BRAKK!
"Kamu ngerti nggak sih? Aku ini lagi susah! Kalau kamu mau beli, beli saja pakai uang sendiri!" bentak Denny pada Mira dengan menggebrak almari.
Mira, istri Denny, hanya bisa menatap pria itu dengan gamang. Padahal, Mira hanya meminta pendapat tentang seperangkat alat sholat yang mulai ditumbuhi jamur. Alat sholat itu adalah salah satu barang hadiah dari pernikahan mereka tiga tahun lalu, jadi Mira membicarakannya dengan sang suami.
"Tapi Mas..."
"Sudahlah, aku mau tidur! Uang kemarin, kamu harus memakainya dengan hemat untuk biaya makan kita. Mengerti?!"
Mira termenung, dilihat wajah suaminya yang terlihat letih. Akan tetapi, sebenarnya ia hanya menceritakan bahwa mukena itu sudah usang, bukan berarti minta dibelikan.
Pakai uang sendiri?
Itu lebih tidak mungkin, karena Denny selalu memberinya uang "pas-pasan", dan ia sudah berusaha maksimal untuk berhemat.
Melihat Mira yang masih diam termenung di tepi tempat tidur, Denny justru semakin emosi.
"Kamu ini, sudah miskin tapi banyak maunya. Coba sih sekali-kali berpikir bagaimana caranya menghasilkan uang. Banyak wanita jaman sekarang ini yang bisa maju dan tidak kuper kayak kamu. Kamu ini apa? Cuma bisa menuntut dan menghabiskan uang. Dasar perempuan kurang bergaul!" oceh Denny, padahal pria itu sudah menarik selimutnya, mau tidur.
Ia mengira Mira kesal karena Denny tidak membelikan untuknya.
Mendengar itu, Mira hanya kembali terdiam dengan hati yang sedih. Ia merasa Denny semakin jauh darinya. Entah mengapa, akhir-akhir ini semakin parah. Mungkin, inilah puncaknya?
Mira sungguh tidak paham jalan pikiran suaminya. Dia terus merenung, hingga tanpa disadari, Denny sudah mulai tertidur pulas.
Di sisi lain, Mira sendiri masih tidak bisa memejamkan matanya.
“Huuft…” Mira menghela nafas. Padahal, dia harus selalu bangun pagi. Tapi, tindakan dan perilaku Denny terus membuatnya termenung.
Pernikahannya semakin terasa hambar dan dia merasa Denny semakin sulit tergapai. Padahal, mereka sekasur.
Usia Mira sudah mendekati tiga puluh tahun dan ia sungguh menginginkan kebahagiaan dan kasih sayang dari suaminya, sama seperti semua istri dalam pernikahan. Terlepas apakah ia akan memiliki anak atau tidak, ia hanya ingin cinta Denny yang tulus.
Mira lalu menatap wajah Denny.
Sungguh menenangkan hatinya memandang wajah suaminya itu di malam hari seperti ini. Lebih terasa leluasa daripada saat ia terjaga.
Wajah itu tenang bagaikan air danau yang menyejukkan. Akan tetapi, Mira tak bisa menyelami dan memahami arti dirinya bagi Denny di dalam ikatan pernikahan ini.
Dalam lamunannya, sebuah dering ponsel mengejutkannya, bersamaan Denny yang juga terkejut. Gegas, Mira langsung berpura-pura tidur.
Namun, Mira dapat mengintip Denny yang langsung meraih ponselnya, untuk mengangkat telepon tersebut.
Suaminya itu tampak begitu waspada mengangkat telepon entah dari siapa.
"Hallo," ucap Denny pelan.
"Kamu sama istrimu, ya? Aku cemburu…." Suara perempuan dapat terdengar dari ponsel Denny karena ruang kamar mereka yang begitu sunyi.
Deg!
Mira terkejut setengah mati mendengarnya. Bahkan, tangannya bergetar tanpa sadar. Apakah Denny sungguh mengira dirinya tidur dan tak mendengar percakapan mereka?
Hati Mira bagaikan tertusuk sembilu.
Apakah suaminya berselingkuh selama ini?
"Mas, kenapa malam-malam begini telepon perempuan?" tanya Mira langsung pada akhirnya. Dia bahkan lalu bangkit dari tidurnya.
Denny tentu saja sangat terkejut. Pria itu bahkan langsung memutuskan sambungan teleponnya.
"A-apa maksudmu, Mira? Aku memang telepon perempuan, tapi cuma sama teman lama. Apa salahnya berteman?" Denny terlihat gugup sekali.
"Mas, ini jam satu malam. Untuk apa menelpon temanmu? Berikan ponsel itu padaku, biar aku yang berbicara. Bisa jadi, dia tidak pernah diajari sopan santun, sehingga aku yang akan mengajari teman wanita kamu itu, Mas."
"Mira, sudahlah, jangan berisik. Ini sudah malam. Ayo, tidur lagi," ujar Denny cepat. Bahkan, sebelum Mira bisa berucap kembali, tubuh perempuan itu telah didekap oleh suaminya.
Hanya saja, Mira begitu terkejut. Dia merasakan tubuh Denny yang sangat panas.
"Tunggu, Mas. Kamu demam, ya?" Mira lalu menyentuh kening Denny juga beberapa bagian tubuh lainnya.
Melihat mata Denny yang sedikit sayu, Mira pun turun dari pembaringan. Amarahnya seketika menguap entah ke mana.
Gegas, ia mengambil kompres kain, lalu baskom berisi air hangat. Tidak lupa mengambil obat pereda untuk demam.
"Cepat minum obat ini dulu, Mas. Setelah itu, aku akan mengompres kepalamu."
Segelas air putih dan juga obat, Denny disuruh untuk segera meminumnya.
"Apa siang tadi, kau terlambat makan lagi, Mas?" tanya Mira pelan. Dia begitu khawatir dengan keadaan suaminya.
Pria itu hanya mengangguk lemah.
Siang tadi, ia memang terlambat makan karena banyak sekali urusan pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik. Perusahaan sedang mengalami masalah pelik, jadi sebagai seorang manajer ia harus bisa mengatasi dengan baik masalah tersebut, sehingga ia melupakan waktu makan siang.
"Aku sudah mengingatkanmu, Mas. Tapi, pesanku selalu kamu abaikan. Ya sudah, sekarang tidurlah dulu, aku akan menjagamu."
"Hemm ... sudahlah! Jangan berisik."
"Tapi, Mas–"
Denny lalu berbicara sebelum perempuan itu dapat menyelesaikan ucapannya,"–kalau kamu gak bisa bantu, maka biarkanlah aku istirahat saja."
Mendengar ucapan Denny, Mira menutup matanya. Dia menghela napas dalam hati selagi tangannya mengepal kuat.
Walau tangan Denny melingkar di pinggangnya, tapi tidak ada kehangatan yang biasa Mira rasakan. Pikiran Mira melambung pada kalimat yang terdengar dari panggilan “teman lama” Denny.
“Kamu sama istrimu, ya? Aku cemburu….”
Mengingat hal tersebut, Mira pun mengepalkan tangannya. “Jadi, kamu berubah karena perempuan lain, Mas?”
"Mas, ayo sarapan dulu…."Mira membangunkan suaminya setelah menyiapkan bubur ayam untuk Denny. Meskipun tadi malam dia kecewa dengan Denny, tetapi dia tidak tega meninggalkan suaminya begitu saja.Tak lama, Denny pun terbangun. Meskipun sedikit pusing, ia harus bangun dan bekerja siang ini. Sedikit lemah, ia berusaha untuk menegakkan punggungnya. Lalu, mengambil semangkuk bubur ayam yang diberikan Mira. Lagipula, perusahaannya saat ini sangat membutuhkan kehadiran Denny.Namun, pagi keduanya yang tenang berakhir begitu cepat saat Nyonya Magdalena--ibu Denny--datang dan segera mengambil posisi duduk di hadapan putranya."Mira, buatkan teh untuk Ibu," perintah Magdalena tiba-tiba. Mendengar itu, Mira pun segera melangkah pergi. Memang, Ibu Mertuanya selalu begitu–memperlakukan Mira selayaknya pembantu.Namun, kali ini Mira tidak serta-merta menurut. Dia sebenarnya menguping di depan pintu untuk mendengar pembicaraan Ibu dan anak itu."Denny, bagaimana dengan urusan kantor? Apa sudah
“Hufft….” Mira menghela nafas panjang. Perempuan itu kini asyik merajut sebuah tempat tissue dari benang nilon biru muda. Rencananya, akan ditaruh di mobil Denny.Sayangnya, pikiran Mira tidak begitu fokus karena memikirkan percakapan sang suami dan Ibu Mertuanya. Jujur saja, dia khawatir sekali dengan keadaan sang suami.Kring!Ponsel Mira tiba-tiba berdering. Terlihat sebuah panggilan dari Mbok, nama kontak untuk neneknya di desa.“Halo, Nduk.”"Halo, Mbok. Apa kabarnya? Si mbok sehat, kan?" tanya Mira dengan tersenyum lebar setelah mendengar suara neneknya yang terlihat ceria."Iya, Nduk. Ada hal mendesak yang ingin si mbok katakan, tapi kamu jangan banyak tanya dulu. Ini Nduk ... tanah kebun orang tuamu–""--Mbok, biarkan saja. Itu memang tanah milikku, tapi hasilnya buat mbok saja. Aku sudah cukup dengan hasil suamiku di sini. Tunggu, apa ada yang maksa mau beli lagi?" potong Mira dengan cepat. Akhir-akhir ini, banyak sekali orang yang menginginkan tanah itu. Padahal, dulu tana
Keesokan harinya, Mira telah siap dengan barang yang akan dibawa pulang kampung, iapun beranjak dari tempat duduknya hendak menyeret koper. Ia juga mengabaikan Denny yang sedang duduk memperhatikannya."Mira? Mau ke mana?" tanya Magdalena tiba-tiba. Entah kapan ibu mertuanya itu tiba. Mira sendiri begitu terkejut. Namun, dia berhasil mengendalikan ekspresinya."Saya mau pulang kampung, Bu. Nenek mau saya pulang, ada yang mau sewa tanah kebun katanya.""Oooh, tanah warisan ibumu, ya? Kenapa nggak dijual aja? Kan lumayan buat renovasi rumah ini, paling juga lakunya nggak seberapa," kata wanita itu dengan nyinyir, seolah uang yang ia miliki tak akan mungkin bisa membuatnya melakukan sesuatu yang berarti, melainkan hanya sekadar lewat saja. Yah, sekadar beli cat untuk merapikan teras rumah yang sedikit pudar warnanya."Ehm, iya sih, Bu. Tapi sepertinya, Mas Danu mau pinjam untuk biaya beli suntik insulin, Bu. Lebih baik, uang itu walaupun tak seberapa, saya akan meminjamkan uang itu."
Mira gegas kembali dengan perasaan tak menentu. Bahkan, ia tak berani untuk bercerita kepada neneknya tentang apa yang dilihatnya."Mbok, besok Mira mau pergi ke rumah teman dulu ya. Ada sesuatu yang sangat penting untuk Mira bicarakan."Neneknya itu hanya mengangguk setuju.Benar saja! esok harinya, Mira bergegas menuju rumah Faza, temannya waktu kuliah dulu. Selain itu, ia bekerja di sebuah perusahaan tambang emas. Ia harus mencari tahu apakah benar di dalam lahan kebunnya banyak mengandung logam mulia."Mira, kamu masih seperti yang dulu," kata Faza menggombal. "Dan kamu, masih saja betah membujang. Kenapa nggak cepet cari istri? Kalau kelamaan nanti nyesel loh," seloroh Mira."Kamu aja yang nggak peka, Mir. Ditungguin malah nikah sama orang lain."Mereka saling tertawa, mengenang masa sekolah dulu yang penuh kenangan."Jadi, aku akan memintamu seperti yang aku katakan melalui telepon kemarin, Faza."Seketika, temannya berubah menjadi serius."Tentu saja, Mir. Aku bisa mengusah
Wajah Mira makin cemberut melihat suaminya ternyata benar-benar meremehkannya.Ia memang sedikit berbohong, tapi bukan berarti tega membiarkan suaminya kesusahan. Namun, ia meneguhkan hatinya untuk tetap tenang. Ia tak akan menceritakan apa yang terjadi kepada keluarga Denny sebelum sikap mereka yang suka merendahkannya berubah!"Baiklah, aku akan meminjam sekarang juga, tapi perhatikan baik-baik berapa aku berhasil mencari pinjaman." "Hahaha, kau ini semakin lucu Mira. Terserah saja, ayo cepat! Aku sudah mengingatkanmu, jangan mempermalukan diri sendiri, Mira." Mira menghubungi Faza dengan cepat. "Faza, aku mau pinjam uang lima ratus," katanya di hadapan Denny. Lagi-lagi Denny tergelak. Apa menurut Mira uang yang ia butuhkan sekecil itu? Lima ratus ribu? Ah, yang ada ada saja, gerutunya. Dalam dua menit percakapan Mira selesai, lima buah notifikasi transaksi dari beberapa bank yang berbeda masuk ke ponsel Denny. Nominalnya setiap transaksi adalah 100 juta rupiah, sehingga to
"Oh iya, Mira. Apa sudah ada yang menawar?" tanya Denny penasaran. “Kita lihat nanti, berapa mereka berani membeli mobilmu." Melihat betapa santainya Mira, Magdalena menatapnya kesal. Sejak awal, ia memang tidak setuju Denny menikahi Mira gadis kampung itu. Wajahnya juga tidak secantik Imas Gayatri, putri konglomerat itu. Menikahi Mira, Magdalena seperti dibuat malu. Apalagi waktu pernikahan, tamu-tamu yang berasal dari keluarga Mira adalah keluarga kampung dengan penampilan yang sangat mencolok. Magdalena ingat, tamu undangan tertawa mengejek kedatangan mereka saat itu karena mereka datang dengan pakaian yang sangat murahan dan norak. Make-up belepotan dan tidak berkelas sama sekali. Sejak itu, ia menyadari bahwa menantu perempuannya berasal dari kelas rendahan. ***** Sementara itu, keduanya lalu pergi ke sebuah dealer mobil, tempat yang dimaksud Mira. Keduanya masuk. Mata Mira melihat banyak sekali mobil mewah dan mengkilap. Ia tak pernah melihat mobil terbaru yang masih ber
Nia tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. Bukan urusan Mira mengetahui mobil jenis apa yang hendak mereka beli. Tapi, mengapa ucapannya seakan sangat merendahkan Danu dan dirinya?"Lah, kamu dan Denny, mau apa ke sini?" Nia kini mengalihkan pandangannya pada Denny yang sedang memijat pelipisnya.Denny sendiri masih bingung dengan semua kelakuan Mira. Pria itu gelisah, bagaimana kalau ternyata Mira sedang membuat lelucon dan mempermalukan dirinya?"Oh, begini, Mbak. Aku sedang menawarkan mobilku untuk dijual. Mbak tahu sendiri kan, kalau perusahaan hampir saja kolaps, sehingga butuh banyak suntikan dana."Wajah Danu sedikit cemas. Ia melirik ke arah Mira yang sedang membelai permukaan sebuah mobil mewah. Mereka baru saja menerima uang pinjaman dan Denny mengatakan membutuhkan uang untuk perusahaan?"Tapi, kenapa istrimu berlagak? Apa dia tahu berapa harga mobil yang dia pegang pegang itu? Makanya Denny, kalau mau ke tempat seperti ini sebaiknya tidak usah bawa-bawa istrimu yang udi
"Gampang, Mas! Itu soal gampang. Sekarang ini, yang aku pikirkan adalah mencari seorang investor yang akan menyelamatkan perusahaanmu. Apa menurutmu perusahaan itu masih layak untuk dipertahankan? Mengingat, bidang usaha di zaman sekarang yang terus berkembang, kau pasti membutuhkan pembaruan."Denny merenung. Perkataan Mira berhasil mengalihkan fokusnya. Perusahaannya saat ini memang mulai kalah bersaing. Di era teknologi sekarang ini, mereka masih saja memakai sistem konvensional dalam pemasaran yang telah digunakan sejak zaman ayahnya. Padahal, pesaing mereka sudah berlari melaju ke depan."Menurutmu, perombakan semacam apa yang harus kita lakukan?" tanya Denny akhirnya."Uhmm ... tenaga profesional, Mas. Kau harus mencari seorang tenaga profesional dan memiliki kemampuan membaca pasar sekarang ini.""Bukankah itu berarti pengeluaran buat perusahaan?"Mira menggelengkan kepalanya. Prinsip ekonomi semacam "dengan modal sekecil-kecilnya maka mendapatkan untung sebesar besarnya", hany