Share

Chapter 3 Jealous? Nope!

Pantai penuh dengan parade manusia sepanjang Venice Beach Boardwalk, seolah-olah semua penduduk Los Angeles tumpah di tempat ini. Tapi memang musim panas selalu menjadi alasan tepat untuk mengunjungi pantai, apalagi di akhir pekan seperti sekarang. Aku dan Tobias berada di tengah-tengah parade tersebut. Sepanjang jalan satu setengah mil yang di kedua sisinya dipenuhi berbagai kedai, toko, dan stan yang memajang suvenir serta pernak-pernik yang menarik itu, Tobias menggandengku. Tangannya menggenggam tanganku erat namun lembut. Tanpa pria itu menyadari perbuatannya membuat jantungku berdebar tidak karuan.

Mendekati pantai, aku melepaskan gandengan tangannya tanpa memperhatikan pria itu, berpura-pura apa yang kulakukan hanyalah merupakan gerakan reflek untuk menyiapkan kameraku. Meski begitu, aku merasakan tatapannya dari balik bahuku.

Melihat apa yang terpampang di depanku, aku melupakan gemuruh perasaan yang sempat menyerbuku akibat genggaman tangan Tobias tadi. Kawasan bohemian yang tidak pernah membosankan. Penuh dengan sinar matahari yang hangat dan menyenangkan, juga para seniman yang mempertontonkan keahlian mereka.

Aku memotret para pemain skateboard bertelanjang dada yang beraksi, mengambil dari beberapa sudut.

“Jadi, kau ke sini untuk memotret mereka?” ledek Tobias, ada nada geli di suaranya.

“Ini permintaan pelanggan,” sahutku acuh.

“Permintaan pelanggan? Sejak kapan seorang reporter mempunyai pelanggan?”

Aku berhenti memotret. “Ini untuk pekerjaanku yang satunya,” jelasku, kemudian membidikkan kameraku lagi, mencoba sudut pandang dari sisi lain.

Begitu aku menemukan posisi yang tepat dan siap menekan shutter, Tobias kembali mengganggu dengan pertanyaannya.

“Kau punya pekerjaan lain? Apa itu?”

Aku menghela napas, konsentrasiku terganggu sudah. Sambil berbalik dan dengan agak kesal aku menjawab, “Freelance photographer. Sekarang bisakah kau diam dulu dan biarkan aku bekerja?”

Tobias tersenyum lebar. “Okay,” katanya. “Lakukan pekerjaanmu aku akan menunggu di sana.” Dia menunjuk kerumunan orang yang membentuk lingkaran, beberapa di antara mereka menabuh drum.

Setiap Sabtu dan Minggu di Venice Beach ada atraksi tidak resmi, namun terkenal hingga ke manca negara yang biasa disebut Venice Beach Drum Circle. Tempat atraksi itu berada di tepi pantai, di ujung Venice Beach Boardwalk dan Brooks Avenue. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan orang berkumpul membawa alat musik perkusi seperti drum, conga, atau shaker, bermain musik dan berdansa sampai matahari terbenam. Aku pernah meliput acara itu tahun kemarin.

Okay, pergilah. Nanti aku menyusul.”

Tobias segera berlari menuju kerumunan itu, dia berbalik sekali sambil melambaikan tangan padaku dan meneriakkan sesuatu. Aku memberikan isyarat bahwa aku tidak bisa mendengarnya, lalu kembali fokus dengan pekerjaanku.

Saat aku sudah selesai memotret dan bersiap menyusul Tobias, pemuda bertelanjang dada yang tadi sempat kufoto menghentikan aksinya dan menghampiriku.

“Hai,” sapanya tersenyum ramah, dia menenteng skateboard nya dengan tangan kiri.

“Halo.”

“Kau turis atau fotografer?”

“Fotografer,” jawabku pendek sambil menutup lensa kamera, kemudian menoleh pada pemuda di sampingku. “Permainanmu bagus sekali,” pujiku.

Dia terlihat senang. “Aku Paul,” katanya mengulurkan tangan.

“Emmily,” sahutku sambil menjabatnya.

Suara riuh di antara kerumunan pertunjukan Circle Drum menarik perhatianku. Dari kejauhan, di antara orang-orang yang menabuh drum, aku melihat Tobias sedang berdansa dengan seorang wanita.

“Temanmu sedang bersenang-senang rupanya,” kekeh Paul. Sepertinya dia tahu aku datang bersama Tobias. “Dia pacarmu?”

Aku mengangkat bahu tak acuh. “Bukan, hanya teman.”

“Wah, sepertinya Sara mendapatkan mangsanya hari ini.”

Aku melirik Paul tajam. “Sara?”

“Wanita yang berdansa dengan temanmu, dia temanku,” jelasnya menoleh padaku dan tersenyum. “Mungkin malam ini temanmu akan sibuk dengan Sara, aku bisa menemanimu jika kau tidak keberatan.”

Fuckin’ damn! Entah kenapa aku tidak suka mendengar ide itu.

“Oh, kami tidak menginap.”

Paul diam, pandangannya lurus ke arah Tobias dan Sara. Lalu dia berkata, “Oh, tapi sepertinya kalian akan menginap. Kau lihat mereka?” Ujung dagunya menunjuk dua insan yang juga sedang menjadi perhatianku.

Mereka berdua berdansa dengan sangat intim. Aku tidak suka melihat Tobias memegang panggul Sara yang sedang bergoyang dinamis di depannya. Tapi pasti bukan karena aku cemburu. Aku seornag feminisme sejati, dan aku sungguh-sungguh kasihan kepada para gadis yang mau berdekatan secara intim dengan pria yang baru dikenalnya. Mereka tidak tahu orang-orang akan menganggapnya murahan.

“Kau mau berdansa juga? Kita bisa bergabung dengan mereka.”

Dada yang terbakar membuatku mengangguk, menyetujui usul Paul. Dia langsung meletakkan skateboard-nya di atas pasir begitu saja dan menyeretku ke arah lingkaran.

Ada berbagai macam orang yang berkumpul di sini, tua, muda, yang berpakaian mahal, yang mengenakan baju kumal, semua bergembira. Suara-suara yang dihasilkan alat musiknya memang terdengar energik, membuat siapa saja ingin menggoyangkan kaki mereka. Termasuk diriku. Paul menjadi pasangan menariku, pemuda itu cukup sopan. Kami menari dengan saling menjaga jarak. Tidak seperti Sara yang makin merapat pada Tobias. Beberapa kali aku memergoki Tobias menatapku, aku mengabaikannya, toh dia sedang asyik bersama Sara. Hingga pada satu kesempatan, seseorang tidak sengaja menabrakku, aku kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke depan, untungnya Paul dengan tangkas menangkapku. Posisiku saat itu berada dalam pelukan pemuda itu. Namun bahkan sebelum aku menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, Tobias sudah menarikku menjauh dari Paul.

Sorry, Dude, boleh kuminta lagi pasanganku,” katanya ramah tapi tajam.

Well, silakan.” Paul mengangkat kedua bahunya. Dia mundur dengan teratur, lalu kulihat dia mendekati Sara dan menari lagi bersama gadis itu.

Aku melirik Tobias sebal. “Ada apa denganmu?” ketusku, dengan langkah menghentak, menjauh dari Tobias.

Pria itu mengikutiku dari belakang.

“Hey, kau marah?”

“Tidak!” seruku tanpa menoleh.

“Bagaimana pekerjaanmu, sudah selesai?”

“Belum.”

Aku mendengar dia berlari, dan meraih tanganku saat kami sudah berdampingan. “Kalau begitu mari kita selesaikan. Apa lagi yang harus kau potret?”

“Tidak usah,” jawabku datar, melepaskan tanganku darinya. “Aku bisa sendiri, kau menari saja lagi dengan kenalanmu itu.”

Tobias diam, dari sudut mataku aku bisa melihatnya tersenyum. “Jadi begitu?” ujarnya kalem.

Aku tidak mau ada kesalahpahaman, kuhentikan langkah dan berbalik menghadapnya. “Apa?” tanyaku meminta penjelasan.

Tapi pria di depanku hanya mengangkat bahu sambil tersenyum misterius.

“Apa yang kau pikirkan?”

“Bukan apa-apa. Sudahlah, lupakan. Mari makan sesuatu dan nanti kau lanjutkan lagi pekerjaanmu,” bujuknya kembali meraih tanganku. Kali ini dia menggenggamnya erat sehingga aku tidak bisa melepaskannya.

“Jangan berpikir macam-macam ya, aku tidak suka itu,” sungutku dambil mengikuti langkahnya.

Tobias terkekeh. “Memangnya apa yang kupikirkan?”

“Sesuatu yang kau pikir menggelikan.”

“Dan apakah itu?”

Aku mengarahkan bola mata ke atas, menyebalkan sekali pria ini. Aku tahu dia pasti mengerti apa yang kumaksud. Dia pikir aku cemburu pada Sara, padahal itu sama sekali tidak benar. Kutekankan sekali lagi, sama sekali tidak benar!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status