Share

Tamu spesial

Bab 3 : Tamu spesial

"Apanya yang nggak ada? Apa Mas mau melihat siapa yang jadi maling sebenarnya? Yakin Mas nggak terkejut nanti atau Mas udah tau?" tanyaku menjebaknya. 

"Eh, eng-nggak kok! Mungkin memang benar rusak. Ya udah, nggak usah dibahas lagi. Mas mau mandi dulu," katanya sambil masuk ke kamar mandi. 

Aku tertawa dalam hati, terus sajalah kamu membohongiku Mas. Satu bukti sudah ada di tanganku, tinggal mencari bukti perselingkuhan kalian. Sengaja aku masih menyuruh ibu tinggal di sini untuk memuluskan rencanaku. 

Ya, aku punya rencana untuk menghancurkan mereka. Jangan mereka pikir selama ini aku diam mengalah itu karena takut. Aku hanya mencari waktu yang tepat dan ibulah yang membuat rencanaku berjalan. 

Mas Lucky tidak pernah tau siapa aku sebenarnya. Karena sebelum menikah aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan. Namun, baru beberapa bulan bekerja  karena fitnah seseorang membuatku dipecat. 

Setelah dipecat, aku membantu ibu berjualan di pasar. Saat itulah aku ketemu dengan Mas Lucky sedang belanja. Aku membantunya memilih sayur segar, sejak saat itu dengan berbagai alasan Mas Lucky kerap datang ke pasar. 

Sebulan perkenalan, Mas Lucky melamar dan mengajakku menikah. Akan tetapi, mamanya tak merestui hubungan kami. Oleh karena itu, kami tetap menikah dengan sederhana di rumahku. 

Mas Lucky tidak pernah tau kalo aku ini pernah bekerja di perusahaan. Karena dia tak pernah bertanya, Mas Lucky taunya aku penjual sayur di pasar. Sekarang itu sangat menguntungkan diriku, jadi Mas Lucky tidak curiga aku yang menghapus rekaman cctv itu. 

Tanpa menunggu Mas Lucky siap mandi, aku turun ke bawah lagi melihat keadaan ibu. Pasti jamu buatan Bi Inem sudah siap dimasak. Sebelum ke dapur aku ke kamar, ternyata Bi Inem lagi menyuapi ibu minum jamu. 

Ibu tersenyum kala aku nongol. "Gimana, Bu jamunya?" tanyaku sambil duduk di kursi yang terletak dekat tempat tidur. 

"Enak, Bi Inem pandai membuatnya," puji ibu melirik Bi Inem. 

Bi Inem tersipu malu. "Ibu bisa aja, saya dulu memang penjual jamu saat di kampung." 

"Pantas, tapi kenapa nggak jual jamu lagi, Bi?" tanyaku ingin tau. 

"Saya nggak mau tinggal di kampung lagi karena suami saya menikah lagi dengan janda muda. Sakit hati saya setiap ketemu dia, makanya saya merantau kemari sebagai pembantu," jelas Bi Inem dengan mata berkaca-kaca. 

Aku menggeleng mendengar kisah hidup Bi Inem. Semua lelaki sama saja tidak muda tidak tua suka selingkuh. Ibu beruntung karena almarhum bapak tetap setia hingga meninggal. 

Saat asyik mengobrol terdengar teriakan mertua memanggil Bi Inem. "Inem ... Di mana kamu?" Seketika wajah Bi Inem pucat pasi. 

"Aduh, gimana ini Non?" tanya Bi Inem takut. 

"Bibi jujur aja, Mama nggak akan marah, udah sana temui Mama!" pintaku. 

Bi Inem mengangguk kemudian menyerahkan gelas jamu padaku. Lalu gantian memberi minum jamu pada ibu. 

"Yu, kalo Bu Inem dimarah besan gimana? Ibu takut dia diperlakukan seperti ibu tadi," lirih ibu sedih. 

"Nggak, Bu! Selama Bi Inem nggak melakukan kesalahan fatal, Mama cuma akan memarahinya aja. Sudah sering Bi Inem kena marah Mama," jawabku menghibur ibu. 

"Inem, dari mana kamu dipanggil dari tadi nggak menyahut?" tanya mertua keras. 

Aku dan ibu mendengar suara mertua karena kamar dekat dengan dapur. Mama pasti sudah sampai ke dapur mencari Bi Inem jadi suaranya sungguh terdengar jelas. 

"Ma-maaf Nyonya, saya tadi di kamar ibunya Non Ayu," ucap Bi Inem gugup. 

"Ngapain kamu di kamarnya? Saya ini majikan kamu bukan dia, paham!" hardik mertua tak suka. 

Ibu gelisah menatapku terus dan merasa bersalah. Melihat ibu yang tak tenang, aku pun keluar untuk membantu Bi Inem bicara. Terlihat mertua berkacak pinggang memarahi Bi Inem. 

"Bi Inem membuatkan jamu untuk ibu, jadi Mama nggak perlu marah. Tubuh ibu sakit karena Mama tendang tadi apa Mama mau bawa berobat ibuku?" tanyaku sambil masuk ke dapur meletakkan gelas bekas jamu. 

Melihatku muncul dan protes, mertua pun berhenti marah. Aku mencuci gelas untuk melihat reaksinya, Bi Inem segera menghampiriku. "Nggak usah dicuci, Non! Biar saya aja yang nyuci," cegah Bi Inem. 

"Nggak apa-apa, Bi! Bibi urus Mama aja, Mama udah nggak marah lagi," kataku sambil melirik mertua yang masih terdiam. 

"Inem, sini! Nanti kamu masak yang banyak dan enak. Ada tamu spesial yang akan datang," titah Mama seraya memberikan uang belanja. 

"Baik, Nyonya. Saya akan segera belanja," sahut Bi Inem tergesa-gesa pergi. 

"Yu, nanti malam ada tamu yang datang. Mama minta ibumu jangan sampai keluar dan terlihat tamu. Mama mengizinkan ibumu di sini bukan berarti bisa berbuat sesuka hati, mengerti!" ujar mertua menatapku malas. 

"Ayu mengerti, Ma! Lagian ibu juga nggak leluasa bergerak, tubuhnya masih sakit. Untung aja nggak parah kalo sampai pingsan, Ayu bakal laporkan Mama ke polisi," ancamku membuat mertua bergidik. 

Mertua lalu pergi dengan kesal, aku cuma tertawa melihatnya. Ternyata senang juga membuatnya takut. Gantian aku yang akan menindas mereka, seperti dulu mereka selalu membuatku susah dan harus mematuhi semua perkataan mereka. 

Ngomong-ngomong siapa tamu yang akan datang nanti malam, ya? Apakah aku juga ikut menyambut atau di dalam saja seperti ibu. Tapi, mertua tadi tak ada berkata berarti boleh. Bukankah tiap ada tamu yang datang mertua tetap mengenalkan aku. 

Ah, siapapun dia bodoh amat. Selama tidak menghina ibu, aku akan bersikap seperti biasa. Selesai di dapur, aku masuk kamar untuk menunaikan sholat Maghrib, azan sudah berkumandang. 

Mas Lucky tertidur, lantas aku bangunkan. "Mas, bangun sudah Maghrib!" kataku mengguncang tubuhnya. 

"Apa sih? Ganggu orang tidur aja!" katanya marah. 

"Sudah Maghrib, Mas! Bangun, sholat." 

"Bentar lagi, ngantuk ini." 

"Kata Mama, Maya akan datang untuk makan malam di sini," ucapku sedikit keras di telinga Mas Lucky. 

Sengaja aku berbohong untuk melihat reaksinya. Pasti Mas Lucky akan senang mendengar kekasih gelapnya datang. Benar saja, refleks Mas Lucky bangun sambil mengucek matanya. 

"Apa kamu bilang, siapa yang datang?" tanyanya ingin jelas pura-pura kaget tapi sebenarnya bahagia. 

"Maya, kamu suka 'kan, Mas," ejekku menyindir. 

"Apa maksud kamu? Mas suka? Ada-ada aja kamu," gerutu Mas Lucky takut ketahuan. 

"Buktinya, saat aku sebut Maya Mas langsung bangun. Atau jangan-jangan kalian ada apa-apanya," selidikku menatap netra Mas Lucky. 

Mas Lucky yang ditatap seperti itu mendadak salah tingkah. Lalu gegas bangun dan masuk kamar mandi. Aku mencibir dan membentang sajadah, untuk menjalankan sholat sendirian. 

Sampai aku siap sholat, Mas Lucky baru keluar dari kamar mandi. Tercium aroma yang sangat wangi, pasti Mas Lucky sengaja mandi lagi dan bersih-bersih. Kentara di wajahnya sangat bahagia dengan sosok tamu yang akan datang. 

Aku pun tertawa melihatnya, Mas Lucky heran. Namun, dia tidak menggubrisku. Tanpa tahu siapa tamu yang datang, begitu pedenya Mas Lucky bermandi ria. Aku ingin lihat ekspresi terkejutnya nanti, membayangkan wajahnya yang kecewa membuatku semakin terkekeh. 

Dengan kasar, Mas Lucky mendorongku, "Sudah sana, gantian tempatnya!" 

Aku pun meninggalkannya di kamar dan melihat ibu. Tanpa sepengetahuanku, diam-diam Mas Lucky keluar rumah. Itu aku dengar dari deru mobilnya. 

Tidak sampai satu jam, terdengar suara mobil Mas Lucky. Aku yang belum tidur gegas menghidupkan TV, ingin melihat apa yang dilakukannya saat keluar tadi. 

"Mas nggak nonton TV?" tanyaku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status