Share

Pengakuan

Bab 5 : Pengakuan 

"Sudah dapat blom, Ky?" tanya mertua berjalan mendekat. 

Mas Lucky menggeleng frustasi, lalu mertua menatap ibu tajam. "Pasti ibu Ayu yang mengambilnya!" 

Spontan ibu terkejut bila kejadian kemarin terulang kembali. "Tunggu, sebenarnya apa yang kalian cari sampai menuduh ibuku?" kataku berpura-pura marah. 

"Mas kehilangan barang di mobil dan itu sangat penting buat Mas," jawab Mas Lucky berang. 

"Mas, apa kamu nggak lihat kalo ibu aja susah berjalan bagaimana mungkin bisa mengambil barang di mobil. Lagian kunci mobil 'kan Mas yang simpan. Sebenarnya barang apa sih?" Aku terus merongrong agar Mas Lucky mau bicara.

Mas Lucky tetap tidak mau jawab, aku akan menjebaknya. "Apa barang itu untuk Maya?" tanyaku ketus. 

"Bu-bukan! Ya udah kalo kamu nggak tau," ujar Mas Lucky. 

"Tunggu, Ky! Sebaiknya kita geledah kamar ibu Ayu," seru mertua sukses membuat mata ibu membulat sempurna. Sedangkan Bi Inem yang berdiri di sudut dapur mulai gemetar. 

"Mas, jangan sampai kamu masuk kamar ibu dan mengacak-acak. Kali ini Ayu nggak akan biarkan kejadian kemarin terulang lagi," ujarku mengingatkan. 

"Ayu, ingat ini rumah Mama dan Mama berhak untuk menggeledah isi kamar siapa aja yang sudah mencuri," timpal Mertua ngotot. 

"Baiklah, tapi dengan syarat Ayu ikut ke dalam dan apabila nggak terbukti ibu mengambilnya maka Mas harus bilang itu barang apa dan untuk siapa," tantangku pada Mas Lucky. 

Mas Lucky melirik mamanya seperti meminta pendapat. Mertua memutar bola matanya malas dan terserah. Dengan menggaruk kepalanya, Mas Lucky pun mengangguk. 

Mertua dan Mas Lucky berjalan ke arah kamar ibu, secepatnya Bi Inem mendekatiku. "Non, gimana?" tanyanya cemas. 

Aku memberi isyarat pada Bi Inem supaya diam dulu lalu menyusul mereka ke kamar ibu. Begitu masuk, mereka menggeledah dari lemari, tas hingga kolong tempat tidur. Akan tetapi, semua bersih dan tidak ada barang yang dicari Mas Lucky. 

Aku hanya memperhatikan dengan bersedekap tangan. Bibirku menyunggingkan senyum sinis, carilah sampai dapat kalian tidak akan menemukannya, kekehku dalam hati. 

Setelah puas dan putus asa lalu mereka keluar. "Gimana, Mas? Ada?" tanyaku dengan senyum simpul. 

Mas Lucky menggeleng sedangkan mertua menjadi malu. Sebelum mereka melangkah, Mas Lucky melirik pintu kamar Bi Inem dan bermaksud akan masuk menggeledahnya juga. Tapi, mertua segera mencegah. 

"Nggak usah masuk kamar, Bi Inem Ky! Dia nggak bakal berani melakukan itu, orang kampung seperti dia juga gak tau cara membuka mobil," seru mertua. 

Mas Lucky pun mengurungkan niat dan melanjutkan langkah pergi kembali ke depan. Akhirnya bisa bernafas lega dan saat memandang Bi Inem seluruh tubuhnya sudah gemetar. Aku pun mendekati dan menenangkannya. 

"Sudah, Bi! Aman, mereka nggak jadi masuk ke kamar Bibi," kataku sambil mengelus bahunya. 

"Iya, Non! Syukurlah, Bibi tadi sudah sesak nafas takut kalo mereka menemukannya di kamar Bibi," sahut Bibi menghembuskan napas pelan. 

"Bibi bantu ibu dulu ke kamar mandi, Ayu mau bicara dengan Mas Lucky," kataku lalu mencari suamiku itu. 

Di depan rumah, dibantu mertua Mas Lucky masih sibuk mencari ke dalam mobil hingga tidak sadar padaku yang sudah lama berdiri mengamati mereka. 

"Mas, kamu belum bilang itu barang apa dan untuk siapa?" desakku ingin Mas Lucky jujur. 

Mas Lucky menyembulkan kepalanya diantara jendela. "Sebuah cincin berlian, Yu! Untuk Maya," jawabnya tanpa sadar karena terlalu sibuk. 

Mataku membulat sempurna, ternyata benar itu semua dibeli untuk Maya. "Apa kamu bilang, Mas? Cincin berlian untuk Maya?" tanyaku pura-pura kaget. 

Mas Lucky menghentikan aktivitasnya karena mendengar aku kaget. Lalu menatapku yang sudah terisak dan sengaja aku mengeluarkan air mata biar beneran menangis sedih. 

"Tega, kamu Mas! Jadi, selama ini kamu udah selingkuh dengan Maya. Bahkan ingin melamarnya," isakku sambil menghapus air mata. 

"Nggak usah cengeng, Yu! Kalo benar kenapa? Toh, kamu juga masih istri Lucky. Seharusnya kamu bersyukur nggak diceraikan Lucky dan balik jadi gembel," pekik Mertua sinis. 

Aku tak menanggapi perkataan mertua, lalu mendekati Mas Lucky. Menampar pipinya karena kesal, walaupun sebenarnya aku berpura-pura tapi rasa sakit itu masih tetap ada. 

"Ayu, apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu menampar Lucky?" teriak Mertua lalu mendorongku hingga jatuh. 

Mas Lucky hanya diam melihat tanpa berbuat apapun. Mungkin dia merasa bersalah sudah ketahuan selingkuh dan ingin melamar Maya tanpa memberitahuku. Hingga aku bangun sendiri, Mas Lucky masih tak bergeming. 

"Mas, benar kamu menyukai Maya dan ingin menikahinya?" tanyaku meminta kejujurannya. 

Mas Lucky mengangguk. "Tapi kenapa? Apa Mas nggak mencintaiku lagi?" 

"Benar, Mas Lucky nggak mencintaimu lagi. Dia hanya mencintaiku!" tiba-tiba Maya muncul menjawab. 

Kedatangannya yang mendadak membuatku dan Mas Lucky terkejut. Suamiku malah seperti orang bloon tidak tau menjawab apa. Mertua lalu mencairkan suasana dengan merangkul Maya dan sok beramah tamah. 

"Eh, Maya dengan siapa kemari?" tanya Mertua senang. 

"Sendiri, Tante! Tadi Maya menelepon Mas Lucky nggak diangkat makanya kemari karena penasaran. Rupanya kalian lagi ribut," ujar Maya sambil melirikku dan Mas Lucky. 

"Iya, ini Lucky kehilangan cincin berlian yang dibeli untukmu. Sudah kami cari kemana-mana tapi nggak ketemu juga," ucap Mertua mengeluh. 

"Oww, Mas Lucky mau memberi Maya cincin berlian? Wah, kamu baik banget sayang!" Maya refleks memeluk Mas Lucky di depanku. 

Kini sudah tidak ada lagi yang ditutupi mereka dariku. Maya malah terang-terangan mengakui hubungannya dengan Mas Lucky. Akan tetapi, Mas Lucky belum juga menjawab pertanyaanku tadi. Bila dia tidak mencintaiku lagi maka aku akan pergi dari sini. 

Karena kecewa aku pun masuk ke dalam rumah, Mas Lucky mengejarku tapi dicekal Maya. Hatiku sakit dan tidak bisa terus berpura-pura lagi. Sampai di dapur kulihat ibu sedang makan ditemani Bi Inem. 

Ibu tersenyum melihatku dan aku terpaksa membalas senyum ibu. Jangan sampai ibu tau kalo Mas Lucky sudah selingkuh, aku akan merasa baik-baik saja selama mereka tidak menyakiti ibu. 

Bi Inem pamit untuk mengerjakan tugas lain saat aku datang. Kini gantian aku yang menemani ibu makan. "Ayu, tadi masalah apa lagi sampai geledah kamar?" tanya ibu. 

"Mas Lucky kehilangan barang, tapi ibu nggak usah khawatir barang itu nggak ada di kamar ibu," jawabku meminum air di gelas. 

Tenggorokanku terasa cekak saat sedih tadi. Memikirkan nasib rumah tangga yang diujung tanduk. Walaupun Mas Lucky belum menjawab tapi aku tau kalo cinta itu tidak ada lagi di hatinya. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus pergi dari sini? 

Kalo aku pergi, ibu akan mengajakku balik kampung. Lalu apa kata orang-orang di sana nanti, aku pasti malu. Tapi, kalo tetap bertahan pun hatiku akan terus terluka. Tidak mungkin aku kuat melihat kemesraan Maya dan suamiku. Apalagi suamiku tidak mungkin bisa berlaku adil, seperti sekarang ini saja perhatiannya sudah lebih condong ke Maya. 

"Ayu, kenapa melamun Nak?" tanya Ibu. 

"Nggak apa-apa, Bu! Oh, ya Ayu ingin tau pendapat Ibu kalo sekiranya Mas Lucky menikah lagi apa Ibu bisa menerimanya?" tanyaku hati-hati. 

Ya, aku harus tanya mulai perlahan agar ibu tak terkejut nanti. Pertanyaanku barusan sukses membuat ibu menghentikan makannya. Ibu menatapku dalam seperti ingin menyelidiki. 

"Kenapa kamu tanya seperti itu, Yu? Apa karena masalah tadi itu?" 

Aku menggeleng dan bingung bagaimana harus cerita pada ibu. "Ibu nggak bisa memaksa, kamu mau bagaimana pun Ibu akan akan dukung. Yang penting Ibu bisa selalu dekatmu, Yu!" 

Aku bangun berjalan lalu memeluk Ibu. "Maafkan Ayu, Bu! Kalo suatu saat nanti kita nggak berada di rumah ini lagi?" 

"Maksud kamu?" tanya Ibu tak mengerti. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status