Setelah tiga hari di rumah, Dahlia mulai lebih tenang dan bisa berpikir jernih. Tidak mungkin dirinya akan terpuruk dan bersedih terus. Sebaliknya Dahlia harus bangkit, kembali merencanakan yang terbaik untuk diri dan masa depannya.
Sebelum menikah, Dahlia sempat bekerja di sebuah salon kecantikan. Bahkan sebenarnya karir Dahlia cukup baik. Dua tahun bekerja di salon itu, Dahlia sudah menjadi asisten make up artis. Banyak konsumen yang menyukai riasan Dahlia dan merasa cocok dengan kemampuannya.Setahun setelah menikah, Dahlia masih bekerja di salon itu. Ia suka bekerja di salon itu, karena apa yang dikerjakannya sesuai dengan bakat dan minatnya. Jadi Dahlia tidak merasakan pekerjaannya itu sebagai suatu beban atau melelahkan. Tahun kedua pernikahan, Ibu mertua Dahlia mulai menyuruh Dahlia keluar dari pekerjaannya. Alasannya agar anaknya lebih terurus jika Dahlia menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, juga agar Dahlia bisa fokus pada program kehamilannya. Dahlia awalnya menolak dan ingin terus bekerja, tapi Aditya membujuk Dahlia untuk menuruti perkataan ibunya. Akhirnya dengan berat hati Dahlia melepaskan pekerjaannya itu dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Dahlia berpikir dan mempertimbangkan apa yang akan dikerjakannya selanjutnya. Lalu Dahlia membicarakan itu pada Bapak dan Ibu. "Pak, Bu, Dahlia mau bicara," kata Dahlia. "Kenapa Nak? Ada apa?" tanya Ibu. "Bu, bolehkah Dahlia membuka salon di rumah ini? Dahlia ada simpanan dan perhiasan walaupun tidak banyak. Dahlia mau memakainya sebagai modal untuk membuka usaha," kata Dahlia sambil menatap kedua orang tuanya."Bapak dukung kamu, Nak. Kita buat saja salon kecil di halaman depan sampai ruang tamu ini. Nanti Bapak dan Ibu bantu modal untukmu, walaupun mungkin tidak seberapa," kata Bapak. "Iya Nak, Ibu senang kalau kamu juga mulai bisa berpikir, ga sedih dan melamun terus," kata Ibu sambil membelai rambut Dahlia. Dahlia tersenyum, "Makasih ya Pak, Bu untuk dukungannya. Besok Dahlia akan menjual perhiasan, lalu mulai berbelanja beberapa peralatan salon," kata Dahlia."Ya sudah, kamu fokus saja sama peralatan salon, Bapak akan buatkan ruangan salonnya, ya," kata Bapak. "Iya Pak, terimakasih banyak, ya," kata Dahlia. Dukungan orang tuanya membuat Dahlia mampu memotivasi dirinya untuk bangkit, tidak terus berlarut dalam kesedihan karena memikirkan nasib rumah tangganya.Selama beberapa Dahlia mulai mempersiapkan semua keperluan salon nya. Ia membeli peralatan salon, alat make up, kursi, memesan banner tulisan salon untuk dipasang di depan rumahnya. Bapak sudah mulai membangun ruangan salon sederhana dengan dibantu oleh seorang temannya. Dahlia tersenyum dan mulai bisa membayangkan salon itu nantinya mulai dapat digunakan. Semoga banyak pelanggan yang akan datang, ucap Dahlia dalam hatinya. Perlahan tapi pasti Dahlia bisa melupakan kesedihan hatinya. Dua minggu kemudian, salon Dahlia itu pun resmi dibuka. Untuk tiga hari pertama, Dahlia memberikan diskon khusus untuk konsumen. Dahlia mempromosikan salon nya itu melalui media sosial nya, sehingga banyak orang yang mengetahui salon yang baru saja dibuka itu. Semua yang datang terlihat puas dengan hasil salon milik Dahlia itu. Mulai dari yang potong rambut, smoothing, perawatan wajah dan rambut, juga riasan Dahlia. Ibu dan Bapak pun bisa tersenyum tenang melihat Dahlia mulai sibuk beraktivitas. Dahlia terlihat bersemangat dan tidak kenal lelah dalam bekerja melayani konsumennya. Pembawaan Dahlia yang luwes dan ramah juga membuat konsumennya nyaman dan bisa bercerita tentang apapun. Sehingga waktu berjalan begitu cepat saat mereka berada di salon itu. "Nak, makan siang dulu," kata Ibu mengingatkan. "Oh ya Bu, sudah siang toh? Lia malah belum merasa lapar," kata Dahlia. "Iya Nak, ayo mumpung belum ada orang datang lagi. Kamu makan dulu, ga boleh sering telat makan loh Nak, nanti kamu bisa sakit," kata Ibu."Iya Bu, ya sudah Lia makan dulu, Bu," kata Dahlia, "Iya, ibu tunggu di sini, siapa tahu ada orang datang." kata Ibu. Ketika Dahlia sedang menyantap makanannya, ibu memanggil karena ada orang yang akan potong rambut. Dahlia pun meletakkan piring nasi nya ke dalam tudung saji dan segera mencuci makan. Walaupun makan siangnya terganggu, tapi Dahlia senang karena konsumen terus datang silih berganti. Memang di lingkungan rumah Dahlia ini, belum ada salon kecantikan. Dan harga yang dipatok oleh Dahlia ini masih cukup terjangkau. Konsumen yang datang pun puas dengan hasilnya, sehingga mereka mempromosikan salon Dahlia ini pada yang lainnya. Malam hari Dahlia menutup salon nya."Lelah ya, Nak?" tanya Ibu yang melihat Dahlia sedang meregangkan tubuhnya. "Lumayan Bu, tapi rasanya senang sekali. Ibu kan tahu dari dulu Lia menyukai pekerjaan ini," jawab Dahlia. "Iya Nak, ibu bisa lihat kamu menikmati pekerjaanmu ini. Semoga laris terus dan cepat berkembang ya, Nak," kata Ibu. "Amin Bu. Doakan Dahlia terus ya, Bu," kata Dahlia. "Pasti Nak," kata Ibu tersenyum. Dahlia pun membuka laci meja dan menghitung penghasilannya hari itu."Lima ratus ribu lebih, Bu," kata Dahlia. "Wah, lumayan ya, Nak," kata Ibu turut senang."Iya Bu." kata Dahlia sambil tersenyum. Seakan lelah selama hari itu lenyap seketika melihat senyum para konsumen dan hasil pekerjaannya yang setimpal. Dahlia pun merapikan semua peralatan salon nya, lalu segera beristirahat. Besok ia harus bekerja kembali membuka salon itu.Tak terasa tiga bulan sudah Dahlia dan Aditya berpisah. Kini Dahlia masih menyibukkan diri dengan salon baru nya, sementara Aditya menikmati pernikahannya dengan Sinta. Wajah cantik dan tubuh molek Sinta akhirnya memang bisa membius Aditya. Walaupun awalnya Aditya tidak mencintai Sinta, akhirnya Aditya luluh juga dengan rayuan Sinta. Sinta sangat bahagia karena kini semua gaji Aditya ada di tangannya. Aditya tidak perlu membagi dengan istri pertamanya itu. Hampir setiap hari Sinta menghamburkan uang Aditya, dengan ke salon, perawatan, berbelanja, belum lagi kartu kredit yang hampir terpakai full oleh Sinta. Jujur Aditya pun pusing melihat perilaku Sinta yang berbeda jauh dengan Dahlia yang selalu berhemat dan mengelola keuangan dengan baik. Tapi Aditya tidak mampu berbuat apapun, apalagi Ibu Aditya selalu membela Sinta. Tapi kebahagiaan Sinta dan Aditya tidak berlangsung lama. Suatu hari ada pengumuman di kantor, ada kebijakan dari kantor pusat yang mengejutkan semua karyawan cabang
Aditya sudah tidak bisa membayar angsuran rumahnya. Pihak bank sudah beberapa kali menghubungi Aditya dan menanyakan mengenai pembayaran cicilannya. Namun, karena Aditya tetap tidak mampu membayar sampai batas waktu yang ditentukan, akhirnya dengan terpaksa rumah itu disita oleh pihak bank. Mobil Aditya juga sudah terjual untuk membayar hutang kartu kredit, hutang lainnya dan biaya hidup Aditya dan Sinta selama Aditya tidak bekerja. Aditya dan Sinta terpaksa mengemasi barang dan pindah ke rumah Ibu Aditya. Sepanjang perjalanan Sinta terus menangis, ia tidak mau tinggal di rumah Ibu Aditya yang menurutnya jelek itu. Akhirnya Aditya dan Sinta sampai ke rumah Ibu Aditya. Baru saja sampai, Sinta berulah. Sinta menatap rumah kecil milik Ibu Aditya dengan tatapan merendahkan dan jijik. "Mas, aku ga mau tinggal di sini," kata Sinta. "Terus kita mau tinggal dimana, Sin? Jalanan? Kolong jembatan? Kamu kan tahu kalau rumah kita baru disita. Sementara kita tinggal di sini dulu, sampai aku d
Aditya terduduk lemas, dalam sekejap hidupnya hancur, segala miliknya hilang lenyap. Semua kebanggaan, kekayaan dan istri pun pergi meninggalkan dirinya. Di saat ia susah dan terpuruk seperti ini, teman-temannya juga seakan menghilang, tidak ada yang mau menolongnya memberi pinjaman atau mencarikan pekerjaan. Ibu Aditya menangis dengan sedihnya melihat kondisi Aditya. Melihat kondisi anak yang selalu dibanggakannya, kini berbalik seratus delapan puluh derajat tentu membuat hatinya sedih dan hancur. "Ibu puas sekarang?" tanya Aditya. "Apa maksudmu, Nak?" tanya Ibu Aditya. "Lihat hidupku jadi seperti ini karena Ibu. Ibu yang membuat rumah tanggaku dengan Dahlia hancur. Ibu selalu ikut campur dan mengatur kehidupanku. Lihat menantu pilihan Ibu, yang kata Ibu jauh lebih baik dari Dahlia, apa dia mau bersamaku saat aku jatuh dan susah seperti ini?" kata Aditya. Ibu Aditya menangis lebih keras lagi, ia tidak menyangka tindakannya justru menghancurkan hidup anaknya. Aditya bahkan kini m
Usaha salon Dahlia mulai dikenal luas. Dahlia juga sering mendapatkan pekerjaan merias pengantin di berbagai tempat. Awalnya Dahlia harus menyewa mobil setiap kali ada jadwal merias di tempat yang cukup jauh. Jika jaraknya masih terjangkau, Dahlia menggunakan sepeda motor. Karena banyaknya konsumen yang datang ke salon, Dahlia memperkerjakan dia orang karyawan. Sekaligus mengajari mereka agar bisa membuka usaha seperti dirinya suatu saat nanti. Dahlia tidak pelit berbagi ilmu pada para karyawannya. Ia percaya rejeki tetap sudah diatur untuk setiap orang sesuai porsi masing-masing. Sedikit demi sedikit akhirnya Dahlia bisa menabung uang dari hasil pekerjaannya. Pertama-tama ia membelikan motor baru untuk Bapak, agar bisa beraktivitas lebih baik dan tidak sering direpotkan dengan motor butut nya yang sering rewel. Bapak sangat senang dan terkejut ketika Dahlia membawa pulang motor yang dibelinya secara tunai, dan memberikan kuncinya pada Bapak sebagai hadiah ulang tahun Bapak. Setel
Hari ini Dahlia ada jadwal merias pengantin di luar kota. Jarak kota itu cukup jauh dari rumah Dahlia, yaitu dua jam perjalanan. Jika ada pekerjaan merias pengantin seperti itu, Dahlia harus rela jika waktu istirahat dan tidurnya jauh berkurang.Biasanya jika acara akad nikah berlangsung pagi hari, Dahlia harus mulai merias pengantin wanita mulai pukul tiga dini hari, karena selanjutnya masih harus merias ibu dan saudara-saudara perempuan calon pengantin itu. Jadi jika tempat acaranya jauh, Dahlia harus berangkat dari rumah pukul sebelas atau dua belas malam. Di siang hari, biasanya Dahlia harus kembali memperbaiki riasan pengantin, mengganti pakaian untuk resepsi dan sebagainya. Rasa lelah dan mengantuk pasti ada, tapi melihat pengantin tersenyum puas dan bahagia, terlihat cantik di hari yang paling istimewa membuat Dahlia sangat bahagia. Semua rasa lelah terbayar lunas melihat senyuman mereka. Seringkali Dahlia harus menghadapi konsumen dengan berbagai tipe, ada yang mempercayakan
Aditya mendengus kesal dan melangkah gontai ke teras rumah. Ia menyalakan rokok nya dan menghisapnya dalam-dalam, dan menghembuskan asap itu ke udara, seakan ingin membuang gundah nya jauh-jauh seperti asap yang mengepul itu.Di satu sisi Aditya merasa iba melihat ibu yang mengandung dan melahirkannya lemah tak berdaya, tapi di sisi lain ia merasa begitu geram akan tindakan Ibu nya itu. Dalam kondisi sulit seperti ini, ia baru mengetahui jika ibunya selama ini memiliki hutang yang bagi mereka saat ini begitu besar jumlahnya.'Mengapa Ibu begitu nekat dan berani berhutang seperti itu, hanya demi mengadakan pesta meriah satu hari?' pikir Aditya. Aditya teringat betapa mewahnya pesta pernikahan keduanya itu. Ibu meyakinkan Aditya bahwa semua dananya tersedia, Aditya tidak perlu memusingkan masalah biaya atau segala persiapan pernikahan itu. Ibu dan Sinta begitu antusias mempersiapkannya. Mereka memilih gaun, salon, dekorasi terbaik, dan katering ternama di kota itu.Padahal untuk melaksa
Sudah satu jam lamanya Aditya memandangi layar HP nya, sesekali ia mencari kontak di HP nya dan menelepon beberapa orang yang dikenalnya. Aditya menelpon seorang temannya yang bekerja di Semarang."Hallo Mas, saya Aditya. Mau menanyakan apakah ada lowongan kerja di kantor Mas?" tanya Aditya."Kayaknya belum ada, Dit. Kalaupun ada juga lowongan untuk menjadi sopir kantor, karena sopir yang lama baru saja pensiun," kata orang tersebut."Ga apa-apa, Mas. Jadi sopir pun aku mau," kata Aditya."Apa Dit? Kamu serius? Kamu tadinya seorang manajer loh. Kamu mau melamar menjadi sopir? Kamu ga bercanda, kan?" tanya orang itu dengan terkejut."Iya Mas. Aku baru saja di PHK. Aku sangat membutuhkan uang," kata Aditya."Ya sudah, Dit. Kalau begitu kamu kirim saja surat lamaran mu ya, nanti saya serahkan ke bagian HRD," kata teman Aditya itu."Iya Mas, terimakasih banyak untuk bantuan dan informasinya. Mas kirimkan saja alamatnya, ya. Saya akan kirim surat lamaran saya segera," kata Aditya.Aditya s
"Mbak Lia, sepertinya tadi ada orang yang memanggil dan mengejar kita," kata Nina yang duduk di samping Dahlia.Dahlia dan Nina baru saja selesai merias konsumen di dalam kota Semarang, dan sekarang mereka sedang dalam perjalanan pulang."Ah, masa?" kata Dahlia sambil mencoba melihat dari kaca spion."Ga ada koq, Nin," kata Dahlia.Nina pun menoleh dan melihat ke belakang. Apa hanya perasaanku saja, ya?" kata Nina."Mbak, bagaimana dengan pria tampan kemarin?" tanya Nina."Pria yang mana, Nin?" tanya Dahlia."Yang di acara pernikahan itu," kata Nina."Oh, Bima," kata Dahlia."Nah, itu. Apa dia masih sering menghubungi Mbak?" tanya Nina penasaran."Beberapa kali ia menelepon dan mengirim pesan, tapi ga terlalu aku tanggapi, Nin," kata Dahlia."Kenapa Mbak?" tanya Nina."Nin, kamu kan tahu status Mbak sekarang. Mbak ini seorang janda, bukan waktunya untuk main-main seperti itu," kata Dahlia."Siapa tahu dia serius dan tulus sama Mbak," kata Nina."Entahlah Nin, Mbak belum siap untuk mem