Share

VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU
VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU
Penulis: Enik Yuliati

Part 1. Ditinggal pergi.

"Sayang, aku harus segera pergi!" Setelah mendapatkan telpon dari seorang perempuan, suamiku itu mendadak menjadi seperti orang kebingungan.

Kemudian pergi ke luar rumah dengan langkah yang tergesa, seperti ada sesuatu yang harus dikejarnya. Bahkan tanpa mencium keningku seperti biasanya.

Terseok-seok aku mengikutinya, karena aku masih menggendong Raya, gadis kecilku yang sedang demam tinggi.

"Papa jangan pergi. Raya mau tidur ditemani Mama sama Papa ...."

Putriku yang tadi sudah hampir saja memejamkan mata, kini mendadak kembali membuka matanya, begitu mendengar bahwa papanya akan pergi meninggalkannya.

"Papa .... Papa ...."

Raya mengeluarkan tangannya dari dalam gendonganku. Kedua tangannya menggapai-gapai ke udara, berharap papanya akan menyambutnya.

Namun jangankan menyambut uluran tangan putrinya. Bahkan suamiku itu lebih memilih mendekati kendaraan besinya.

"Raya jangan rewel. Jangan nakal. Nanti Papa pulang, kalau urusan Papa sudah selesai." Mas Abi terlihat menekan tombol kunci mobilnya. Mobil yang sedari sore sudah terkunci, kini mengedipkan lampunya.

"Memangnya ada apa, Mas? Anakmu saja sedang sakit. Bagaimana jika nanti malam dia menanyakanmu?"

Aku semakin kewalahan, karena Raya semakin memberontak dari gendongan. Keringatnya mengucur deras, diiringi dengan suara tangisan yang semakin keras.

"Mas, lihatlah anakmu. Dia tidak mau ditinggal pergi!" Aku berteriak sekali lagi.

"Atasanku meninggal dunia, Anjani! Apakah pantas, jika aku datangnya besok pagi? Istrinya sangat berduka. Dia sangat syok. Siapa lagi yang akan menguatkan istri dan anaknya, jika bukan aku?"

Siapa yang akan menguatkan istri dan anaknya, dia bilang? Kenapa kata-kata itu terdengar aneh? Memangnya istrinya atasannya itu, siapanya Mas Abi? Kenapa harus suamiku yang menguatkan?

"Innalilahi wa innailaihi rajiun .... Siapa yang meninggal, Mas? Atasan Mas yang mana?" tanyaku kemudian.

"Pak Arman!" Dia langsung masuk ke mobilnya.

"Pak Arman yang sudah tua, tapi istrinya masih muda, cantik dan wanita karir itu?" Tiba-tiba saja, Ibu mertua berteriak dengan keras, dari teras rumahnya yang bersebelahan dengan rumah yang kutempati. Mungkin sedari tadi beliau sudah mendengar percakapan kami.

"Iya, Bu. Kasihan sekali. Istrinya pasti sangat terpukul. Saat Pak Arman masih sakit saja, istrinya itu sering bilang, katanya dia sudah tidak kuat."

Aku semakin tidak mengerti dengan arah bicara laki-laki yang kini telah menutup pintu mobilnya itu. Sudah tidak kuat, katanya? Apa maksudnya?

Suamiku sungguh seperti sudah menjadi orang yang berbeda. Tangisan Raya tidak dipedulikannya. Dia memilih pergi menguatkan istri atasannya.

Mobil pun melaju dengan cepat keluar dari halaman, seiring dengan rasa hatiku yang tiba-tiba saja merasa kehilangan.

Aku merasakan firasat buruk. Entah itu apa, aku tidak tahu.

"Sabar Raya, ya? Nanti Papa pulang. Raya anak baik, Raya anak manis. Tidak boleh menangis ...." Kugoyangkan tubuh Raya dengan pelan, agar dia merasa nyaman.

"Anjani, kamu tentu tahu kan, siapa Pak Arman?" tanya Ibu mertua kemudian.

"Iya, Bu. Beliau adalah atasannya Mas Abi," jawabku.

"Dan kamu pernah melihat, istrinya itu seperti apa?"

"Pernah melihat sih, Bu, ketika dia ulang tahun, Mas Abi pernah diundang. Dan Mas Abi mengajakku untuk datang ke sana."

Sambil menjawab pertanyaan Ibu, aku jadi teringat ketika beberapa bulan yang lalu menghadiri acara ulang tahunnya. Perempuan itu memakai dress panjang tanpa lengan, dengan belahan dada yang sangat rendah, dan belahan kaki yang sangat tinggi. Sehingga bagian dadanya terlihat menyembul, sementara bagian bawahnya hampir terlihat celana dalamnya.

"Cantik sekali, kan? Sudah seperti artis ibu kota. Cantik, seksi, dan karirnya cemerlang. Dia konon bekerja di sebuah bank besar." Ibu mertua bercerita dengan begitu bangga. Seolah-olah dia sedang menceritakan anaknya.

"Anjani. Kamu itu harusnya bisa mencontoh perempuan modern seperti dia. Dandan yang cantik, dengan pakaian yang modis seperti dia. Agar suamimu itu tidak malu, jika mengajakmu datang ke acara-acara. Juga sebaiknya carilah pekerjaan yang bergengsi seperti istrinya Pak Arman itu. Bukan seperti kamu. Hanya menjadi guru. Guru SD, pula. Mending kalau jadi dosen, bisa dibangg--"

"Mohon maaf ya, Bu. Semua orang itu punya pilihan yang berbeda. Saya tidak merasa malu meskipun hanya menjadi guru SD. Pekerjaan saya adalah pekerjaan yang mulia. Dan perihal berpakaian, memang seharusnya perempuan muslim itu harus menutup aurat. Bukan malah auratnya diumbar ke mana-mana seperti perempuan yang sedang Ibu ceritakan!"

Kubawa Raya kembali masuk ke dalam, sebelum Ibu mertua berceramah panjang lebar. Mending jika ceramahnya itu menuntun kepada kebenaran. Kebanyakan, justru menyesatkan. Entah sudah berapa kali saja beliau mencela pakaianku, juga merendahkan pekerjaanku. Padahal pakaianku juga bersih, wangi dan bukan pakaian murahan.

Pekerjaanku, meski hanya guru SD, namun aku mengajar di sekolah yang bagus, sekolah yang mahal. Tidak mudah untuk bisa mengajar di sekolah itu. Harus melewati proses yang panjang, juga persaingan yang sangat ketat.

Perihal perempuan yang baru saja dipuji setinggi langit oleh ibu mertua, aku juga tahu penampilannya seperti apa. Setiap aku bertemu dengannya, pasti dia selalu mengenakan pakaian seksi dan cenderung terbuka.

Hingga isi dadanya selalu terlihat bergoyang-goyang, seolah melambai-lambai meminta untuk dibelai. Perempuan seperti itu, yang dibanggakan oleh ibu mertuaku.

*****

Hujan yang sangat deras, di tambah suara petir yang menggelegar bersahut-sahutan, juga kilat yang saling sambar menyambar, membuat malam ini terasa begitu mencekam. Ditambah lagi listrik yang tiba-tiba saja menjadi padam.

Aku di rumah seorang diri, hanya bersama anak yang sedang demam tinggi.

Sempurna sudah. Hatiku dilanda gelisah. Rasaku kian gundah.

Dengan pelan, aku berjalan mencari di mana ponsel kuletakkan. Setelah benda pipih itu kutemukan, aku lekas mengambil lilin, dan kemudian menyalakan.

Cahaya remang-remang pun mulai menerangi kamar. Meski tidak seterang lampu kamar, namun setidaknya aku bisa melihat, mana pintu, mana lemari dan mana ranjang.

Kuletakkan Raya dengan pelan, di kamarnya. Pelan sekali aku meletakkannya. Jangan sampai anak yang baru saja tertidur ini, terjaga dan menanyakan papanya. Bisa gawat jika sampai dia terbangun dan menangis, akan susah menenangkannya.

Begitu anak itu lepas dari gendonganku, seketika aku merasa lega. Pundak yang sedari Maghrib tadi menahan beban seberat lima belas kilogram, kini telah merasa ringan.

Aku segera mengambil air wudhu dan menunaikan kewajiban. Sudah jam sepuluh malam, namun baru sekarang bisa shalat isya. Sejak tadi Raya rewel. Mungkin karena suhu badannya yang panas, anak itu jadi tidak mau turun dari gendongan.

Selesai shalat isya, rencananya aku akan membaca Alquran meski hanya sebentar. Namun baru saja kitab suci itu kubuka, aku sudah mendengar tangisan Raya. Akhirnya, Alquran pun kembali kuletakkan di tempat semula, sebelum suara tangisan Raya bertambah volumenya.

Bergegas, aku menuju ke kamarnya. Terlihat ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status