Share

BAB 7

Tok Tok Tok!

"Nak! Bangun, ini sudah jam berapa? Ayo cepatan!" Jawab seorang Perempuan, yang dari tadi berteriak dibalik pintu, ia tidak sabar untuk melihat Calon Menantunya yang cantik, yang akan berdampingan dengan Anak tunggalnya nanti.

"Bagaimana Mi? Adit sudah keluar?" Jawab Rangga, sambil melipat lengan baju ke pergelangan tangan dan mengancingnya.

"Papi bagaimana sih? Papi budek ya? Orang dari tadi mami teriak-teriak kenceng, ya berarti itu anak belum keluar" Ucapnya, dengan nada kesal.

"Adit! Ayo cepatan! Nanti terlambat loh!" Jawab Rangga, sambil menggedor-gedor pintu kamar Adit.

Sedangkan di  dalam kamar, Adit terganggu dengan tidurnya. Lantas, Adit bangun sambil berjalan mendekati pintu, saat sudah di depan pintu lantas Adit membukanya.

"Apaan sih Pi, Mi pagi-pagi sudah ribut saja, telinga Adit sampai sakit tahu!" Ucapnya, dengan nada kesal sembari menguap, ditambah matanya yang masih mengantuk.

Lantas tak lama, Gina menjewer telinga anaknya, ia sudah kehabisan kesabaran terhadap anaknya. Bisa-bisanya Gina melahirkan anak yang tidak peka seperti itu? Apakah dia mengikuti sifat Papinya? Hah, tidak mungkin apakah jangan-jangan dia bukan anak kandungnya? Hahaha! Tentu saja bukan seperti itu juga. Orang dia yang melahirkan, mengurusinya sampai besar. Serta banyak kemiripan wajah dengannya.

"Aw!" Teriak Adit, yang dari tadi kesakitan. Karena dijewer oleh sang maminya.

"Mami apa-apaan sih, sakit tahu!" Lanjutnya, sambil mengelus-ngelus telinganya yang merah itu.

"Makanya! Jangan pura-pura lupa! Ini kan hari tunanganmu" Jawab Gina, dengan nada kesal sambil menonyor jidat anaknya.

"Memang ini hari apa sih?" Jawabnya, yang kebingungan.

"Ini kan hari tunanganmu! Kamu budek? Tadi kan Mami sudah ngomong, hari ini hari tunanganmu! Sejak kapan anak papi budek?" Jawab Rangga, yang dari tadi menahan emosinya. Kenapa anaknya tiba-tiba jadi oon begini? Apakah karena pura-pura? Apakah gara-gara mau tunangan jadi oon begini?.

"Hm, kenapa sih Pih? Bukan besok saja" Ucapnya, dengan nada memelas.

"Oh tidak, tidak bisa!" Jawab Gina.

"Pokoknya, sekarang ganti bajumu, dan berangkat!" Cetus Rangga.

"Oke-oke, Adit mandi dulu" Ucapnya.

"Tidak usah mandi, langsung ganti baju saja, soalnya sudah mau terlambat" Kata Rangga.

Lantas Adit pun, langsung masuk ke kamar untuk mengganti baju, yang semula memakai kaos polos serta celana pendek, sekarang ganti memakai jas dan celana panjang, sambil memakai dasi hitam. Sesudah memakai baju serta merapikannya, Adit pun langsung bergegas keluar menuju mobilnya. Tiba-tiba, Adit tersentak kaget, ia kaget karena ada roti buaya di atas mobilnya.

"Mengapa ada roti buaya di atas mobil segala? Dan itu pun besar sekali" Gumamnya dalam hati.

"Uluh-uluh, ganteng banget Anak Mami" Kata Gina, sambil tersenyum senang. Serta matanya tertuju pada Anaknya yang tampan itu.

"Mih? Kenapa ada roti buaya segala sih? Terus besar banget lagi" Ucapnya, dengan nada kesal. Karena, Adit malu kalau membawa roti buaya terlalu besar. Memang itu tradisi orang betawi sebab Dia orang sana.

"Ini kan tradisi kita sayang" Jawab Gina, sambil mengelus-ngelus rambut Anaknya.

"Boleh sih bawa roti buaya, tapi? Ya jangan kek begitu juga kali Mi, jangan terlalu besar kan ada yang ukuran kecil?" Kata Adit.

"Ini ide Kawanmu! bukan idenya Mami sama Papi" Sahut Rangga, yang dari tadi mendengarkan percakapan Anak dan Ibunya.

"Dasar itu Anak ikut-ikutan terus sih!" Gumam Adit, sembari matanya mencari-cari kedua Teman bangsatnya tersebut. Namun, disisi lain Gara dan Aji sudah menyadarinya, pasti Adit akan marah besar. Karena, sudah mencampuri urusannya. Lantas, kedua Orang tersebut langsung bersembunyi di belakang jok mobil sambil melihat jendela mobilnya.

"Loh si, mangkanya Gue kan sudah bilang? Jangan ikut-ikutan urusan Dia" Jawab Aji, sambil menonyor bahu Gara, yang dari tadi masih mengintip kaca mobil.

"Ya Gue kan sebagai Sahabatnya, Gue mau bantu dialah bagaimana sih?" Ucapnya, dengan nada santai.

"Ia sih memang tapi, jangan kek begitu juga kali" Balas Aji, sambil pasrah.

Saat Adit masuk mobil, Adit langsung memencingkan mata ke arah kedua Sahabatnya, Dan langsung duduk berdampingan dengan Gina.

"Wih asyik nih! Bentar lagi ada yang temani tidur bareng ya, enak dong" Sindir Gara, kepada Adit sambil  matanya menuju ke arahnya.

"Heh! Baru tunangan bukan kawin" Lanjut Aji.

"Eh, bukanya kawin kalau buat tanam bibit ya?" Sindir Gara lagi.

"Eh ia maksudnya nikah, maaf ya sengaja keceplosan" Jawab Aji, sambil kedua tangan menutupi mulutnya.

Disisi lain, Rangga dan Gina cuman bisa tertawa. Saat, mendengarkan kedua ocehan teman Adit yang suka asal bicara. Tetapi, beda dengan Adit di mana, muka Adit yang sudah memerah sembari menahan amarahnya. Karena, Sahabatnya yang selalu menyindirnya.

Disisi lain, di tempat rumah tunangan Wanitanya.

"Eh Caca, Dewi bagus tidak" Ucap Eca, sambil membalikkan tubuhnya menghadap ke arah kedua Sahabatnya .

"Ya elah, malah marah banget kalian berdua!" Ucapnya lagi.

"Ya Elo, mau tunangan tidak bilang-bilang" Kata Dewi sembari muka ditekuk.

"Iya, Loh mah tidak kompak sama kawan sendiri, harusnya bilang kalau Loh mau tunangan kan pasti Gue buatkan kado buat Loh Nyet!" Lanjut omongan Caca.

"Iya-iya Gue minta maaf, Gue salah, soalnya ini juga dadakan. Pas saat pulang malam Bunda Gue suruh Gue pakai baju ini. Katanya buat acara tunangan Gue, pas Gue pertama menolak karena mau di tunangkan. Tapi, saat bunda Gue ngomong karena wasiat almarhum. Ayah, Gue harus tunangan sama anak temannya Ayah Gue, ya sudah Gue mau secara terpaksa.

"Ya sudah Gue maafkan, tapi? Lain kali cerita sama Kita!" Kata kedua Sahabatnya.

"Iya janji Bos!" Sahut Eca, sembari mengangkat jari kelingking keduanya dan melingkarkan jari kelingking dengan Sahabatnya sambil tersenyum ceria.

"Eh, ngomong-ngomong Lo cantik, pakai gaun itu" Ucap salah satu sahabat Eca, Sambil memegang gaun yang Eca pakai.

"Thanks Sayang, memang sih Gue tahu kalau Gue cantik" Jawabnya, dengan mengibaskan rambutnya yang panjang berwarna hitam pekat.

"Ye, baru dibilang cantik sudah geer banget" Jawab Caca dengan nada meledek.

Sontak Caca, Eca dan Dewi tertawa bersama dengan gembiranya. Namun, dibalik pintu ada Wanda, yang sedang menguping percakapan Mereka, sambil tersenyum getir. Sebab, Wanda tak tega kalau Anak tunggalnya, yang masih berumur 19 tahun. Sudah harus dijodohkan. Padahal, umur yang masih tergolong Remaja, biasanya sedang mencari jati dirinya. Tapi dia berbeda, karena harus berurusan tentang perjodohan. Karena wasiat almarhum. Ayahnya sebelum meninggal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status