Share

Diusir

"Sudah sana pergi jangan kebanyakan bacot, ambil tas kalian dan pergi dari sini!" hardik mantan mertua dengan kasar mendorongku. 

Aku membawa Ibu ke kamarnya untuk mengambil tas. Bi Inem menangis melihat kami akan pergi. "Non, mau kemana?" tanyanya sedih. 

"Bi, Ayu sudah ditalak Mas Lucky jadi sekarang juga kami akan pergi! Bibi harus jaga kesehatan dan baik-baik disini," kataku sambil memeluknya. 

Sedikit tidak rela meninggalkan Bi Inem. Tetapi dia dan aku harus melanjutkan hidup masing-masing. Aku janji dalam hati kalo suatu saat nanti kaya aku akan mencari Bi Inem. 

"Non, gimana cincin itu?" ujar Bu Inem berbisik. 

"Bibi simpen dulu, besok saat Bibi akan belanja ke pasar Bibi bawa dan kita ketemu disana. Kalo Ayu bawa sekarang ntar mereka akan menggeledahnya lagi," titah ku, Bi Inem mengangguk mengerti. 

Selesai membereskan tas Ibu, aku melanjutkan ke kamarku. Tidak banyak barang yang kubawa, hanya baju tanpa perhiasan. Ya perhiasan yang aku punya hanya cincin nikah. Sebelum keluar kamar menyempatkan memandang seluruh kamar. Di dalam kamar ini banyak kenangan indah dan juga buruk. 

"Sudah blom, Yu! Lama banget berkemas," teriak wanita tua galak itu dari bawah. 

Dengan menenteng koper, aku menuruni tangga. Sampai dibawah Ibu sudah menunggu dengan senyum. Hal itu membuatku tidak perlu tertekan. Senyum yang selalu memberiku kekuatan. 

"Sebelum keluar dari rumah ini, buka tas dan koper kalian! Mungkin ada barang yang kalian sembunyikan," perintah Nek lampir. 

Ya julukan yang cocok buat mantan mertuaku. Walaupun sudah tau tapi tetap membuatku geram. Tanpa bicara aku membuka koper dan tas Ibu, Nek lampir itu mengacak-acak isi dan menghamburkan keluar. Tanpa bersalah lalu menyuruh memasukkan kembali. 

"Baik, kalian bisa pergi. Dan ini sedikit ongkos buat kalian, silahkan keluar dan jangan kembali lagi kesini," umpat Nek lampir itu melemparkan uang ke wajahku. 

Demi harga diri, aku tidak mengambil uang yang sudah berjatuhan dilantai. Kemudian menuntun Ibu keluar dari rumah. Nek lampir terbengong melihat sikapku, saat melewati Mas Lucky aku menatapnya tajam dan Maya mencibir sinis. 

Satpam membuka gerbang saat aku dan Ibu keluar. Satpam mengerti saat aku bilang bahwa aku sudah tidak tinggal disini lagi. Terlihat wajahnya yang sedikit sedih. "Mang, maaf tolong jaga Bi Inem ya!" 

Satpam itu mengangguk dan mengatakan aku harus hati-hati dijalan. Taksi yang lewat langsung berhenti, aku dan Ibu naik taksi kearah tujuan. Bi Inem memberitahu alamat kerabatnya jadi untuk sementara kami akan menyewa rumah. Ya, Ibu mengerti kalo aku tidak mau balik kampung. 

Tinggal di kota lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Dengan gajian bisa mencukupi kebutuhan kami berdua. Taksi mulai masuk daerah asri, banyak rumah yang disewakan disini. Tentu ini atas rekomendasi Bi Inem yang sebelum menjadi pembantu, beliau pernah menyewa rumah disini. 

Taksi berlalu setelah aku membayar ongkos. Ya, Bi Inem memberikan uang tabungannya untuk ongkos dan bekal hidupku dan Ibu sementara. Aku janji bila dapat uang akan membayar kembali. 

"Assalamualaikum!" Aku ucapkan salam di depan rumah. 

"Wa'alaikumussalam! Sapa ya?" jawabnya heran. 

"Maaf, Bu Ani. Saya ini kenalan Bi Inem, apakah Bu Ani bisa membantu?" tanyaku ramah. 

"Oh, Inem! Bisa aja, apa yang kalian butuhkan?" 

"Kami ingin menyewa rumah, Bu Ani. Adakah yang sedikit murah?" 

"Ada kok, jarak dua rumah dari rumah saya ini. Perbulannya cuma tiga ratus ribu, tapi ya rumahnya nggak terlalu besar. Cuma ada ruang tamu, satu kamar, satu kamar mandi dan dapur. Mau?" tanyanya menjelaskan dengan rinci. 

"Mau, Bu! Alhamdulillah, apa kita bisa langsung kesana melihatnya?" 

"Ayo, saya temani!" serunya sambil menutup pintu. 

Bu Ani ternyata ramah, juga tetangga sekitar yang banyak menyapa. Bu Ani juga cerita bahwa kebanyakan yang menempati disini orang perantauan jadi semua sudah seperti saudara. 

Setelah melihat dan deal serta membayar untuk tiga bulan sekaligus pemilik rumah menyerahkan kunci rumah padaku. Dengan mengucapkan terima kasih, mengantar sampai depan rumah. 

"Bagaimana, suka rumahnya?" tanya Bu Ani. 

"Alhamdulillah, lumayan Bu! Apalagi alat kebersihan ada juga rumah dalam keadaan bersih jadi tinggal menempati aja," jawabku senang. 

"Kalo gitu saya permisi dulu, kalo ada yang dibutuhkan cari aja saya dirumah ya!" Bu Ani pamit pulang. 

Tas dan koper aku masukkan kedalam kamar. Dikamar juga sudah tersedia sebuah kasur dan bantal dan lemari kecil. Semua jendela kubuka agar udara bisa keluar masuk dan rumah sejuk. Aku memasang sprei agar Ibu bisa istirahat. 

"Rumahnya enak ya, Yu! Mirip di kampung kita," ujar Ibu sambil celingukan kesana kemari. 

"Iya, Bu! Untunglah Bi Inem ingat untuk menyuruh kita kesini. Mulai besok Ayu akan cari pekerjaan untuk membayar utang kita pada Bi Inem," sahutku. 

Memandang luar rumah dari jendela, tatapanku tertuju dijari manis. Cincin nikah masih melingkar, tapi kini tidak ada artinya lagi. Cincin itu akan kusimpan dan dijual untuk belanja sehari-hari. 

** 

Esok paginya, bersama Bu Ani aku belanja di pasar. Ternyata tempatnya ramai dan tidak jauh dari sini, cukup jalan kaki lima belas menit. Hari pertama menempati rumah baru, banyak kebutuhan yang harus dibeli. 

Saat akan membeli perabot masak, Bu Ani melarang. "Nggak usah beli, Neng Ayu dirumah saya banyak. Nanti saya pinjamkan aja!" 

"Nanti Ibu repot kalo cuma sedikit di rumah!" kataku segan. 

"Nggak kok, saya cukup memakai masing-masing satu aja. Sudah, nggak apa-apa kalian baru pindah pasti lebih banyak butuh uang. Jadi, lebih baik dibelanjakan makanan aja," tutur Bu Ani merayu. 

Hatiku senang bisa mengenal Bu Ani, beliau juga baik orangnya. Ternyata masih banyak orang yang peduli padaku dan Ibu diluar. Selesai belanja kami pulang kerumah masing-masing. 

Ibu yang sudah lebih sehat terlihat sedang menjemur bajunya. Walaupun sudah melarang Ibu tetap ingin mengerjakan, biar badan bergerak alasan Ibu. Aku pun tidak memaksa selama Ibu senang. 

Bau masakan tercium harum, aku berinisiatif membagikan pada Bu Ani. Ya berkat meminjam perabot masak, Bu Ani juga kebagian mencicipi masakan. Sebenarnya Ibu yang memasak karena lebih enak, bahkan Bu Ani memujinya. 

Begitulah, tetangga kanan kiri depan dan belakang sudah mulai kami kenal. Semua ramah dan bersahabat, bahkan tanpa diduga ada yang mengantarkan buah ataupun makanan padaku. Ibu menyuruh agar melakukan hal yang sama jika kami ada kelebihan. 

Malam, saat sedang santai bersama Ibu kami duduk lesehan di ruang tamu. Ya ruang tamu kosong dari perabot, tapi tak apalah rumah terlihat lebih luas. Kami berbincang banyak hal, tentang masa lalu juga masa depan. 

"Bu, sudah seminggu Ayu blom dapat pekerjaan. Kita nggak bisa begini terus," kataku lesu. 

"Sabarlah, Nak! Mencari pekerjaan memang nggak mudah, yang penting kita terus ikhtiar dan berdoa. Ibu akan bantu kamu," sahut Ibu menghibur. 

"Iya, Bu! Ayu akan terus berusaha melamar pekerjaan. Semoga aja nggak lama Ayu sudah bisa kerja," kataku berharap. 

Sebenarnya, aku juga tak perlu terlalu risau baru seminggu. Kalo uang habis bisa jual cincin berlian yang kudapat dari mobil Mas Lucky dulu. Kemarin itu sesuai janji, aku dan Bi Inem bertemu di pasar. Bi Inem menyerahkan kotak cincin padaku. 

"Bagaimana kabar Non Ayu dan Ibu sekarang?" tanyanya. 

"Alhamdulillah, kami sehat aja Bi! Bibi sehatkan!" 

"Iya, Non Alhamdulillah! Oh iya selama Non Ayu pergi, si Maya itu hampir tiap hari datang dan membuat Bibi jijik melihatnya. Dia dan den Lucky kerap berciuman di ruang tamu. Kabarnya Minggu depan mereka akan menikah Non, Maya minta yang mewah di gedung. Dasar pelakor nggak tau malu!" umpat Bi Inem kesal. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status