Share

Di Alun-alun Kota Begonia

Kiran dan temannya mengambil langkah seribu - Bolted like a deer - mereka menghilang dalam gelapnya malam. Di Brimm the Liquidator Eve Whitehouse melayangkan tatapan dinginnya ke jendela tempat mereka mengintip tadi.

++++++

Avena, Kai dan Ming berlari ke arah kiri dan Kiran terus berlari di jalan berbatu itu.

Kiran ikut menghilang di persimpangan jalan itu Ia berlari cepat dengan dada berdegup. Ia bahkan tidak merasa telah menempuh jarak jauh dalam sekejap mata. Tahu-tahu saja, ia telah bersembunyi di balik selimut kasar yang tidak nyaman, di kamar sempitnya.

Kiran tak bisa tertidur. Matanya terbuka lebar, memandang langit-langit kamar yang bolong!

Ia membayangkan tatapan dingin perempuan pucat berambut putih tadi. Aura yang terpancar dari diri Pyromancer itu, seperti sanggup membunuhnya, meski dengan tatapan. Entah mengapa, ada sesuatu di dalam pikirannya, yang membuat ia tidak suka dengan pyromancer tadi. Tapi dia mencoba mengabaikannya.

Pada akhirnya rasa kantuk itu datang, dan dia terlelap dan lupa akan kejadian mendebarkan di Brimm the Liquidator.

+++

"Bangun Kiran!” Hari telah siang. Aku heran benar. Mengapa akhir-akhir ini kamu selalu bangun setelah matahari terbit?" Kora Wang menarik selimut yang menutupi Kiran.

Hawa dingin masuk, membuat Kiran menggigil.

" Tiap hari yang kulihat kamu makin siang ketika terjaga. Bermalas-malasan di atas ranjang." Kora Wang terus berbicara tak henti. Dia menyapu kamar anaknya, memaksa anak itu berdiri dari ranjang.

Sejurus kemudian… Kiran tengah membersihkan wajahnya dengan air dingin di dapur. Beruntung sekali, walaupun kemiskinan merajalela, namun sumber air tak sulit ditemukan di Qingchang Empire.

Tap - tap -tap! Suara sepatu itu terdengar mendekat. Kiran mengerling. Kora Wang telah menyusulnya ke belakang. Ibunya menelengkan kepala dan berbisik pelan di telinga Kiran.

"Seseorang dari kantor pemerintahan subdistrict Kota Begonia kami, baru saja datang memberi pengumuman.” Petugas itu memberitahu bahwa seluruh penduduk di Kota Begonia wajib berkumpul bersinar tepat ketika matahari di atas kepala, di alun-alun kota." Kiran berubah bingung.

“Apa yang terjadi? Mengapa semua harus berkumpul di alun-alun?”

Kora Wang memberi kode rahasia, keduanya berbisik. "Yang aku dengar, pendongeng Orang Zolia itu akan dieksekusi siang hari ini. Dia dihukum atas tuduhan pemberontak, bekerja sama dengan Klan Phoenix Merah!"

Telinga Kiran berdenging, dadanya berdegup kencang, hal yang belakangan ini akrab dengannya.

Kiran memasang wajah tidak peduli. Ia seolah mengabaikan bisikan sang ibu. Padahal sesungguhnya ia peduli berita itu. Kora Wang mengabarkan Nasib Tuan Niraj Singh - idolanya.

Merasa terabaikan, Kora Wang berbisik lebih keras lagi.

"Jam 12.00 siang nanti, kita semua harus berkumpul di alun-alun dan menyaksikan eksekusi pendongeng Niraj Singh!” Jangan lupa kenakan jubah hitam bertudung itu. Apakah kau mendengar?" Suara Kora Wang seperti bergaung.

Kiran mengangguk kepala lesu. Tak ada gunanya berpura-pura seperti tidak mengenal siapa Niraj Singh.

Kiran sangat suka kisah-kisah kepahlawanan yang diceritakan Tuan Niraj Singh. Kisah-kisah mitologi tentang para Batara dari Zolia Empire, dan cerita kepahlawanan para dewa, itu semua sangat berbekas, di hati Kiran.

"Mari kita berangkat!" suara Kora Wang membuyarkan lamunan Kiran. Ibunya melempar mantel hitam bertudung pada Kiran.

"Jika hanya termenung dan melamun tidak karuan. Kita akan terlambat datang, dan saat itu eksekusi telah selesai. Aku tak ingin diberi surat teguran karena tidak disiplin. Apalagi denda, tak akan pernah!

Semua orang yang mereka temui mengenakan mantel hitam, khas eksekusi. Tampak misterius dengan tudung menyamarkan raut mereka.

+++

Kiran dan Kora Wang tiba di alun-alun kota tak lama ketika prosesi eksekusi akan dimulai.

Ia merapatkan tudung, makin menyembunyikan wajah sehingga menjadi serupa dengan semua orang yang hadir. Sementara itu, alun-alun Kota Begonia telah padat dan ramai, meski tidak terasa sesak. Tempat itu memang luas.

Kiran melempar pandangan ke tengah alun-alun.

Ada satu podium atau panggung dari kayu, yang di atasnya telah banyak tumpukan kayu tebal. Kayu pohon pinus yang nyalanya tinggi, cocok untuk upacara pembakaran penyihir!

Kiran menatap benci ke kumpulan militer yang mondar-mandir. "Mereka terlampau sadis! Hukuman bakar hanya pantas untuk penyihir hitam! Padahal kaisar penjajah itu, juga penyihir hitam!" desisnya pelan, takut terdengar orang lain.

Tampak besi dan borgol yang berukuran besar, menggantung di sisi kiri dan di sisi kanan. “Itu untuk menggantung tangan sang pendongeng!” Kiran makin sedih.

Juga ada borgol yang sama, terlihat tergeletak di lantai juga dari sisi dan kanan panggung - itu akan dipakai merantai kaki tereksekusi. Kiran menangis didalam hati.

Sementara itu, Kora Wang tersadar. Ia mengguncang Kiran. "Mereka akan membakarnya hidup-hidup?" suara Kora bergetar, tak percaya. Ternyata, ada banyak suara-suara lain yang juga berbisik, dengan nada tidak puas.

Kiran menutupi kupingnya, tak ingin mendengar pendapat orang lain. Dia ngeri, Tak sanggup rasanya membayangkan sosok Tuan Niraj Singh akan dihukum bakar nanti.

Mendadak! BOOM!

Bunyi gong terdengar, keras dipukul. Itu mengalihkan perhatian semua orang ke satu pria yang berjalan tertatih-tatih, dengan tangan dan kaki yang diborgol – menuju panggung. Suara gemerincing borgol terdengar. Nadanya membuat hati semua orang terasa perih. Beberapa perempuan terisak. Pelan, berusaha tidak tertangkap pihak militer.

"Niraj Singh!"

Suara-suara di alun-alun terdengar mendesis, mirip lebah bergerombol. Seorang petugas berpakaian serba hitam, ia mengenakan topeng warna senada tampak menyeret pendongeng Niraj Singh ke atas panggung.

Hening dan mencekam.

Telah lama sekali, tak ada seorang pun yang di eksekusi mati. Apalagi hukuman bakar seperti ini.

Kora Wang meremas tangan Kiran - yang juga terasa dingin sama seperti tangannya.

"Ini tidak adil!" Kiran hanya mendengar suara ibunya berbisik pelan.

Di atas panggung, sang algojo mulai memasang rantai. Dia memborgol tangan dan kaki Niraj Singh. Pendongeng itu tak bergeming sama sekali. Ia terlihat tidak takut.

Suara isak semakin keras terdengar. Kaum perempuan menutup mulut dan menghapus air mata dengan sapu tangan hitam. Burung nasar terbang berbunyi diatas kepala. Hawa kematian telah menyebar, dan mengundang burung pemakan bangkai itu, untuk bergerombol.

"Algojo, bersiap-siap!"

Suara seseorang terdengar memberi aba-aba. Sang algojo siap-siap untuk melempar obor ke tumpukan kayu kering itu. Mereka menunggu dua orang yang menjadi tokoh utama dibalik semua ini.

Tangis dan sedih rakyat Begonia City pudar tertiup angin. Ketika itu muncul satu perempuan berambut perak dengan Langkah dramatis ia langsung ke atas panggung depan podium eksekusi. Semua orang berbisik!

"Penyihir jahat!"

"Pyromancer!"

Sesudah penampilan dramatis penyihir berambut putih, pandangan semua orang teralihkan ke sosok lain, pria muda berbadan jangkung dengan sikap seperti elang. Sosoknya tampak tidak asing. Ia sangat terkenal di kalangan penduduk Kota Begonia.

"Kapten Bao!"

Dan seisi lapangan seketika bungkam.

Semua takut dengan keberadaan pria yang dipanggil Kapten Bao itu. Kapten Bao melambaikan tangannya dengan gerakan dramatis. Dia menginstruksikan sang algojo untuk memulai eksekusi. "Bakar dia!" dingin suaranya

Api langsung menyala dengan cepat. Asapnya melambung tinggi.

Niraj Singh mulai terlihat gelisah ketika asap mengepul. Ia kesulitan bernafas. Sang pendongeng mulai batuk-batuk. Ia meronta, mencoba berjengit, berusaha melepaskan diri dari rantai kokoh di tangan dan kakinya.

Tapi semua sia-sia belaka. Niraj Singh tidak menjerit minta tolong. Permohonan maaf apalagi. Ia senang telah mengarang dongeng, tentang kematian Kasiar hitam!

Keadaan mulai kacau, banyak orang merasa tidak puas dengan pembantaian itu. "Ini terlalu sadis. Membunuh dengan cara menyiksa, bukan kebiasaan di Negri Qingchang kami!" Seseorang berteriak keras.

Suara orang banyak menyambutnya, ikut memaki-maki.

Tapi Eve Whitehouse dan Kapten Bao itu, sama sekali tidak peduli. Yang ada justru keduanya semakin bersemangat, ketika melihat horor di wajah Niraj Singh.

Biar bagaimana gigihnya seseorang, kematian itu selalu membawa rasa takut.

Awan kelam bergulung di langit Kota Begonia. Angin kencang bertiup, beberapa ranting pohon Willow, jatuh ketanah. Suara ledakan guntur terdengar di langit, titik-titik air hujan mulai luruh ke bumi.

Kora Wang berdoa di dalam hati. "Bahkan langit sekalipun, ikut menjadi sedih melihat tindakan biadab ini!"

Keajaiban terjadi!

Mendadak air hujan yang hanya rintik-rintik itu berubah menjadi semburan air, meluap dari tiga arah. Semprotannya mengakibatkan Eve White House dan Kapten Bao, terlempar keras dari atas podium, jatuh bergulingan.

Tampak tiga sosok berjubah gelap. Mereka terlihat mengendarai air seolah-olah bagian dari hujan. Baru sekali ini, penduduk Kota Begonia, melihat ada manusia yang dapat mengendarai air.

Dalam keadaan kacau dan heboh itu, sosok lainnya muncul dari langit diiringi suara gemuruh angin menderu, bersanding selaras badai.

Keempatnya terlihat serupa, mereka semua mengenakan jubah longgar, lengkap dengan tudung dan topeng berwarna gelap dari logam. Tampak bordiran kecil bergambar Phoenix Emas di dada kiri.

“Klan Phoenix Merah!”

Semua orang tertegun, melongo tak percaya. Klan Phoenix Merah itu nyata adanya.

Ketika empat sosok itu bergerak dalam atraksi, jubah empat sosok tersebut melambai-lambai. Penampilan mereka terlihat agung, seperti dewa.

Orang-orang ada yang gembira, ada pula yang takut. Bahkan anggota-anggota militer ikut-ikutan terpesona, atas demonstrasi tersebut. Keterampilan sihir seperti itu, tak pernah disaksikan dengan sembarangan Sihir adalah kemewahan bagi mereka yang awam.

Sementara itu, Empat sosok itu bergerak sangat cepat, bahkan terlalu cepat. Tahu-tahu saja Niraj Singh telah bebas dari belenggu borgol besi itu, kini telah berada dalam gendongan sosok lain, yang mengendarai angin badai.

Sang pengendara angin itu melambaikan tangan. Dan angin topan seketika melanda. Itu membuat podium dan keadaan disekitarnya menjadi porak-poranda. Sesudah semua beres, keempat sosok misterius itu menghilang diantara suramnya pemandangan di alun-alun kota.

Kaum militer terlambat bergerak. Ketika mereka mencoba mengejar, itu hanya kesia-siaan belaka. Eve Whitehouse dan Kapten Bao muncul sesudahnya dalam keadaan berantakan. Wajah mereka berubah seperti kepiting rebus.

Rakyat Begonia telah kocar-kacir melarikan diri mencari tempat aman agar terhindar dari bentrokan yang dapat terjadi kapan saja. Teriakan riuh membuat geger seisi kota.

"Pyromancer dan Anemomancer!"

"Klan Phoenix yang legendaris!"

Kiran di tarik Kora Wang untuk berlindung, tak ingin terlibat kekacauan itu. Kiran tersenyum senang. Hatinya lega tatkala sang pendongeng selamat di bawa Klan Phoenix Merah. Ia masih ingin melihat keramaian, sayangnya keadaan bertambah kacau.

“Lebih baik pergi, sebelum militer melepas panah acak, dan membantai orang yang ribut dan kacau itu. Pemberontakan bisa terjadi sewaktu-waktu!”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status