Usai mendengarkan cerita Pak Adit, aku melirik pergelangan tepatnya di jam tangan. Sudah malam bagaimana aku pulangnya, angkot pasti sudah sepi. "Pak, udah malam! Saya pulang dulu ya," kataku sambil beranjak bangun. "Tunggu, biar diantar Pak Budi!" ujar Pak Adit mencegah. "Nggak usah, Pak! Lagian Pak Budi juga udah pulang, biar saya naik angkot aja," jawabku menolak. "Angkot nggak ada lagi yang lewat, sudah sepi kalo terjadi apa-apa gimana? Saya nggak mau disalahkan, sudah biar saya aja yang antar," ucap Pak Adit sambil masuk mengambil jaket dan kunci mobil. Aku pun menurut lalu bersiap mengganti baju dan membawa daster untuk dicuci di rumah baru dikembalikan. Terdengar suara mobil sudah di depan rumah, gegas aku keluar dan masuk ke mobil. Pak Adit melongo melihatku. "Kenapa bajunya ditukar lagi? Kan itu sudah kotor, kenapa nggak pake daster?" "Pak, saya malu pulang kerja pake daster kalo dilihat orang nggak enak. Jadi, saya tukar lagi, nggak apa-apa kan? Nanti setelah dasterny
Aku membalas senyumannya dan masuk lift turun. Di lantai dasar lift berhenti dan pintu terbuka, aku kaget di hadapanku sudah berdiri Marissa wanita sombong itu. Tanpa menghiraukannya aku berlalu tapi tanganku dicekal. "Hei, tunggu!" Langkahku berhenti dan menoleh. "Ada apa?" "Ngapain kamu kesini lagi, hah? Mau godain calon suamiku lagi, dasar wanita gatel," ejeknya sambil menatapku tajam. "Bukan urusan kamu, lagian kamu juga ngapain kesini?" "Suka-suka hatiku dong, apa aku salah melihat calon suamiku sendiri," ujarnya sinis. "Apa, calon suami? Pak Adit aja nggak mengakui, mimpi kamu," sindirku sengaja memanas-manasi lalu melanjutkan langkah. Sudahlah, lebih baik aku pergi saja. Pak Adit pasti menungguku dan bakal marah kalo aku sampai telat. Dari belakang aku masih mendengar gerutunya "Awas kamu, kita lihat aja nanti!" Untunglah di butik tidak terlalu ramai orang, aku memilih yang pas di badan dan cocok dengan selera Pak Adit. Karyawan butik segera membungkus pesanan dan aku
Sesaat setelah memasuki restoran, Pak Adit menunjuk seorang pria sedang duduk menunggu. Kami pun berjalan menghampirinya dan setelah dekat Pak Adit berhenti lalu menyapa. "Sudah lama, Pak?" "Saya barusan sampai, Pak Adit!" jawabnya sambil bangun dan menyalami Pak Adit. Astaga, ternyata klien Pak Adit ternyata dia, batinku shock. "Mari silahkan duduk, Pak!" pinta lelaki paruh baya di depan kami. Pak Adit mengangguk kemudian menoleh padaku lalu kami pun duduk bersebelahan. Pramusaji segera datang menghampiri, untuk bertanya dan mencatat apa yang mau dipesan. "Kami pesan minuman aja, dua cappucino hangat," kata Pak Adit, aku terima saja tanpa membantah. "Nggak pesan makan, Pak Adit?" tanya lelaki itu. "Nggak, kami udah makan sebelum kesini," jawab Pak Adit menolak. Setelah pramusaji itu pergi, kembali Pak Adit bicara. "Jadi, apa yang perlu kita bahas sekarang ini?" Lelaki tua itu ingin menjawab tapi matanya kemudian melirikku. Pak Adit seolah mengerti lalu berkata. "Dia asisten
Om Haris tertawa, sepertinya Pak Adit ini sangat terkenal di mana-mana. Buktinya banyak yang meminta kerjasama padanya, tapi tidak semua yang dituruti Pak Adit. Beliau akan memeriksa dulu laporan perusahaan bagaimana yang akan disetujui untuk kerjasama. "Maaf, Pak! Boleh saya tanya?" tanyaku pada Om Haris. Pak Adit menoleh ke arahku. "Ya, silahkan!" "Apa Pak Haris mengenal Pak Gading?" tanyaku penasaran. Pak Gading adalah bos tempatku dulu bekerja. "Pak Gading, bos perusahaan barang impor? Ya saya kenal, anak saya bekerja di sana sebagai manajer. Bangga saya, dengan cepat anak saya bisa naik pangkat di sana," jawab Om Haris merasa keren. Huh, Om hanya tak tau anak gadis kamulah yang sudah memfitnahku. Kalo merasa bangga dengan kelakuannya sungguh kasian. Satu keluarga semua hidup sebagai penjilat, sungguh buah jatuh tak jauh dari pohonnya. "Kenapa, kamu kenal dengan Pak Gading?" tanya Om Haris heran. "Nggak Pak! Teman saya ada bekerja di sana, jadi saya pengen tau seperti apa b
"Maaf, Pak! Tadi ada tamu yang datang, tapi beliau sudah pulang!" "Siapa?" tanya Pak Adit. "Namanya Pak Broto, Pak!" jawab sekretaris. "Oh, Pak Brotoseno ternyata," ucap Pak Adit berlalu sambil masuk kantor. Langkahku terhenti kala mendengar Pak Adit menyebut Brotoseno. Benarkah Om Seno yang kemari tadi? Lalu ada perlu apa, gumamku lirih. Pak Adit sudah masuk ke dalam kantor, aku segera mengikuti. Tampak Pak Adit sedang menelpon seseorang, tidak ingin menganggu aku pun mencari kesibukan sendiri. Sembari mencatat bahan penting di buku, aku teringat dengan masa lalu saat bekerja di perusahaan barang impor itu. Saat itu sudah menjadi tugasku untuk mengawasi barang keluar masuk. Pak Gading mempercayakan diriku sebagai kepala gudang karena penilaian serta kerjaku teliti katanya. Aku pun yang sebagai karyawan biasa menjadi sangat gembira dan menyambut dengan baik kesempatan itu. Bapak dan Ibu di kampung juga senang mendengar berita dariku. Mereka selalu mendoakan dan menasehati agar
Ya, aku tidak percaya. Sudah bertahun-tahun kerja bersamanya, Pak Gading tidak mempercayaiku tapi malah percaya sama saksi. Siapa saksi itu, mengapa dia begitu kejam telah memfitnahku. "Jawab, Ayu!" "Maaf, Pak! Saya nggak sanggup untuk mengganti kerugiannya jadi saya ikhlas kalo Pak Gading pecat saya," kataku pasrah. Aku tak mungkin bisa mengganti kerugian yang sampai miliaran itu. Uang dari mana? Gajianku sebagai manajer yang baru berjalan tiga bulan cuma ada lima juta. Sebagian sudah aku beri pada orang tua untuk biaya hidup dan juga renovasi rumah yang hampir roboh. "Baiklah, mulai hari ini kamu saya pecat tanpa pesangon. Silahkan tinggalkan ruangan saya dan pergi dari sini," usir Pak Gading. Dengan hati tersayat, aku keluar dan membereskan barang di kantor. Air mataku tumpah ruah, kenapa nasibku begini. Baru saja meraih mimpi kini sudah hancur, ya aku udah berjanji pada Ibu dan Bapak akan menaikkan mereka haji bila sudah bekerja setahun. Desi masuk ke kantor dan memelukku. "
"Sebenarnya, Marissa bukan anak kandung saya," tampik Om Seno sedih. Marissa? Anak Om Seno? Tunggu, jangan-jangan Marissa yang sering datang mengganggu Pak Adit itu anaknya Om Seno. Bukankah Om Seno bilang namanya Widya? Aku harus bertanya pada Om Seno sendiri. "Om, Marissa anak Om. Bukannya Widya?" tanyaku penasaran. "Kamu kenal dengan Marissa?" tanya Om Seno balik. "Ayu udah beberapa kali ketemu Marissa di sini, Pak Broto! Dia nggak tau kalo Marissa itu anak Pak Broto karena saya juga baru tau kalo anda itu Om nya Ayu," jelas Pak Adit menjawab. Om Seno mengangguk lalu menoleh padaku. "Ayu, nanti aja kapan-kapan Om cerita ya soal Marissa. Nggak enak kalo mengganggu Pak Adit di sini, apalagi ini kantor nggak etis bicara masalah keluarga," ucap Om Seno padaku. Aku mengangguk mengerti, kemudian Om Seno beralih pada Pak Adit. "Kedatangan saya ke sini ingin minta maaf pada Pak Adit. Karena masalah Marissa yang sudah merepotkan Anda. Tadi Mamanya Marissa menelepon saya dan marah kare
Sampai di rumah, Ibu sedang mengangkat jemuran. Melihatku pulang, Ibu segera menghampiriku sambil menenteng pakaian. "Loh, tumben kamu hari ini cepat pulang?" tanya Ibu heran. "Iya, Bu! Pak Adit mengizinkan pulang, lagian hari ini udah selesai mengerjakan pekerjaan penting," jawabku sembari melepas sepatu. "Apa itu? Pasti kamu sukses dengan masakan baru," tebak Ibu. Aku menggeleng. "Bukan, Bu! Pak Adit mengajak Ayu bertemu klien, juga mengajari Ayu bagaimana proses negoisasi dengan klien." "Benarkah? Alhamdulillah, berarti Bos kamu udah percayai kamu kerja di kantornya," ucap Ibu tersenyum. Hatiku juga senang dan ingin secepatnya bisa bekerja penuh di kantor. Banyak misi yang harus aku lakukan untuk membuat orang-orang yang sudah menghancurkan hidupku merasakan akibatnya. Setelah masuk, aku langsung mandi dan berganti pakaian. Tak sabar ingin mencoba berdandan dan eksekusi berbagai make up yang aku pinjam dari Desi. Ya, selain temu kangen aku juga meminjam alat make up Desi aga