Share

Chapter 4 Summer, Dream Catcher, and Tobias

Kami makan siang di Sidewalk Café, tempat yang populer di Venice Beach. Bangunannya terlihat menonjol dengan tenda merah putih memanjang di bagian depannya. Menjadi satu dengan Sidewalk Café, ada Small World Book, toko buku yang sudah ada sejak tahun 1969. Beberapa kali aku ke sana dan koleksinya sungguh lengkap. Tempat itu benar-benar surga bagi para pecinta buku.

Ada bar yang luas di bagian dalam Sidewalk Café, sementara kursi-kursi untuk pengunjung yang hanya ingin makan berada di bawah tenda, mereka bisa menyantap hidangan sambil melihat-lihat pemandangan boardwalk melalui jendela kaca yang terpasang pada keseluruhan dinding yang menghadap ke jalan. Aku memilih tempat di sebelah jendela. Ketika pelayan datang dan menanyakan pesanan, aku memilih nachos yang ditambah steak dan salad santa fe yang berisi potongan alpukat, jagung manis panggang, irisan tomat, keju, kacang hitam, dan campuran sayuran yang disiram dengan saus buatan sendiri. Sementara Tobias tidak mau dipusingkan dengan menu, dia hanya memesan dua hamburger ukuran besar untuk dirinya sendiri.

Sambil menunggu pesanan, aku melayangkan pandangan ke luar, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Di seberang jalan, tepat lurus dari posisiku duduk ada seorang musisi dengan piano tuanya, memainkan lagu-lagu yang saat ini populer untuk mendapatkan tips dari para turis. Dentingan pianonya terdengar sampai ke dalam café. Aku mengambil gambarnya beberapa, dengan fokus pada dirinya sementara orang-orang di sekitarnya kubuat blur.

“Orang-orang seperti apa yang memesan foto padamu?” tanya Tobias.

“Kebanyakan pemilik blog wisata, atau para penulis artikel lepas yang membutuhkan foto-foto tempat yang akan mereka kupas pada artikelnya.”

“Bagaimana mereka bisa menulis artikel sebuah tempat, jika mereka tidak mengunjungi tempat itu dan hanya meminta seorang fotografer untuk memotret tempat tersebut?”

Aku tersenyum, saat itu pelayan datang membawakan pesanan kami, jadi aku menunggu dia pergi baru kemudian menjawab, “Kau tidak tahu betapa mahir mereka merangkai kata, mereka bisa menyusun berpuluh-puluh paragraf hanya dari beberapa lembar foto dan membuat pembaca merasa berada di tempat yang mereka gambarkan melalui tulisan.”

“Oh, sungguh?”

“Yup,” ucapku yakin sambil mulai memakan keripik tortillaku.

Tobias juga mulai menggigit potongan besar hamburger-nya. Selama makan, kami berbincang-bincang dengan santai. Membicarakn cuaca, pertandingan baseball, demonstrasi-demonstrasi di berbagai tempat, bahkan apa yang menjadi tren di belahan dunia lain pun kita bahas. Tobias ternyata memiliki wawasan yang luas, topik pembicaraan apa pun terasa menyenangkan saat dibahas dengannya.

“Kau mau ikut denganku berkeliling atau mau kembali pada pacarmu itu?” sindirku saat akhirnya perut kami sudah terisi penuh.

“Pacarku?”

“Gadis yang baru saja berdansa denganmu.”

Bibir Tobias setengah melengkung ke atas, manik biru langitnya menatapku dengan sorot menggoda. “Kau masih memikirkan itu rupanya,” gumamnya yang entah apa sebabnya terdengar senang. “Jika ini membuatmu tenang, aku sama sekali tidak tertarik dengan Sara,” lanjutnya percaya diri.

Bola mataku melebar, rasa panas menjalar pada pipiku. “Berengsek kau!” bisikku geli sambil melempar pria di depanku dengan bola tisu.

Dan dia membalasnya dengan kekehan. Meski terselip rasa malu, mau tidak mau aku tersenyum melihat kekonyolannya. Ah, ya! Dia memang konyol.

Sebelum pergi, aku masuk ke bar sebentar, memotret bagian dalamnya. Lalu beranjak keluar diikuti oleh Tobias. Saat sudah berada di luar, tiba-tiba Tobias menyeretku ke tempat pianis yang tadi kupotret.

“Tolong mainkan satu lagu romantis, Sir,” pintanya.

“Hai, Nathan,” sapaku pada si pianis, yang membuat Tobias langsung menoleh padaku sambil mengangkat kedua alisnya.

“Halo, Miss Gale.” Nathan tersenyum menyenangkan.

Nathan seorang musisi tetap di Venice Boardwalk, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, penampilannya lusuh, dan dia seorang homeless. Tapi kemampuannya memainkan piano setara dengan pianis-pianis terkenal yang biasa memainkan pianonya di panggung-panggung konser. Aku sudah mengenalnya sejak beberapa tahun yang lalu.

“Rupanya kau sudah sering ke sini ya?” kata Tobias mengalihkan perhatiannya padaku.

“Ya, tentu saja. Venice Beach selalu jadi tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi. Bukan begitu, Nathan?”

“Betul sekali, Miss,” jawab Nathan masih dengan senyuman. “Anda ke sini untuk liburan atau pekerjaan, Miss?”

“Pekerjaan, Nathan. Aku membawa kamera,” kataku mengacungkan kameraku.

“Ah, ya. Mata saya mulai rabun rupanya.” Dan dia menyambung ucapannya dengan tawa. “Dan….” Pandangan Nathan beralih pada Tobias, Dia agak menelengkan kepalanya.

“Dia Tobias temanku, Tobias Lorran,” ucapku memahami isyarat tubuhnya.

“Teman?” tanya Nathan kembali berpaling padaku, pancaran pada sorot matanya membuatku tersipu.

“Ya, Nathan. Kami ini teman,” ucapku meyakinkan.

Okay, sebuah lagu romantis untuk Miss Gale dan … temannya.” Mata tua Nathan menatapku penuh arti, dan senyuman simpulnya kembali membuatku tersipu.

Jari Nathan dengan lincah menari di atas tuts, menciptakan rangkaian melodi yang kukenali sebagai lagu Sorry milik Justin Bieber. Nada-nada yang jika di musik aslinya terdengar dinamis, saat ini mengalun lembut dan menyentuh. Tobias, entah karena terbawa perasaan atau apa, tangannya menggandengku hangat. Beberapa orang ikut berkerumun bersama kami, menikmati sentuhan nada yang dimainkan Nathan. Dan ketika pria itu menyelesaikan lagunya, kami semua bertepuk tangan dengan gembira. Tobias terlihat senang ketika dia mengeluarkan lembaran lima dolar dari dompetnya dan meletakkannya ke dalam kotak Nathan.

“Permainan yang bagus sekali, Nathan,” katanya.

“Terima kasih, Mr. Lorran. Tuhan memberkati kalian berdua.”

Aku melirik Tobias yang ternyata juga sedang melirikku, dan kami saling melemparkan senyum. Kemudian aku berpamitan pada Nathan.

“Nathan pianis yang hebat,” kata Tobias saat kami berdua sudah jauh darinya. “Apa dia tinggal di sekitar sini?”

“Dia homeless,” bisikku.

Homeless dengan grand piano?”

“Yup, dan buatan Amerika.”

“Wow, aku tidak menyangka.”

Aku hanya tertawa, kemudian membuka tutup lensa kamera dan melanjutkan pekerjaanku. Kali ini Tobias tidak lagi bertanya macam-macam, dia hanya mengikutiku dengan patuh, seperti anak kecil yang menemani ibunya berbelanja. Sekali waktu, aku menemukan dia berdiri di depan salah satu stan, melihat-lihat puluhan dream catcher yang tergantung, rangkaian bulu-bulunya yang berwarna-warni bergerak tak tentu arah karena tertiup oleh angin, menghasilkan bunyi bergemirincing. Aku mengabadikan momen itu tanpa sepengetahuannya.

“Indah bukan?” ucapku berdiri di sampingnya.

“Yeah … mungkin.”

Aku menoleh padanya. “Kupikir kau di sini karena tertarik pada benda ini?”

Tobias mengangkat bahu. “Aku punya satu di rumah, peninggalan ibuku.”

“Oh, wow. Kau menyimpan dream catcher?”

“Ya, tergantung di jendela kamarku.” Tobias menoleh padaku dengan cengiran lebar di wajahnya.

“Wah, aku merasa gagal menjadi wanita,” gurauku pura-pura sedih.

“Aku bisa membelikanmu satu,” kata Tobias sambil memilihkan dream catcher yang tergantung di atasnya, kemudian mengambil satu yang memiliki warna paling indah, perpaduan warna-warna lembut bergradasi. Dia membayar benda itu dan memberikannya padaku.

“Wah, kau baik sekali. Terima kasih,” kataku sambil tertawa. Rasanya lucu sekali aku memiliki benda seperti ini, karena sebenarnya aku tipe wanita praktis dan bukannya romantis.

“Terima kasih kembali,” sahut Tobias menyeringai. Seolah-olah tahu apa yang ada di pikiranku.

Penjual dream catcher memberiku kantong kertas, aku menerimanya, memasukkan benda yang baru saja diberikan Tobias dan menyimpannya di dalam ranselku.

“Hati-hati, kau bisa merusak bulu-bulunya.”

“Aku sudah hati-hati.”

Kami berjalan lagi menyusuri boardwalk, melewati seorang pria yang berpenampilan bagai seniman jalanan sedang membacakan puisi, Tobias melemparkan koin ke box yang tergeletak tidak jauh dari penyair itu. Kemudian kami melewati kerumunan orang sedang menonton pemain akrobat yang melakukan atraksi bersepeda sambil menyemburkan api, aku memotret kerumunan itu, kemudian berlari ke sisi yang lain agar bisa memotret para pemain akrobat itu.

“Atraksi yang luar biasa,” kataku ketika sudah berada di samping Tobias lagi. Pria itu hanya terkekeh. “Venice Beach dan musim panas, benar-benar cocok.”

Kami berjalan lagi. Aku melirik Tobias, diam-diam berpikir, bukan hanya Venice Beach yang cocok dengan musim panas, pria di sampingku juga. Jika musim panas adalah manusia, Tobias adalah gambaran yang pas untuk musim panas itu. Hangat, dinamis, dan memiliki semangat layaknya jiwa-jiwa muda.

Tobias Lorran dan musim panas … mereka cocok sekali.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
De Legrants
not bad lah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status