Sugesti di masa kecil yang absurd seperti potongan kenangan yang unik untuk diingat.Seperti bagaimana biji semangka yang tertelan akan tumbuh dan berakar di dalam perut, mengeluarkan tangkai dan daun dari telinganya dan hidung lalu berbuah di puncak kepala. Begitulah seorang anak digiring dalam sebuah pemikiran tak masuk akal bahkan hanya karena sebuah nama."Apa kau terpengaruh?""Tentu saja. Sepertinya itu berhasil karena aku percaya dengan ibuku. Hahaha," Denny tergelak lagi karena konyolnya pemikiran saat itu.Mereka terlihat serasi dan bahagia."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Denny kemudian melihat Mira meminta pendapat soal rencana yang sebenarnya sudah mereka buat."Uhmm pertama, aku mau buat adik untuk Azrah, ini adalah tujuan yang paling bagus untuk dilakukan. Apa aku salah?""Haish... selalu saja cari keuntungan."Denny hanya nyengir, sementara ia tetap fokus berkendara."Rencana kedua adalah membangun usaha toko di pasar tradisional dan selanjutnya akan menjadi
BRAKK!"Kamu ngerti nggak sih? Aku ini lagi susah! Kalau kamu mau beli, beli saja pakai uang sendiri!" bentak Denny pada Mira dengan menggebrak almari.Mira, istri Denny, hanya bisa menatap pria itu dengan gamang. Padahal, Mira hanya meminta pendapat tentang seperangkat alat sholat yang mulai ditumbuhi jamur. Alat sholat itu adalah salah satu barang hadiah dari pernikahan mereka tiga tahun lalu, jadi Mira membicarakannya dengan sang suami."Tapi Mas...""Sudahlah, aku mau tidur! Uang kemarin, kamu harus memakainya dengan hemat untuk biaya makan kita. Mengerti?!"Mira termenung, dilihat wajah suaminya yang terlihat letih. Akan tetapi, sebenarnya ia hanya menceritakan bahwa mukena itu sudah usang, bukan berarti minta dibelikan.Pakai uang sendiri?Itu lebih tidak mungkin, karena Denny selalu memberinya uang "pas-pasan", dan ia sudah berusaha maksimal untuk berhemat.Melihat Mira yang masih diam termenung di tepi tempat tidur, Denny justru semakin emosi."Kamu ini, sudah miskin tapi bany
"Mas, ayo sarapan dulu…."Mira membangunkan suaminya setelah menyiapkan bubur ayam untuk Denny. Meskipun tadi malam dia kecewa dengan Denny, tetapi dia tidak tega meninggalkan suaminya begitu saja.Tak lama, Denny pun terbangun. Meskipun sedikit pusing, ia harus bangun dan bekerja siang ini. Sedikit lemah, ia berusaha untuk menegakkan punggungnya. Lalu, mengambil semangkuk bubur ayam yang diberikan Mira. Lagipula, perusahaannya saat ini sangat membutuhkan kehadiran Denny.Namun, pagi keduanya yang tenang berakhir begitu cepat saat Nyonya Magdalena--ibu Denny--datang dan segera mengambil posisi duduk di hadapan putranya."Mira, buatkan teh untuk Ibu," perintah Magdalena tiba-tiba. Mendengar itu, Mira pun segera melangkah pergi. Memang, Ibu Mertuanya selalu begitu–memperlakukan Mira selayaknya pembantu.Namun, kali ini Mira tidak serta-merta menurut. Dia sebenarnya menguping di depan pintu untuk mendengar pembicaraan Ibu dan anak itu."Denny, bagaimana dengan urusan kantor? Apa sudah
“Hufft….” Mira menghela nafas panjang. Perempuan itu kini asyik merajut sebuah tempat tissue dari benang nilon biru muda. Rencananya, akan ditaruh di mobil Denny.Sayangnya, pikiran Mira tidak begitu fokus karena memikirkan percakapan sang suami dan Ibu Mertuanya. Jujur saja, dia khawatir sekali dengan keadaan sang suami.Kring!Ponsel Mira tiba-tiba berdering. Terlihat sebuah panggilan dari Mbok, nama kontak untuk neneknya di desa.“Halo, Nduk.”"Halo, Mbok. Apa kabarnya? Si mbok sehat, kan?" tanya Mira dengan tersenyum lebar setelah mendengar suara neneknya yang terlihat ceria."Iya, Nduk. Ada hal mendesak yang ingin si mbok katakan, tapi kamu jangan banyak tanya dulu. Ini Nduk ... tanah kebun orang tuamu–""--Mbok, biarkan saja. Itu memang tanah milikku, tapi hasilnya buat mbok saja. Aku sudah cukup dengan hasil suamiku di sini. Tunggu, apa ada yang maksa mau beli lagi?" potong Mira dengan cepat. Akhir-akhir ini, banyak sekali orang yang menginginkan tanah itu. Padahal, dulu tana
Keesokan harinya, Mira telah siap dengan barang yang akan dibawa pulang kampung, iapun beranjak dari tempat duduknya hendak menyeret koper. Ia juga mengabaikan Denny yang sedang duduk memperhatikannya."Mira? Mau ke mana?" tanya Magdalena tiba-tiba. Entah kapan ibu mertuanya itu tiba. Mira sendiri begitu terkejut. Namun, dia berhasil mengendalikan ekspresinya."Saya mau pulang kampung, Bu. Nenek mau saya pulang, ada yang mau sewa tanah kebun katanya.""Oooh, tanah warisan ibumu, ya? Kenapa nggak dijual aja? Kan lumayan buat renovasi rumah ini, paling juga lakunya nggak seberapa," kata wanita itu dengan nyinyir, seolah uang yang ia miliki tak akan mungkin bisa membuatnya melakukan sesuatu yang berarti, melainkan hanya sekadar lewat saja. Yah, sekadar beli cat untuk merapikan teras rumah yang sedikit pudar warnanya."Ehm, iya sih, Bu. Tapi sepertinya, Mas Danu mau pinjam untuk biaya beli suntik insulin, Bu. Lebih baik, uang itu walaupun tak seberapa, saya akan meminjamkan uang itu."
Mira gegas kembali dengan perasaan tak menentu. Bahkan, ia tak berani untuk bercerita kepada neneknya tentang apa yang dilihatnya."Mbok, besok Mira mau pergi ke rumah teman dulu ya. Ada sesuatu yang sangat penting untuk Mira bicarakan."Neneknya itu hanya mengangguk setuju.Benar saja! esok harinya, Mira bergegas menuju rumah Faza, temannya waktu kuliah dulu. Selain itu, ia bekerja di sebuah perusahaan tambang emas. Ia harus mencari tahu apakah benar di dalam lahan kebunnya banyak mengandung logam mulia."Mira, kamu masih seperti yang dulu," kata Faza menggombal. "Dan kamu, masih saja betah membujang. Kenapa nggak cepet cari istri? Kalau kelamaan nanti nyesel loh," seloroh Mira."Kamu aja yang nggak peka, Mir. Ditungguin malah nikah sama orang lain."Mereka saling tertawa, mengenang masa sekolah dulu yang penuh kenangan."Jadi, aku akan memintamu seperti yang aku katakan melalui telepon kemarin, Faza."Seketika, temannya berubah menjadi serius."Tentu saja, Mir. Aku bisa mengusah
Wajah Mira makin cemberut melihat suaminya ternyata benar-benar meremehkannya.Ia memang sedikit berbohong, tapi bukan berarti tega membiarkan suaminya kesusahan. Namun, ia meneguhkan hatinya untuk tetap tenang. Ia tak akan menceritakan apa yang terjadi kepada keluarga Denny sebelum sikap mereka yang suka merendahkannya berubah!"Baiklah, aku akan meminjam sekarang juga, tapi perhatikan baik-baik berapa aku berhasil mencari pinjaman." "Hahaha, kau ini semakin lucu Mira. Terserah saja, ayo cepat! Aku sudah mengingatkanmu, jangan mempermalukan diri sendiri, Mira." Mira menghubungi Faza dengan cepat. "Faza, aku mau pinjam uang lima ratus," katanya di hadapan Denny. Lagi-lagi Denny tergelak. Apa menurut Mira uang yang ia butuhkan sekecil itu? Lima ratus ribu? Ah, yang ada ada saja, gerutunya. Dalam dua menit percakapan Mira selesai, lima buah notifikasi transaksi dari beberapa bank yang berbeda masuk ke ponsel Denny. Nominalnya setiap transaksi adalah 100 juta rupiah, sehingga to
"Oh iya, Mira. Apa sudah ada yang menawar?" tanya Denny penasaran. “Kita lihat nanti, berapa mereka berani membeli mobilmu." Melihat betapa santainya Mira, Magdalena menatapnya kesal. Sejak awal, ia memang tidak setuju Denny menikahi Mira gadis kampung itu. Wajahnya juga tidak secantik Imas Gayatri, putri konglomerat itu. Menikahi Mira, Magdalena seperti dibuat malu. Apalagi waktu pernikahan, tamu-tamu yang berasal dari keluarga Mira adalah keluarga kampung dengan penampilan yang sangat mencolok. Magdalena ingat, tamu undangan tertawa mengejek kedatangan mereka saat itu karena mereka datang dengan pakaian yang sangat murahan dan norak. Make-up belepotan dan tidak berkelas sama sekali. Sejak itu, ia menyadari bahwa menantu perempuannya berasal dari kelas rendahan. ***** Sementara itu, keduanya lalu pergi ke sebuah dealer mobil, tempat yang dimaksud Mira. Keduanya masuk. Mata Mira melihat banyak sekali mobil mewah dan mengkilap. Ia tak pernah melihat mobil terbaru yang masih ber