POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
POV. AnjaniAku mengenal salah satu dari wanita itu. Dia adalah istrinya Pak Arman, atasan suamiku.Seketika, amarah pun mulai menguasai jiwa. Menghentak-hentak, menabrak-nabrak dinding sukma. Dia yang begitu kami tunggu kepulangannya, ternyata justru ada di sini, bersama anak dan istri atasannya.Apalagi jika mengingat noda merah di dadanya itu. Aku menjadi berfikir, apakah noda itu adalah hasil perbuatan perempuan itu?"Anjani, kamu kenapa ada di sini?" Kudengar, lelakiku yang telah memberiku satu anak itu, bertanya seperti itu."Harusnya aku yang bertanya, Mas, kenapa kamu ada di sini!" Aku menjawab pertanyaannya sembari terus berjalan menuju ke loket pendaftaran."Ini, a--aku membawa anaknya Pak Arman. Dia dem--" Dengan suara terbata, lelaki yang biasanya terlihat berwibawa itu, berusaha menjelaskan kepadaku. Namun aku segera memotong ucapannya. Tidak sudi diri ini mendengar alasannya."Cukup, Mas. Aku tidak sudi mendengarnya. Simpan saja ceritamu. Bagiku Raya lebih penting dari s
POV. AnjaniTidak salah lagi. Dalam sepersekian detik aku melirik, aku melihat kakinya kian maju ke arahku."Anjani, bagaimana keadaan Raya?"Aku memilih diam. Toh dia juga bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan putrinya saat ini."Anjani, aku minta maaf, jika perbuatanku tidak berkenan di hatimu. Aku harap kamu bisa mengerti. Mereka sedang berduka. Istrinya Pak Arman sangat down, hingga tidak bisa mengurus putrinya. Dan kebetulan, saat aku hendak pulang dari tahlilan, anaknya Pak Arman tiba-tiba saja pingsan. Demam tinggi. Karena merasa tidak tega, aku pun menawarkan bantuan. Percayalah. Apa yang aku lakukan, itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Wujud dari bakti seorang bawahan kepada atasannya. Bukan karena ada hal yang lainnya. Pak Arman itu adalah mantan atasanku. Karena beliau, aku bisa bekerja di tempat yang sekarang. Bisa memiliki gaji yang lumayan besar, bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Rasanya tidak etis saja, jika setelah bel
"Sayang, aku harus segera pergi!" Setelah mendapatkan telpon dari seorang perempuan, suamiku itu mendadak menjadi seperti orang kebingungan. Kemudian pergi ke luar rumah dengan langkah yang tergesa, seperti ada sesuatu yang harus dikejarnya. Bahkan tanpa mencium keningku seperti biasanya.Terseok-seok aku mengikutinya, karena aku masih menggendong Raya, gadis kecilku yang sedang demam tinggi."Papa jangan pergi. Raya mau tidur ditemani Mama sama Papa ...."Putriku yang tadi sudah hampir saja memejamkan mata, kini mendadak kembali membuka matanya, begitu mendengar bahwa papanya akan pergi meninggalkannya."Papa .... Papa ...."Raya mengeluarkan tangannya dari dalam gendonganku. Kedua tangannya menggapai-gapai ke udara, berharap papanya akan menyambutnya.Namun jangankan menyambut uluran tangan putrinya. Bahkan suamiku itu lebih memilih mendekati kendaraan besinya."Raya jangan rewel. Jangan nakal. Nanti Papa pulang, kalau urusan Papa sudah selesai." Mas Abi terlihat menekan tombol kun
Bergegas, aku menuju ke kamarnya. Terlihat baju yang dia kenakan sudah basah. Pasti dia baru saja muntah. Bahkan bantal dan selimut yang dikenakan pun, juga ikut basah.Aku lekas membuka bajunya. Mengelap bekas muntahannya. Namun ternyata rasa lengket itu masih tetap ada."Raya, Mama ke dapur dulu, ambil air hangat, ya?"Gadis kecilku itu mengangguk lemah. Sudut matanya terlihat basah, tatapannya terlihat tidak bergairah.Bergegas aku menuju ke dapur, ingin mengambil termos yang berisi air panas. Rencananya aku ingin mengompresnya, agar badannya bersih dari cairan muntahannya.Namun baru saja termos itu kudapatkan, tangisan Raya sudah terdengar semakin kencang. Aku mencoba berjalan dengan cepat. Menerka-nerka jalan dalam dalam keadaan gelap.Satu tangan kananku menjinjing termos, sementara satu tanganku lagi memegang panci plastik yang akan kugunakan untuk mencampur airnya. Agar tidak terlalu panas, nantinya."Sebentar Sayang, sabar, ya?"Raya bukan tipe anak yang rewel, biasanya. Jik
Paginya, sebelum adzan subuh berkumandang, aku sudah terbangun. Kulihat lampu sudah kembali menyala, lilin yang semalam pun sudah habis tidak bersisa.Aku lekas menjulurkan kakiku, hendak turun dari ranjang. Namun aku justru dikejutkan dengan keadaan kakiku yang melepuh, berwarna merah kehitaman. Seperti ada banyak air yang tergenang di dalam kulitnya.Dan rasanya, jangan ditanyakan. Panas bercampur perih, juga seperti ada rasa gatal yang tidak tertahankan.Jika pun disuruh memilih, rasanya aku ingin berbaring saja, apa-apa tinggal minta. Tapi tentu saja, hal itu tidak akan bisa. Aku hanya bersama Raya saja. Tidak ada yang bisa kumintai tolong apa-apa. Meski rumah ibu mertua bersebelahan, namun tidak mungkin juga di pagi buta seperti ini aku akan membangunkannya. Apalagi mengingat ibu mertuaku yang sepertinya tidak begitu menyukaiku. Jangankan mau membantuku. Yang ada, nanti dia hanya akan kembali mengolok-olok penampilan dan pekerjaanku.Akhirnya, dengan pelan dan hati-hati, aku pun
"Raya, Papa pulangnya masih nanti. Raya sarapan dulu. Nanti kalau Papa sudah pulang, boleh, jika Raya pingin disuapi sama Papa.""Kenapa Papa belum pulang? Bukankah Papa harus pergi bekerja? Bagaimana Papa akan punya uang, jika Papa tidak bekerja? Bukankah semuanya itu, harus dibeli dengan uang?" Kalimat yang kemarin-kemarin sering diucapkan untuk memberi pengertian pada anakku, kini berbalik ke arahku."Sebentar lagi Papa juga pulang, asal Raya mau makan dan minum obat ...." bujukku."Kalau begitu, Raya mau makan sambil video call Papa. Biar Papa melihatnya. Biar Papa cepat pulang.""Ok, boleh, kok! Video call, sambil makan yang banyak, ya? Biar Papa senang melihatnya!"Aku lekas memberikan ponselku pada Raya. Gadis kecil itu terlihat mengusap-usap layarnya. Saat dia sedang fokus pada ponselnya, aku mengambil kesempatan memberikan satu suap menu sarapan ke mulutnya.Namun tidak lama kemudian, aku mendengar Raya berteriak."Papa, sedang menggendong siapa?!"Raya menjerit dengan begitu
Dengan cekatan, aku segera menyiapkan air hangat untuk memandikan anakku. Setelah semuanya siap, segera kuambil Raya dari pangkuan ibu mertuaku, untuk kumandikan. Ibu mertua pun pulang ke rumah sebelah.Setelah mandi, suhu badannya Raya sudah agak mendingan. Tidak sepanas tadi malam. Bahkan, kuraba-raba, suhu badannya terasa seperti normal.Aku pun lekas menyuapinya. Lumayan, sarapan pagi ini bisa termakan separuhnya. Obat pun kemudian kuberikan."Raya mau nonton tv?" Aku sudah menyalakan tv, memilih channel kesukaan anakku."Matikan saja tv-nya, Ma. Raya mau melukis. Sudah dua hari Raya tidak melukis."Masyaallah, putriku yang belum sehat benar, ternyata sudah ingin memulai rutinitasnya. Dia memang tipe anak yang penuh semangat. Selain hobi melukis, Raya juga sedang belajar membaca dan berhitung. Kecerdasan Raya, terlihat lebih menonjol, jika dibanding dengan anak-anak seusianya."Raya, tidak usah belajar dulu tidak apa-apa. Nanti kalau Raya sudah sembuh, Raya mulai belajar lagi." Ak