“Jadi sekarang kau dekat dengan Tobias?” tanya Eli sambil membuka microwave dan mengeluarkan sewadah popcorn dari dalamnya, membawa ke sofa ruang tengah. Aku mengikutinya.
“Menurutmu?” tanyaku tak acuh, duduk di samping Elian yang sedang memindah-mindah channel televisi melalui remote.
“Yeah … memergoki apa yang kalian lakukan tadi, aku yakin kalian sudah menghabiskan malam yang menyenangkan.”
Aku memukul kepala Elian dengan bantal kursi. “Awas kalau kau berani menceritakan hal itu pada yang lain. Yang kumaksud “yang lain” di sini adalah para sepupuku selain Elian.
“Sebenarnya aku justru sedikit lega,” ucap Elian tanpa memedulikan ancamanku. Dia mengunyah popcorn-nya dengan santai.
“Dan … apa yang membuatmu merasa lega?”
“Aku sempat khawatir kau tidak akan bisa move on dari Adrian.”
“Oh, please … aku bahkan sudah move on darinya sejak memergoki dia berselin
Beberapa hari ini aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Sebenarnya, berusaha mengingkari jika aku sudah mengencani pria yang usianya sembilan tahun lebih muda dariku. Kuabaikan panggilan dan pesan-pesan yang dikirim Tobias. Aku ingin menjauh darinya, melupakan dia kalau bisa. Karena aku yakin hubungan kami tidak akan berhasil. Bahkan saat di apartemen pun aku tidak ingin berhenti, sedetik saja aku tidak beraktivitas, bayangan Tobias selalu menghampiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.21, seperti biasa mataku belum ingin terpejam, tapi semua pekerjaanku sudah beres. Baiklah, aku akan menghabiskan malam dengan membaca atau menonton film horor, hal tersebut selalu berhasil mengalihkan pikiranku. Aku mematikan laptop dan pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Selesai menyikat gigi aku menatap cermin, melihat seorang wanita dewasa dengan rambut blonde yang tergelung asal, mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek. Sorot matanya memancarkan rasa sepi. Yah ... aku
Lima belas hari ini aku benar-benar merasa seperti mayat hidup, menjalani aktivitas tanpa hati. Satu bulan yang lalu aku baik-baik saja, tapi sekarang semuanya terasa kacau. Aku tidak percaya, pria muda itu sudah begitu memengaruhiku, meski dengan benteng yang sudah kubangun selama tujuh tahun. “Em, dipanggil Bos!” seru Andrew salah satu rekan kerjaku. Aku mengerang lelah. “Ada apa lagi?” desahku. Sudah kelima kali ini dia memanggilku. “Kulihat dia sangat ingin memakanmu,” cengir Andrew. Aku membungkam Andrew dengan lirikan yang mematikan, berdiri dari kursiku sambil meraih sebuah map dan segera menuju ruang kerja atasanku. Baxter tua yang biasanya memiliki wajah ramah kini tampak masam saat aku melongokkan kepala di pintu ruang kerjanya yang terbuka. Aku mengetuk pintunya pelan meski dia sudah melihatku. “Kau memanggilku, Bos?” tanyaku santai. “Masuklah, Emily!” serunya pelan. Aku melangkah mendekatinya. “Duduk
Meski sudah terbiasa melihat Tobias di dapurku, tetap saja jantungku berdesir setiap menyaksikan kekasihku itu memasak. Apalagi sekarang dia bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana panjangnya. Dalam keadaaan seperti ini aku cuma bisa duduk sambil memandangi pria itu, mengkhayalkan membenamkan wajahku di dadanya, mungkin bermain dengan sedikit jilatan. Oh, Tuhan … sepertinya aku sudah kecanduan Tobias. Tarikan napasku sepertinya menarik perhatian pria itu, dia menoleh dan bertanya, “Kenapa?” Aku menggeleng. “Aku hanya tidak habis pikir, kenapa Tuhan menciptakanmu dengan segala keindahan yang ada pada tubuhmu,” gumamku melantur. Tobias yang sedang mengocok telur menghentikan aktivitasnya. Dia berbalik dan bersandar pada meja dapur sambil bersedekap. Pada bibirnya tersungging senyum tipis yang menyiratkan rasa geli. “Aku bertanya-tanya, apa Tuhan sedang sangat bahagia ketika menciptakanmu? Hingga terbentuk sesosok makhluk cantik yang luar biasa seksi,” bal
Pagi ini aku terbangun dengan wajah yang terasa tebal, kemudian mengerang ketika melihat pantulan diriku dalam cermin. Mata bengkak, bibir terluka karena aku menggigitinya semalaman, meredam isakan yang tidak bisa kutahan. Astaga … jika aku mengingat hal tersebut saat ini, aku sungguh malu. Reaksiku kemarin benar-benar di luar kendaliku. Siapa pun tahu aku wanita tangguh, orang yang selalu bisa mengontrol perasaan dan mengendalikan pikiran, tapi tidak dengan kemarin. Aku bertingkah seperti anak remaja yang baru saja patah hati, memalukan sekali.Ada yang salah denganku, aku tahu itu. Sejak bersama Tobias, aku merasa ada sesuatu yang lain yang bangkit dari dalam diriku. Sesuatu yang tidak pernah kuberi kesempatan tumbuh apalagi sampai mendominasi tubuhku bahkan sejak aku kecil. Sesuatu yang selalu bisa kutenggelamkan dalam-dalam ke dasar hatiku yang paling dasar, dan sekarang muncul ke permukaan tanpa bisa terbendung.Emosi.Aku, Emily Gale, tidak pernah m
Aku pernah bercerita tentang garasi rumah Tobias yang juga berfungsi sebagai bengkel pribadinya, bukan? Garasi itu kini menjadi tempat favorit kita berdua. Aku sering menghabiskan waktu di sana, sekadar untuk berbincang atau menemani Tobias memperbaiki Crimson seperti sekarang. Rumah Tobias merupakan bangunan satu lantai yang tidak terlalu besar, letaknya di daerah pinggiran Los Angeles, tepatnya di Porter Ranch. Seperti yang sudah pernah ia ceritakan sebelumnya, Tobias tinggal bersama neneknya. Aku biasa memanggilnya Laila. Halaman rumah Tobias menyambung langsung ke jalan raya tanpa dibatasi pagar, sebuah pohon karang afrika ditanam di salah satu sudutnya sebagai peneduh. Suasananya yang menenangkan dengan embusan angin yang segar selalu bisa membuatku tahan berlama-lama di sini. Saat Tobias sedang asyik dengan Crimson, tiba-tiba sebuah pikiran melintas di otakku. Apakah Allison Clay juga pernah menaiki Crimson bersama Tobias? Atau mereka malah pernah bercinta di s
Summer itu semangat. Ia adalah poros dari segala puncak kemeriahan. Seperti Tobias. Dia itu bagaikan awal musim panas, hangat dan dipenuhi cahaya mentari yang melimpah. Semangat akan hidup dan gairah kemudaannya begitu menular. Menghadirkan kegembiraan bagi siapa saja yang berada di dekatnya. Itu bisa kulihat dari wajah teman-temannya jika mereka berkumpul. Erin Lamb, sahabatnya; Joseph Bush sang Bos yang biasa dipanggil Joey; lalu rekan-rekannya di bengkel, mereka semua menyukai Tobias. Meski begitu, aku tetap merasa khawatir ketika tiba-tiba Mom meneleponku, menanyakan kebenaran hubunganku dengan Tobias. “Elian bilang kau mengencani pria yang lebih muda darimu, Dear?” Aku hanya bisa mengumpat kelakuan sepupuku dalam hati, dia benar-benar tidak bisa menjaga mulutnya. “Ajak dia ke rumah, Mom heran kau tidak mengenalkan dia pada kami sejak awal, kau tahu rumah kita tidak terlalu jauh dari apartemenmu kan, Sayang.” “Oh, itu hany
Akhir pekan ini aku lebih gugup dari biasanya. Rencana mempertemukan Tobias dengan keluargaku benar-benar menguras emosi dan pikiran. Mereka hanya tahu Tobias lebih muda dariku, tapi tidak sembilan tahun. Aku khawatir tentang tanggapan mereka begitu mengetahui hal tersebut. Mungkin Mom akan tetap tersenyum, karena dia sangat pintar menyembunyikan suasana hati, tapi berbeda dengan Dad. Aku khawatir dia akan bertindak sesuatu yang menyakiti Tobias. Bukan dalam artian fisik tentu saja, Dad bukan type orang yang suka memukul kencan putrinya hanya karena dia lebih muda. Tapi, firasatku sungguh tidak enak. Tobias memarkir mobilnya di pinggir jalan depan rumahku. Aku menggandenganya dan mengajak ia masuk. Dia mengenakan T-shirt hijau cerah yang dimasukkan ke dalam celana, menyisir rambutnya rapi dan berpenampilan layaknya hendak bertemu orang penting. Aku cukup bangga dengan usahanya menarik simpati keluargaku. Aku menemukan Mom dan Dad di kebun belakang, dan yang
Ada yang berbeda dengan Tobias. Aku merasakannya. Sikapnya memang tidak berubah, perlakuannya padaku masih semanis biasanya. Tapi dari bahasa tubuhnya aku tahu ada yang tidak beres dengannya.Aku terbiasa menilai seseorang dari bahasa tubuh mereka, itu sangat berguna bagi reporter sepertiku. Dan dengan pengalaman tidak terbatasku, aku yakin Tobias menyembunyikan sesuatu.Kejadiannya akhir pekan kemarin, seperti biasa dia menginap di apartemenku. Malam saat aku terjaga, Tobias tidak berada di ranjang. Aku segera bangun dan mengenakan kaos milik Tobias yang kutemukan, beranjak keluar dari kamar.Suara samar yang terdengar dari arah pantry membawa kakiku ke sana. Namun saat pendengaranku bisa menangkap suara itu dengan lebih jelas, aku sengaja berhenti. Tobias sedang menelepon seseorang. Di tengah malam seperti ini? Siapa? Dan yang membuatku curiga, dia berbicara sambil berbisik seolah tidak ingin ada yang mendengar percakapannya.Beberapa patah kat