Di pasar, aku membeli berbagai kebutuhan dapur. Mulai dari sayur, ikan, daging, bumbu dapur dan rempah-rempah. Terakhir mampir ke supermarket membeli gula, minyak, susu, teh, dan lainnya. Semua total belanjaan aku tulis di kertas, agar jika Pak Adit tanya aku bisa menunjukkan buktinya. Sisa tinggal seratus ribu untuk ongkos pulang balik. Sampai di rumah, dibantu satpam aku membawa barang belanjaan ke dapur. "Pak, terima kasih udah bantu saya!" "Sama-sama, Neng!" jawabnya tersenyum. "Pak, saya mau tanya! Kok rumah ini sepi sekali, kemana orang tua dan pembantu Pak Adit?" tanyaku ingin tau. Satpam tertawa. "Pak Adit memang tinggal sendiri, Neng! Orang tuanya di luar negeri, jarang datang kemari kalo nggak ada urusan." "Oh, begitu ya, Pak! Lalu untuk urusan makan dan rumah siapa yang mengerjakan kalo nggak ada pembantu?" tanyaku lagi, ini lebih aneh bagaimana Pak Adit bisa hidup sendiri. "Ehm, sebenarnya Pak Adit nggak suka pakai pembantu. Dulu ada kejadian pembantu suka diam-diam
"Kamu siapa melarangku, hah? Aku ini calon istri Pak Adit jadi aku bebas mau masuk dan kamu anak baru pasti nggak mengenalku," ucapnya sombong dan berkacak pinggang. Calon istri? Baiklah, kalo memang dia calon istri Pak Adit aku tak boleh melarang, bisa-bisa Pak Adit akan marah padaku. Dengan tersenyum aku lalu membuka pintu kantor dan mempersilahkan masuk. Wanita itu menyeringai dan melengos masuk. Terlihat dia duduk di kursi Pak Adit lalu mengibaskan tangannya agar aku pergi. Aku pun menutup pintu kembali dan duduk di tempat semula. Tak lama Pak Adit muncul, saat melihatku yang duduk menunggu senyumnya mengembang. "Sudah lama?" tanyanya. Aku pun bangun dan berdiri. "Baru aja tiba, Pak!" jawabku gugup lalu menyerahkan rantang nasi pada Pak Adit. "Ayo masuk, saya mau makan!" katanya menyuruhku masuk. "Tapi, Pak __" "Sudah, temani saya makan di dalam," potong Pak Adit sebelum aku selesai bicara. "Di dalam ada calon istri Pak Adit, saya nggak enak masuk dan mengganggu," kataku e
"Ayu, Yu ...!" Bahu yang terguncang membuatku tersentak bangun. Aku pun membuka mata lalu terkejut, saat Pak Adit sudah berdiri di depanku. Tapi, yang membuat lebih kaget aku sudah berada di atas kasur. Loh, bukankah aku tidur di atas sajadah kok bisa berpindah di kasur. Di tengah kebingungan, suara Pak Adit menyadarkan. "Ayu, apa kamu sudah sadar!" sindir Pak Adit. Seketika aku menatap Pak Adit, malu. Ya seharusnya aku segera menyahut panggilannya tadi, ini malah bingung sendiri. Kemudian aku menurunkan kaki dan duduk di tepi kasur. "Maaf, Pak! Saya ketiduran, apa ada yang perlu saya lakukan?" tanyaku sigap. "Sudah sore, kita pulang aja!" kata Pak Adit kecewa. Astaga! Sudah sore, berarti aku kelamaan tidur tapi kenapa Pak Adit tidak membangunkan aku? Melihat ekspresi Pak Adit yang masih cemberut membuatku ingin tertawa tapi mencoba tahan. "Maaf, Pak! Lain kali saya nggak tidur lagi, jujur saya capek karena baru hari pertama kerja. Mohon Pak Adit maklumi," ujarku menyatukan tan
"Suka, suka Pak! Saya senang Pak Adit jadi imam, apalagi imam rumah tangga," gurauku. Pak Adit mendelik. Oops, aku segera menutup mulut setelah mengatakan tadi. Aduh, mulut ini kenapa tak dijaga. Lihat, Pak Adit sampai ingin menelanku. "Maaf, Pak!" "Sudah, kita sholat dulu!" katanya lalu mengambil posisi imam dan melafazkan iqomat. Kami pun sholat dengan khusyuk dan tak lupa diakhir doa aku memohon pada Yang Kuasa pendamping hidup yang akan menyayangi dan menerima diriku apa adanya. Masak makan malam pun dimulai, sementara Pak Adit bersantai di ruang tengah. Jadi, jika masakan sudah selesai bisa langsung tau. Hanya butuh satu jam saja masakan selesai, Pak Adit segera bangkit dan duduk di meja makan. Seperti biasa Pak Adit mengajak makan bersama. Aku makan dengan menunduk, tak berani menatap Pak Adit takut jika terpesona aku jadi bengong lagi. Pak Adit pun tidak bicara, beliau sangat menikmati makannya. Selesai makan baru bicara. "Ayu, Minggu depan saya akan datang menghadiri pest
Usai mendengarkan cerita Pak Adit, aku melirik pergelangan tepatnya di jam tangan. Sudah malam bagaimana aku pulangnya, angkot pasti sudah sepi. "Pak, udah malam! Saya pulang dulu ya," kataku sambil beranjak bangun. "Tunggu, biar diantar Pak Budi!" ujar Pak Adit mencegah. "Nggak usah, Pak! Lagian Pak Budi juga udah pulang, biar saya naik angkot aja," jawabku menolak. "Angkot nggak ada lagi yang lewat, sudah sepi kalo terjadi apa-apa gimana? Saya nggak mau disalahkan, sudah biar saya aja yang antar," ucap Pak Adit sambil masuk mengambil jaket dan kunci mobil. Aku pun menurut lalu bersiap mengganti baju dan membawa daster untuk dicuci di rumah baru dikembalikan. Terdengar suara mobil sudah di depan rumah, gegas aku keluar dan masuk ke mobil. Pak Adit melongo melihatku. "Kenapa bajunya ditukar lagi? Kan itu sudah kotor, kenapa nggak pake daster?" "Pak, saya malu pulang kerja pake daster kalo dilihat orang nggak enak. Jadi, saya tukar lagi, nggak apa-apa kan? Nanti setelah dasterny
Aku membalas senyumannya dan masuk lift turun. Di lantai dasar lift berhenti dan pintu terbuka, aku kaget di hadapanku sudah berdiri Marissa wanita sombong itu. Tanpa menghiraukannya aku berlalu tapi tanganku dicekal. "Hei, tunggu!" Langkahku berhenti dan menoleh. "Ada apa?" "Ngapain kamu kesini lagi, hah? Mau godain calon suamiku lagi, dasar wanita gatel," ejeknya sambil menatapku tajam. "Bukan urusan kamu, lagian kamu juga ngapain kesini?" "Suka-suka hatiku dong, apa aku salah melihat calon suamiku sendiri," ujarnya sinis. "Apa, calon suami? Pak Adit aja nggak mengakui, mimpi kamu," sindirku sengaja memanas-manasi lalu melanjutkan langkah. Sudahlah, lebih baik aku pergi saja. Pak Adit pasti menungguku dan bakal marah kalo aku sampai telat. Dari belakang aku masih mendengar gerutunya "Awas kamu, kita lihat aja nanti!" Untunglah di butik tidak terlalu ramai orang, aku memilih yang pas di badan dan cocok dengan selera Pak Adit. Karyawan butik segera membungkus pesanan dan aku
Sesaat setelah memasuki restoran, Pak Adit menunjuk seorang pria sedang duduk menunggu. Kami pun berjalan menghampirinya dan setelah dekat Pak Adit berhenti lalu menyapa. "Sudah lama, Pak?" "Saya barusan sampai, Pak Adit!" jawabnya sambil bangun dan menyalami Pak Adit. Astaga, ternyata klien Pak Adit ternyata dia, batinku shock. "Mari silahkan duduk, Pak!" pinta lelaki paruh baya di depan kami. Pak Adit mengangguk kemudian menoleh padaku lalu kami pun duduk bersebelahan. Pramusaji segera datang menghampiri, untuk bertanya dan mencatat apa yang mau dipesan. "Kami pesan minuman aja, dua cappucino hangat," kata Pak Adit, aku terima saja tanpa membantah. "Nggak pesan makan, Pak Adit?" tanya lelaki itu. "Nggak, kami udah makan sebelum kesini," jawab Pak Adit menolak. Setelah pramusaji itu pergi, kembali Pak Adit bicara. "Jadi, apa yang perlu kita bahas sekarang ini?" Lelaki tua itu ingin menjawab tapi matanya kemudian melirikku. Pak Adit seolah mengerti lalu berkata. "Dia asisten
Om Haris tertawa, sepertinya Pak Adit ini sangat terkenal di mana-mana. Buktinya banyak yang meminta kerjasama padanya, tapi tidak semua yang dituruti Pak Adit. Beliau akan memeriksa dulu laporan perusahaan bagaimana yang akan disetujui untuk kerjasama. "Maaf, Pak! Boleh saya tanya?" tanyaku pada Om Haris. Pak Adit menoleh ke arahku. "Ya, silahkan!" "Apa Pak Haris mengenal Pak Gading?" tanyaku penasaran. Pak Gading adalah bos tempatku dulu bekerja. "Pak Gading, bos perusahaan barang impor? Ya saya kenal, anak saya bekerja di sana sebagai manajer. Bangga saya, dengan cepat anak saya bisa naik pangkat di sana," jawab Om Haris merasa keren. Huh, Om hanya tak tau anak gadis kamulah yang sudah memfitnahku. Kalo merasa bangga dengan kelakuannya sungguh kasian. Satu keluarga semua hidup sebagai penjilat, sungguh buah jatuh tak jauh dari pohonnya. "Kenapa, kamu kenal dengan Pak Gading?" tanya Om Haris heran. "Nggak Pak! Teman saya ada bekerja di sana, jadi saya pengen tau seperti apa b