Share

Part 2. Terkena air panas.

Bergegas, aku menuju ke kamarnya. Terlihat baju yang dia kenakan sudah basah. Pasti dia baru saja muntah. Bahkan bantal dan selimut yang dikenakan pun, juga ikut basah.

Aku lekas membuka bajunya. Mengelap bekas muntahannya. Namun ternyata rasa lengket itu masih tetap ada.

"Raya, Mama ke dapur dulu, ambil air hangat, ya?"

Gadis kecilku itu mengangguk lemah. Sudut matanya terlihat basah, tatapannya terlihat tidak bergairah.

Bergegas aku menuju ke dapur, ingin mengambil termos yang berisi air panas. Rencananya aku ingin mengompresnya, agar badannya bersih dari cairan muntahannya.

Namun baru saja termos itu kudapatkan, tangisan Raya sudah terdengar semakin kencang. Aku mencoba berjalan dengan cepat. Menerka-nerka jalan dalam dalam keadaan gelap.

Satu tangan kananku menjinjing termos, sementara satu tanganku lagi memegang panci plastik yang akan kugunakan untuk mencampur airnya. Agar tidak terlalu panas, nantinya.

"Sebentar Sayang, sabar, ya?"

Raya bukan tipe anak yang rewel, biasanya. Jika sedang masuk angin atau tidak enak badan, biasanya dia hanya akan tiduran sambil menonton tv, tanpa sedikit pun memperlihatkan tangisan. Namun kali ini keadaannya berbeda. Sedikit sedikit, Raya akan menangis.

Begitu sampai di kamar, aku segera membuka tutup termos, dan menuangkan isinya ke dalam panci.

"Awww!"

Aku menjerit. Tiba-tiba saja, kakiku terasa sangat panas. Air yang ada di dalam termos, ternyata bukannya tertuang ke dalam panci. Namun justru mengalir ke kaki.

Dalam sekejap mata, kakiku sudah tampak memerah. Rasa perih dan panas pun kian menjalar, ke seluruh tubuh.

"Mama ...."

Melihatku kesakitan, gadis kecilku itu tertatih, turun dari ranjang, mendekat ke arahku. Tangan kecil yang suhunya di atas normal itu, mengusap wajahku. Kemudian kepalanya turun ke bawah, meniup kakiku.

"Raya minta maaf ...." ucapnya lirih, sembari terus meniup kakiku. Mendengar permintaan maaf dari gadis kecilku, seketika hatiku menjadi pilu.

Seketika dadaku terasa perih. Tidak tahu sebabnya, kenapa aku menjadi sedih.

"Tidak apa-apa. Mama baik-baik saja. Raya tidak bersalah. Tidak perlu meminta maaf. Yang penting kamu cepat sembuh ya, Nak?" Aku berbicara sambil berusaha menahan diri, agar air mata ini tidak jatuh ke pipi. Aku tidak ingin, bidadari kecilku ini melihatku menangis.

Sungguh, memandang anak yang tengah sakit seperti ini, hatiku sangatlah bertambah sakit. Jika pun bisa, rasanya aku ingin bertukar rasa. Biar saja aku yang merasakan sakitnya, asalkan putriku tetap sehat dan ceria.

Aku kembali menuang air panas itu ke dalam panci. Kemudian kukompreskan ke tubuh gadis kecilku.

Setelah kurasa tubuhnya bersih, aku segera memakaikan pakaian yang bersih, dan mengganti sprei motif Doraemon dengan sprei motif berwarna ping, bermotif kuda poni. Sarung bantal pun juga kuganti dengan corak dan warna yang senada.

Panas badannya belum turun juga. Padahal obat dari dokter, sudah kuberikan sesuai dengan dosis dan waktunya.

Tadi pagi dokter bilang, jika obatnya sudah habis, tapi panasnya belum turun juga, maka kami harus kembali ke sana. Sejauh ini aku hanya mengikuti instruksinya.

"Mama, dingin ...."

Di sinilah aku merasa dilema. Tadi dokter sempat berpesan. Jika panasnya tinggi, maka harus dipakaikan pakaian yang tipis saja. Tapi kini Raya mengeluh kedinginan. Padahal suhu badannya masih kepanasan.

Akhirnya kucarikan dia selimut yang tipis, untuk menutupi tubuhnya. Kemudian gadis kecilku itu kembali memejamkan matanya. Nafasnya yang lembut beraturan, menandakan dia sudah tertidur dengan lelapnya.

Lekas aku ikut membaringkan tubuhku di sampingnya. Aku sengaja tidur di kamarnya. Meluruskan pinggangku yang terasa begitu pegal. Kupeluk Raya, sambil melafalkan doa-doa.

Ucapan suamiku tadi, terngiang-ngiang di cerukan kepala. Atasanku meninggal dunia, istrinya pasti sedang sangat berduka, aku harus segera ke sana. Istrinya pasti sangat syok, istrinya pasti sangat terpukul. Jika bukan aku, siapa yang akan menguatkan istri dan anaknya?

Ah, kenapa aku merasa kata-kata itu begitu janggal? Seperti tidak pas, seperti tidak semestinya, seperti tidak pantas.

Karena lama mata ini tidak mau terpejam juga, akhirnya aku pun beranjak dari tidurku, membuka ponselku untuk sekedar mencari hiburan.

Baru saja ponsel kubuka, aku sudah langsung disuguhkan dengan postingan seseorang yang melewati beranda.

Sebuah foto yang menunjukkan wajah suamiku, tengah duduk bersisihan dengan perempuan yang memakai pakaian serba hitam.

Mereka terlihat saling menatap, dengan tatapan seperti sepasang insan yang sama-sama saling memendam keinginan.

Bahkan saat kubaca caption yang menyertainya, aku justru dibuat lebih ternganga.

[ Gaskeun, jangan kasih kendor. Setelah resmi menjanda, langsung jadikan istri kedua.]

Kulihat dengan seksama, siapa yang membuat postingan seperti ini. Bukan akun suamiku. Bahkan foto profil dan namanya, aku tidak mengenalinya.

Postingan ini bisa melewati berandaku, karena dia menandai akun suamiku. Tapi siapa, dia?

Karena penasaran, aku pun lekas keluar dari aplikasi biru, beralih ke aplikasi hijau. Kulakukan panggilan video pada suamiku.

Berkali-kali aku mencoba menelponnya, namun tidak diangkatnya. Padahal biasanya dia tidak pernah mengabaikan telponku.

Tidak putus asa, aku pun kembali menelponnya. Terhubung, dan beberapa saat kemudian menjadi tersambung.

"Assalamualaikum, Mas ...."

"Waalaikum salam ... kenapa?" Dia bertanya dari seberang.

"Mas, maaf. Aku mau bertanya perihal postingan seseorang ...." Aku sebenarnya ragu, mau bicara tentang hal ini.

"Postingan apa?" tanya dia lagi.

"Sebentar ya, Mas? Aku kirimkan."

Aku pun lekas mematikan panggilan ponselku. Kemudian kirimkan foto postingan yang tadi telah ku screenshot itu.

Foto yang kukirim pun terlihat centang dua berwarna biru.

Satu detik kemudian, terlihat dia sedang mengetik. Dan pesan balasan pun langsung terpampang di layar ponsel pintarku.

[Oh, itu hanya orang iseng, Sayang. Jangan dipikirkan. Bu Reina itu seleranya tinggi. Dia maunya pasti dengan para lelaki kaya. Bukan lelaki sepertiku. Kamu jangan berfikiran aneh-aneh. Kalau sampai beliau tahu pikiran kamu yang aneh-aneh itu, aku yang malu. Bahkan bukan hanya malu. Namun karirku juga bisa terancam.]

Setelah pesan itu kuterima, kemudian di bawah nama profilnya yang tadi tertulis online, kini tulisan itu telah hilang, dan berganti dengan tulisan terakhir kali dilihat pukul sekian.

Kucoba melakukan panggilan video, ingin melihat apakah dia masih duduk berhimpitan dengan perempuan itu atau tidak, ternyata panggilanku sudah tidak bisa terhubung.

Kembali lagi aku melihat aplikasi biru. Postingan yang baru saja menandai akun suamiku, kini sudah tidak terlihat lagi.

*****

Mataku terasa kian berat, ingin terpejam. Namun rasa panas di kakiku, membuatku merasa sangat tidak nyaman. Apalagi jika mengingat tentang postingan yang menampilkan foto suamiku bersama istri atasannya itu. Sungguh, hal itu sangatlah mengganggu jiwaku. Penjelasannya yang dia bilang itu hanyalah pekerjaan orang iseng, tidak bisa kuterima begitu saja.

Paginya, sebelum adzan subuh berkumandang, aku sudah

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status