Dahlia, tolong dengarkan penjelasanku dulu." kata Aditya sambil berusaha menenangkan Dahlia.
"Penjelasan apa Mas? Ternyata kecurigaanku selama ini benar, sikapmu berubah padaku karena selingkuhanmu ini, kan?" tanya Dahlia dengan sangat marah."Dahlia, cukup! Beri kesempatan aku bicara. Kita masuk ke dalam dulu, malu dilihat semua orang," kata Aditya berusaha menyentuh lengan Dahlia."Malu? Kamu masih tahu apa artinya malu, Mas? Setelah apa yang kamu lakukan ini? Kamu bilang aku ini istri tidak tahu diri. Lalu kamu apa? Pria hidung belang?" kata Dahlia sambil menepis tangan Aditya."Mas, beri tahu dia kalau aku.." kata wanita itu."Diam, Sinta!" bentak Aditya."Oo, namanya Sinta? Kamu wanita tidak tahu diri, pengganggu rumah tangga orang. Sudah tidak laku kamu, ya? Sehingga kamu harus menggoda suami orang?" kata Dahlia dengan sinis pada Sinta.Wanita bernama Sinta itu langsung memasang wajah tidak suka pada Dahlia dan mendengus kesal. Hampir saja dia membalas perkataan Dahlia itu, tetapi Aditya memegang lengannya dan memberi isyarat pada Sinta untuk diam."Dahlia, aku bisa jelaskan semua ini," kata Aditya dengan suara lembut sambil merangkul pundak Dahlia."Jangan kau sentuh aku dengan tanganmu, Mas! Tangan kotor yang baru saja kamu pakai untuk menyentuh wanita tak tahu diri itu," kata Dahlia kesal."Hei, Mbak.. Jadi kamu istrinya Mas Aditya? Pantas saja Mas Aditya tidak tahan hidup bersamamu. Wanita tua, galak dan kasar, dan lagi kamu itu mandul, tidak bisa memberi keturunan untuk Mas Aditya. Hahaha.." kata Sinta sambil tertawa mengejek.Dahlia sangat marah dan tersinggung mendengar perkataan Sinta itu. Dahlia maju dan ingin menghajar Sinta. Dahlia sudah tidak peduli rasa malu, juga merasa tidak perlu menjaga sopan santun di rumah ini. Namun, Aditya menahan Dahlia agar tidak mendekati Sinta. Dahlia meronta, ingin melepaskan diri dari pelukan Aditya.Aditya berhasil membawa Dahlia masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga duduk dan saling berhadapan di ruang tamu. Dahlia sangat muak dan ingin segera pergi dari rumah itu. Dahlia memandang ke sekelilingnya dan memperhatikan isi rumah itu. Sekalipun rumah itu tergolong kecil dan minimalis, namun perabot di dalam nya cukup lengkap dan tergolong mewah. Sofa dan meja ruang tamu yang mewah, televisi yang besar dengan model terbaru. Di sudut ruangan terdapat lemari dengan aneka tas mewah, yang mungkin sengaja diletakkan di situ agar bisa terlihat oleh orang yang datang.Miris, selama ini Dahlia berusaha berhemat dan mengelola keuangan dengan baik. Dahlia menerima dengan syukur berapapun uang yang dikirimkan oleh suaminya dan tidak membeli barang yang tidak terlalu diperlukan. Ternyata rumah ini berisi perabotan mewah, yang lebih mewah daripada yang ada di rumah Dahlia.Dahlia mencibir, ternyata selama ini gaji suaminya bahkan terbagi untuk wanita ini dengan segala fasilitas mewahnya. Dandanan wanita itu memang cantik dan modis, perhiasan yang dikenakannya pun mewah. Wajah dan rambut Sinta pun terlihat dirawat dengan baik dan memakai produk kecantikan yang mahal."Sinta, ambilkan minum dulu untuk Dahlia!" kata Aditya."Aku? Aku harus melayani dia?" tanya Sinta."Ayo, Sinta!" kata Aditya.Sinta dengan malas melangkah ke arah dapur.Dahlia tidak mau memandang Aditya, kini rasa benci di dalam hatinya lebih besar dari rasa cinta dan rindu."Nih, minum!" kata Sinta sambil meletakkan segelas air putih di meja. Sungguh angkuh dan menyebalkan gayanya."Aku mau pulang," kata Dahlia."Tunggu! aku harus menjelaskan semuanya sekarang," kata Aditya."Iya Mas, jelaskan padanya kalau aku bukan pelakor atau selingkuhanmu! Aku ini istrimu juga," kata Sinta sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya."Apa? Kalian sudah menikah? Benar itu, Mas?" tanya Dahlia sambil menatap Aditya.Aditya tertunduk dan tidak mampu menjawab pertanyaan Dahlia."Jawab Mas! Katakan apa itu benar?" tanya Dahlia dengan suara lebih keras.Aditya menganggukkan kepalanya, "Iya," jawabnya lirih."Jahat kamu Mas!" kata Dahlia sambil menahan air matanya yang akan tumpah."Tapi Lia, aku melakukan semuanya karena ibu," kata Aditya."Karena ibu? Jangan kamu melimpahkan kesalahanmu pada orang lain, Mas. Jelas - jelas kulihat Mas mesra dan bahagia bersama dia. Tidak ada rasa terpaksa kulihat dari sikapmu padanya, Mas," kata Dahlia."Iya benar koq Mbak, aku memang menantu pilihan ibunya Mas Adit. Pernikahan kami memang direstui dan didukung oleh ibu. Bukan seperti pernikahan Mas Adit dan Mbak," kata Sinta sambil tersenyum mengejek.Dahlia tak tahan lagi, ia menghampiri Sinta lalu menindih Sinta, sampai Sinta jatuh berbaring di sofa. Lalu Dahlia mencakar kulit wajah Sinta yang mulus dan menarik rambutnya sampai berantakan."Aw, sakit.. Tolong aku, Mas," kata Sinta yang tidak bisa melawan Dahlia.Dahlia baru kali ini menyerang orang dengan barbar seperti ini, tapi kemarahan dan emosinya membuat ia bisa melakukan hal yang tidak biasa dia lakukan.Dengan susah payah, Aditya melerai Dahlia dan Sinta. Bahkan Sinta kini mulai sedikit melawan Dahlia dengan mencakar tangan Dahlia. Sekalipun, tetap kekuatan Sinta tidak bisa mengalahkan Dahlia."Ada apa ini?" tanya seseorang yang baru saja datang dari luar rumah.Semuanya menoleh ke arah orang tersebut. Ibu Aditya berdiri di pintu, namun ekspresi wajahnya tidak terlihat terlalu terkejut melihat pertengkaran Dahlia dan Sinta itu."Ibu," kata Sinta dengan manja dan lega, seolah pertolongannya sudah datang. Dahlia belum juga mau melepaskan cengkeraman tangannya dari tangan Sinta. Dahlia berpikir, biar saja kali ini semua menilai dirinya tidak tahu malu, atau tak berpendidikan karena menyerang Sinta seperti itu. Paling tidak, ia bisa menumpahkan kemarahan dan kekesalan pada wanita tidak tahu malu itu. Siapa yang tidak geram melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain di depan matanya? Dahlia baru mengerti bahwa selama ini dia dibohongi oleh suami dan ibu mertuanya. Dahlia merasa dirinya sangat bodoh dan juga begitu polos, sehingga ia sangat mempercayai suaminya dan dikhianati dengan begitu jahatnya. Kali ini Dahlia tidak bisa pasrah dan diam saja menerima perlakuan seperti itu. "Hentikan, Dahlia!" teriakan ibu mertuanya itu membuat Dahlia menoleh dan menatap wanita paruh baya itu. Wanita yang selama lima tahun ini dianggap oleh Dahlia sebagai ibunya sendiri. Sepanjang pernikahannya dengan Aditya, sang ibu me
"Bu, kita kemana ini?" tanya sopir mobil itu setelah melihat Dahlia sudah agak tenang. "Maaf Bapak harus menunggu lama, kita pulang saja, Pak. Kita kembali ke rumah saya tadi. Besok tolong Bapak jemput saya dan antar saya ke Semarang ya, Pak," kata Dahlia. "Baik, Bu." jawab sopir itu. Sopir itu melihat Dahlia dengan perasaan campur aduk, bisa merasakan kesedihan Dahlia, karena ia juga memiliki seorang anak perempuan yang baru saja menikah. Sopir itu berdoa dalam hati, agar kejadian pahit yang baru saja dilihatnya tadi tidak terjadi pada putrinya. "Bu, yang sabar dan ikhlas ya. Saya berharap Ibu mendapatkan jalan keluar terbaik nantinya. Saya yakin Ibu pasti kuat dan bisa melewati semua ini," kata sopir itu pada Dahlia dengan wajah prihatin. "Terimakasih ya, Pak," kata Dahlia sambil mengusap air matanya yang mengalir lagi. Dahlia mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. Hari mulai gelap, ditambah rintik hujan yang mulai turun, seperti hati Dahlia yang sedang sendu dan menang
Menjelang siang, Dahlia sudah tiba di kota Semarang. Biasanya jika pulang ke rumah orang tuanya hatinya akan sangat bahagia karena pasti kerinduan sudah begitu terasa. Tapi kini saat melewati jalan dan tempat-tempat yang dikenalinya, hatinya terasa perih. Semakin mendekati rumahnya, Dahlia semakin ingin menangis. Tapi Dahlia harus tegar, tidak boleh tepuruk di depan bapak dan ibunya. Dahlia sangat sedih dan tidak bisa membayangkan reaksi orang tuanya saat melihat Dahlia pulang dan mengatakan bahwa ia akan bercerai. Semoga saja orang tuanya kuat menerima berita menyedihkan dan mengejutkan ini. Selama ini Dahlia selalu mengatakan kepada orang tuanya bahwa pernikahannya bahagia dan baik-baik saja. Bahkan, Dahlia menutup rapat semua perlakuan mertuanya pada dirinya. Dahlia turun di depan rumahnya, ia memandang ke rumah sederhana itu, tak banyak perubahan sejak dia terakhir kali mengunjunginya. Dahlia membayar biaya sewa mobil dan berterimakasih pada sopir mobil itu. Lalu Dahlia berjalan
Setelah tiga hari di rumah, Dahlia mulai lebih tenang dan bisa berpikir jernih. Tidak mungkin dirinya akan terpuruk dan bersedih terus. Sebaliknya Dahlia harus bangkit, kembali merencanakan yang terbaik untuk diri dan masa depannya. Sebelum menikah, Dahlia sempat bekerja di sebuah salon kecantikan. Bahkan sebenarnya karir Dahlia cukup baik. Dua tahun bekerja di salon itu, Dahlia sudah menjadi asisten make up artis. Banyak konsumen yang menyukai riasan Dahlia dan merasa cocok dengan kemampuannya.Setahun setelah menikah, Dahlia masih bekerja di salon itu. Ia suka bekerja di salon itu, karena apa yang dikerjakannya sesuai dengan bakat dan minatnya. Jadi Dahlia tidak merasakan pekerjaannya itu sebagai suatu beban atau melelahkan. Tahun kedua pernikahan, Ibu mertua Dahlia mulai menyuruh Dahlia keluar dari pekerjaannya. Alasannya agar anaknya lebih terurus jika Dahlia menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, juga agar Dahlia bisa fokus pada program kehamilannya. Dahlia awalnya menolak dan i
Tak terasa tiga bulan sudah Dahlia dan Aditya berpisah. Kini Dahlia masih menyibukkan diri dengan salon baru nya, sementara Aditya menikmati pernikahannya dengan Sinta. Wajah cantik dan tubuh molek Sinta akhirnya memang bisa membius Aditya. Walaupun awalnya Aditya tidak mencintai Sinta, akhirnya Aditya luluh juga dengan rayuan Sinta. Sinta sangat bahagia karena kini semua gaji Aditya ada di tangannya. Aditya tidak perlu membagi dengan istri pertamanya itu. Hampir setiap hari Sinta menghamburkan uang Aditya, dengan ke salon, perawatan, berbelanja, belum lagi kartu kredit yang hampir terpakai full oleh Sinta. Jujur Aditya pun pusing melihat perilaku Sinta yang berbeda jauh dengan Dahlia yang selalu berhemat dan mengelola keuangan dengan baik. Tapi Aditya tidak mampu berbuat apapun, apalagi Ibu Aditya selalu membela Sinta. Tapi kebahagiaan Sinta dan Aditya tidak berlangsung lama. Suatu hari ada pengumuman di kantor, ada kebijakan dari kantor pusat yang mengejutkan semua karyawan cabang
Aditya sudah tidak bisa membayar angsuran rumahnya. Pihak bank sudah beberapa kali menghubungi Aditya dan menanyakan mengenai pembayaran cicilannya. Namun, karena Aditya tetap tidak mampu membayar sampai batas waktu yang ditentukan, akhirnya dengan terpaksa rumah itu disita oleh pihak bank. Mobil Aditya juga sudah terjual untuk membayar hutang kartu kredit, hutang lainnya dan biaya hidup Aditya dan Sinta selama Aditya tidak bekerja. Aditya dan Sinta terpaksa mengemasi barang dan pindah ke rumah Ibu Aditya. Sepanjang perjalanan Sinta terus menangis, ia tidak mau tinggal di rumah Ibu Aditya yang menurutnya jelek itu. Akhirnya Aditya dan Sinta sampai ke rumah Ibu Aditya. Baru saja sampai, Sinta berulah. Sinta menatap rumah kecil milik Ibu Aditya dengan tatapan merendahkan dan jijik. "Mas, aku ga mau tinggal di sini," kata Sinta. "Terus kita mau tinggal dimana, Sin? Jalanan? Kolong jembatan? Kamu kan tahu kalau rumah kita baru disita. Sementara kita tinggal di sini dulu, sampai aku d
Aditya terduduk lemas, dalam sekejap hidupnya hancur, segala miliknya hilang lenyap. Semua kebanggaan, kekayaan dan istri pun pergi meninggalkan dirinya. Di saat ia susah dan terpuruk seperti ini, teman-temannya juga seakan menghilang, tidak ada yang mau menolongnya memberi pinjaman atau mencarikan pekerjaan. Ibu Aditya menangis dengan sedihnya melihat kondisi Aditya. Melihat kondisi anak yang selalu dibanggakannya, kini berbalik seratus delapan puluh derajat tentu membuat hatinya sedih dan hancur. "Ibu puas sekarang?" tanya Aditya. "Apa maksudmu, Nak?" tanya Ibu Aditya. "Lihat hidupku jadi seperti ini karena Ibu. Ibu yang membuat rumah tanggaku dengan Dahlia hancur. Ibu selalu ikut campur dan mengatur kehidupanku. Lihat menantu pilihan Ibu, yang kata Ibu jauh lebih baik dari Dahlia, apa dia mau bersamaku saat aku jatuh dan susah seperti ini?" kata Aditya. Ibu Aditya menangis lebih keras lagi, ia tidak menyangka tindakannya justru menghancurkan hidup anaknya. Aditya bahkan kini m
Usaha salon Dahlia mulai dikenal luas. Dahlia juga sering mendapatkan pekerjaan merias pengantin di berbagai tempat. Awalnya Dahlia harus menyewa mobil setiap kali ada jadwal merias di tempat yang cukup jauh. Jika jaraknya masih terjangkau, Dahlia menggunakan sepeda motor. Karena banyaknya konsumen yang datang ke salon, Dahlia memperkerjakan dia orang karyawan. Sekaligus mengajari mereka agar bisa membuka usaha seperti dirinya suatu saat nanti. Dahlia tidak pelit berbagi ilmu pada para karyawannya. Ia percaya rejeki tetap sudah diatur untuk setiap orang sesuai porsi masing-masing. Sedikit demi sedikit akhirnya Dahlia bisa menabung uang dari hasil pekerjaannya. Pertama-tama ia membelikan motor baru untuk Bapak, agar bisa beraktivitas lebih baik dan tidak sering direpotkan dengan motor butut nya yang sering rewel. Bapak sangat senang dan terkejut ketika Dahlia membawa pulang motor yang dibelinya secara tunai, dan memberikan kuncinya pada Bapak sebagai hadiah ulang tahun Bapak. Setel