Nadhira mengalihkanku. Aku segera menghampirinya."Pagi, Mas!" sapanya ramah dengan senyum kemunafikan. Tangannya sibuk menyiapkan sarapan untukku. Dan wanita itu juga sudah rapi dengan pakaian dinasnya, bersiap untuk berangkat.Aku duduk di kursi, sedangkan Nadhira bangkit dari duduknya. Ia sudah selesai sarapan."Aku berangkat, ya, Mas," pamitnya, lalu mencium tanganku. "Bekas sarapannya, tinggalin aja! Nanti Bi Ira yang beresin," ucapnya lagi sebelum akhirnya ia pergi.Aku menangkap ada yang berbeda pada Nadhira. Banyak perubahan dari sikap istriku itu. Ia mulai berani membantah dan tidak menuruti permintaanku akhir-akhir ini. Aku menyuruhnya berhenti bekerja. Namun, Nadhira bersikukuh menolaknya dan tetap melakukan aktivitas mengajarnya. Ia bilang hanya sampai akhir tahun saja ia mengajar. Sekitar tiga bulan lagi
Baca selengkapnya
Meminta Cerai
Setelah percintaan yang penuh pemaksaan itu, Nadhira menangis dan duduk sendiri di atas kasur, sementara aku duduk di lantai sembari bersandar pada sisi ranjang dan membelakanginya.Aku telah berlaku kasar pada istriku, tapi semua itu karena rasa cemburu pada lelaki yang dekat dengannya."Maafkan aku!" Hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan."Maafkan aku, Nadhira!" ucapku lagi. Aku menyesal setelah apa yang aku perbuat padanya. Sesaat hening menyelimuti kami. Hanya isak tangis istriku yang memilukan terdengar nyaring memenuhi ruangan bernuasa kelabu. Cahaya temaram dari lampu di atas nakas juga layar televisi yang sedari tadi menyala, memantul di wajah Nadhira yang basah. Aku kembali melakukan kesalahan dan menyakitinya.Aku belum beranjak dari tempat dudukku. Sesekali aku menoleh ke arahnya. Namun, tak berani netra ini menatap sorot matanya yang sendu. Aku malu karena telah berlaku kasar padanya. Aku terlalu emosi, sehingga tidak bisa berp
Baca selengkapnya
Penandatanganan Surat
"Aargh!" aku mengerang merasakan sekujur tubuh yang sakit juga kepala terasa pusing.  Saat mata terbuka, kulihat langit-langit berwarna putih. Ini bukan kamarku. Bau obat menyeruak di hidung. Seketika membuatku semakin mual. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Rupanya ini di rumah sakit. Apa yang terjadi padaku? Cairan infus nampak menggantung di tiang sisi tempat tidur dan terhubung ke pergelangan tanganku. Aku merasakan sesuatu menindih kakiku di bawah sana. Kulirik ke samping kanan ranjang, rupanya seorang laki-laki tengah tertidur di dekatku dengan menelungkupkan kepala, sedangkan satu tangannya berada di atas kakiku. "Aargh!" Aku mengerang kembali. Sontak lelaki yang mengenakan kaos putih itu terbangun. Ia bangkit dan menghampiriku yang terbaring lemah. "Sayang," panggilnya lembut seraya memegang tanganku. "Syukurlah kau sudah sadar. Beri tahu aku, mana yang sakit?" tanyanya khawatir. Lelaki itu begitu dekat, hingga hembusa
Baca selengkapnya
Pulang ke Rumah Ayah
Aku sudah tidak mengajar lagi. Saat ini kegiatanku hanya di rumah saja. Tidak ada kesibukan selain berdiam diri sambil menikmati acara favorit di televisi atau berselancar di dunia maya, melihat-lihat postingan teman-temanku di akun media sosial mereka. "Ah, enak sekali jadi mereka, bisa bekerja dan keluar rumah," gumamku sendiri sembari jemari ini asyik menggeser layar ponsel. Seperti yang kulihat pada postingan Rania, rekan mengajarku dulu. Ia mengunggah kegiatan pentas seni yang diadakan sekolah. Kegiatan itu diselenggarakan setiap akhir tahun pelajaran untuk menampilkan bakat anak-anak muridnya, seperti menari, bernyanyi, puisi, atau band. Seharusnya, aku juga ikut dalam kegiatan tersebut. Namun, karena sudah resign, aku hanya bisa menikmati acara itu melalui video yang Rania unggah di akun medsosnya.Keputusan untuk tetap bersama lelaki arogan itu, ternyata salah. Aku seperti terkurung dalam sangkar. Ruang gerakku terbatas, hanya sekita
Baca selengkapnya
Melahirkan
"Ayah," panggilku. Lelaki paruh baya itupun menoleh.  "Nadhira, putriku," sahutnya sembari berdiri. Aku langsung berhambur memeluk lelaki yang usianya semakin senja itu dengan penuh haru. "Kenapa kamu pulang sendiri, Nak? Ke mana suamimu?" tanya ayah setelah melerai pelukannya.  Kuhapus jejak air mata di pipiku, lalu menjawab, "Dia sedang ada pekerjaan, Yah. Aku sendiri di rumah. Jadi, aku mau menginap di rumah Ayah. Aku kangen sama ayah."  Aku kembali memeluknya dan ia menyambutku penuh hangat. Tenang sekali berada dalam pelukan cinta pertamaku itu. Tak lama, ayah mengurai pelukannya. "Anak Ayah udah gede masih manja aja. Kamu itu ... sebentar lagi mau punya anak," ujarnya seraya mencubit pipiku. "Ayah...." Aku mengusap pipiku yang sakit karena cubitannya. Selain sakit, ternyata pipiku juga kotor akibat tanah dari sarung tangan karetnya. "Pipiku jadi kotor, kan," ujarku lagi. Ayah
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status