Share

Cerai

"Maafkan Ayu, Bu! Kalo suatu saat nanti kita nggak berada di rumah ini lagi?" 

"Maksud kamu?" tanya Ibu tak mengerti. 

"Ibu masih ingat kan wanita yang kemarin udah memfitnah Ibu?" tanyaku menatap Ibu dalam. 

"Ya, memang kenapa dengan dia?" 

"Wanita itu yang akan menjadi istri kedua Mas Lucky, Ayu nggak menyangka Bu kalo Mas Lucky mengkhianati Ayu. Dia udah nggak cinta Ayu lagi!" ujarku sesenggukan. 

Ibu lalu iba dan memeluk, dielusnya punggungku lembut. "Ayu, Ibu udah tau walaupun kamu nggak ngomong apa-apa. Dari perilaku mereka semua itu sudah menampakkan mereka nggak suka sama kita. Jadi, mau kamu bagaimana Ibu akan tetap mendukungmu." 

Aku terharu mendengarnya, ah Ibu ternyata dirimu peka dan terus memberi semangat. Oleh karena itu membuatku semakin sayang dan ingin memberi kebahagiaan pada Ibu. Diusianya yang sudah tua aku harus mengurusnya dengan baik. 

Tetapi bagaimana? Aku belum menemukan caranya. Kalo pergi sekarang juga bisa saja tapi aku tidak mau balik ke kampung lagi. Lagian kalo Mas Lucky tidak menceraikan diriku tetap aku tak bisa pergi. Ya Allah, semoga saja ada jalan. 

Asyik melamun, aku tersadar setelah mendengar cekikan Maya. Mereka bertiga masuk kedalam rumah dan duduk diruang tamu. Apa Mas Lucky tidak pergi kerja kok malah menemani Maya masuk. 

Aku bangun menghampiri mereka, saat kedatanganku tak dipedulikan. Kulihat Maya duduk rapat dan menggelayut manja di samping Mas Lucky. Suamiku hanya diam menatapku. 

"Mas, kamu nggak kerja?" tanyaku masih berdiri, enggan duduk gabung mereka. 

"Lucky hari ini ijin mau menemani Maya memesan gaun pengantin. Lagian gara-gara kamu jadi terlambat kerja," jawab Mertua dengan nada ketus. 

"Kok salah Ayu? Bukankah kalian yang sibuk nyari barang hilang itu. Makanya Mas itu udah karma kamu akibat selingkuhi istri, baru mau melamar cincin udah hilang jangan nanti setelah kalian menikah si Maya yang hilang," ejekku menyindir. 

"Diam kamu, Mama udah muak melihatmu. Dari dulu Mama nggak suka sama kamu yang kampungan, sekarang malah Ibu kamu ikut kesini. Rumah ini bukan buat nampung orang miskin seperti kalian!" gerutu Mertua dengan menghina keadaanku dan Ibu. 

"Cukup, besan!" hardik Ibu tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. 

Kami semua terkejut mendengarnya, terlebih aku. Selama ini Ibu terlihat lemah dan lebih mengalah. Tapi sekarang entah kekuatan dari mana Ibu berani bersuara keras menentang mertua. 

"Selama ini saya mengalah, besan selalu mengolok-olok dan menyakiti kami karena kami miskin. Kalo besan menyakiti saya itu bisa saya maklumi tapi bila anakku terluka maka saya akan membelanya," ucap Ibu lantang. 

Aku segera memegang tubuh Ibu karena sedikit gemetar saat berkata tadi. Bagaimanapun Ibu masih belum pulih seratus persen. Mataku beralih pada mereka yang duduk terbengong. 

Baru kali ini orang miskin seperti Ibu berani menantang, mereka tak percaya. Aku sudah siap pasang badan bila mereka akan menyerang Ibu, itu karena mertua mulai bergerak bangun. 

"Ckckckck, hebat Ibumu Yu! Miskin aja berani belagu, sudah syukur aku nggak mengusir kalian. Kalo nggak kalian sudah jadi gembel di kampung. Hahahaha," ketawa Mertua jahat. 

Aku menatap Mas Lucky meminta dukungan tapi Mas Lucky seperti mengacuhkan. Mungkin dia marah saat aku mengatainya tadi. Sudahlah, semua sama saja daripada terus disini lebih baik aku bawa Ibu ke kamar. 

Baru saja membalikkan badan menuntun Ibu, terdengar suara Maya. "Ma, kami pergi dulu ya. Selain memesan gaun kami juga akan membeli cincin berlian. Yang hilang itu biarkan aja, mungkin aja diambil Ayu." 

Mendengar tuduhan Maya, secepatnya aku berbalik dan berjalan mendekatinya. Kembali menampar pipinya sampai dua kali. 

Plak, plak !! 

"Ayu, apa yang kamu lakukan!" teriak Mas Lucky. 

Plak ! Mas Lucky membalas menamparku. 

Aku terkejut, demi Maya suamiku sudah tega menamparku. Mataku memerah karena marah, Mas Lucky menatap tangannya kemudian beralih ke pipiku. Ya tamparan Mas Lucky begitu keras hingga membekas di pipiku. 

"Puas kamu, Mas? Puas, hah! Demi wanita itu kamu menamparku, katakan apa aku salah?" jeritku lalu meluncurlah air mataku keluar. 

"Kamu salah, kenapa kamu menampar pipi Maya?" tanya Mas Lucky berang. 

"Kamu kenapa membelanya, Mas? Tadi dia menuduh aku mengambil cincin berlian, kemarin memfitnah Ibu mencuri kalung. Apa aku diam aja kalo dia terus memfitnahku," ucapku dengan keras. 

Mas Lucky terdiam, dia lelaki bodoh. Tidak bisa melihat kebenaran tapi sudah dibutakan nafsu. Mertua yang melihat hanya bersedekap tangan dan tersenyum sinis. Ibu lalu memelukku dari samping dan meredakan emosiku. 

"Lucky, kamu ceraikan aja Ayu! Nggak ada guna dia terus disini. Lagian Maya lebih cantik dan pantas untukmu. Mama juga tak perlu lagi melihat wajah kampungan mereka, bosan dan muak Mama," titah Mertua yang tidak kuduga. 

"Iya, Tante benar Mas! Kalo Ayu pergi, kan kita lebih bebas nggak perlu Mas sembunyi lagi. Aku akan memuaskan Mas tiap malam," rayu Maya manja tapi membuatku jijik. 

"Baiklah, Mas juga pusing dirumah ini selalu ribut. Ayu, Mas talak kamu dengan tiga talak sekaligus. Mulai sekarang kamu bukan istriku lagi," lantang Mas Lucky berucap talak. 

Air mataku lolos kembali, tungkai terasa lemas. Ibu menguatkan tubuhku yang hampir terjatuh. Benarkah yang aku dengar barusan? Mas Lucky akhirnya menceraikan diriku dan status janda kini menjadi gelar baruku. 

Setelah aku kuat lalu memandangi mereka satu persatu. Mas Lucky dengan wajah bersalah, Maya yang lagi tersenyum lebar dan pura-pura mengusap pipinya yang aku tampar sedangkan mertua memasang wajah angker. 

"Dengar kamu, Maya! Walaupun aku cuma wanita kampung tapi aku masih lebih mulai dari dirimu yang pelakor dan tukang fitnah serta pencuri. Hari ini kamu bisa senang dan tertawa tapi aku jamin suatu saat nanti kamu juga akan merasakan hal yang sama sepertiku, cam kan itu!" 

"Dan kamu Mas Lucky, kamu pikir cuma kamu laki-laki di dunia ini? Ayu bisa mendapatkan yang lebih baik darimu dan jika saat itu kamu melihatnya, ku pastikan Mas akan menyesal seumur hidup," kataku beralih beralih pada lelaki yang baru saja menjadi mantan suamiku. 

"Teruntuk Mama Ratna, cukup sekali ini aku memanggilmu Mama. Kita lihat apakah Mama masih sombong dengan kekayaan Mama dan masih bisa menghinaku kelak. Jangan sampai keadaan terbalik nanti lalu Mama akan merasakan penderitaan seperti Ibuku," kataku sinis. 

Mereka semua terbengong dengan ultimatum yang kuberikan. Entah dari mana rasa percaya diriku mengatakan ini pada mereka. Tetapi, aku hanya yakin bahwa hidupku akan berubah suatu saat nanti. Tiba hari itu aku akan membalas perbuatan kalian! 

~~~~~ 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status