Share

Part 3. Harus bagaimana?

Paginya, sebelum adzan subuh berkumandang, aku sudah terbangun. Kulihat lampu sudah kembali menyala, lilin yang semalam pun sudah habis tidak bersisa.

Aku lekas menjulurkan kakiku, hendak turun dari ranjang. Namun aku justru dikejutkan dengan keadaan kakiku yang melepuh, berwarna merah kehitaman. Seperti ada banyak air yang tergenang di dalam kulitnya.

Dan rasanya, jangan ditanyakan. Panas bercampur perih, juga seperti ada rasa gatal yang tidak tertahankan.

Jika pun disuruh memilih, rasanya aku ingin berbaring saja, apa-apa tinggal minta. Tapi tentu saja, hal itu tidak akan bisa. Aku hanya bersama Raya saja. Tidak ada yang bisa kumintai tolong apa-apa. Meski rumah ibu mertua bersebelahan, namun tidak mungkin juga di pagi buta seperti ini aku akan membangunkannya. Apalagi mengingat ibu mertuaku yang sepertinya tidak begitu menyukaiku. Jangankan mau membantuku. Yang ada, nanti dia hanya akan kembali mengolok-olok penampilan dan pekerjaanku.

Akhirnya, dengan pelan dan hati-hati, aku pun melangkahkan kaki. Mulai melakukan rutinitas pagi. Meski jika digunakan untuk berjalan, lepuhan di kakiku ini seperti bergerak-gerak, seolah air yang ada di dalamnya hendak pecah dan tumpah keluar.

Kumasukkan semua pakaian kotor dan juga sprei, ke dalam mesin cuci. Sembari menunggu mesin cuci bekerja, aku menyibukkan diriku menyiapkan menu untuk sarapan pagi. Jika nanti Raya bangun dari tidurnya, aku berharap semua pekerjaanku telah terselesaikan, dan rumah pun sudah bersih dan rapi, sehingga aku bisa mengasuh Raya sepenuhnya.

Benar saja. Selang setengah jam kemudian, cucian sudah setengah kering, nasi sudah hampir matang, dan sayur pun sudah selesai memasaknya. Lauk sisa kemarin, hanya aku panaskan saja.

Bersamaan dengan adzan subuh yang berkumandang, aku lekas membersihkan diri, kemudian menunaikan kewajiban.

"Papa ...." Aku mendengar anakku merintih.

Dia masih memejamkan matanya. Wajahnya menoleh pelan ke kanan dan ke kiri.

Aku mendekatinya, melihatnya, sembari menempelkan punggung telapak tanganku di keningnya.

Panasnya masih tetap sama, belum turun juga. Ya Allah, kenapa belum turun juga suhu badannya.

"Mama, Papa mana? Sudah pulang, kan?" tanya dia, begitu matanya terbuka.

Kulihat kulit wajahnya tampak begitu putih, lebih putih dari biasanya. Bukan hanya putih, namun lebih terkesan kepada pucat. Sekitar matanya pun terlihat sangat cekung. Bibirnya kering, nyaris pecah-pecah, berwarna merah, lebih merah dari hari-hari sebelumnya. Baru dua hari demam, namun sudah terlihat jelas, perbedaan wajahnya. Kasihan sekali dia.

"Mama kenapa diam?" Suara lirih itu membuyarkan pikiranku.

"Sebentar lagi Papa pulang. Papa sedang takziah. Ada temannya yang meninggal dunia." Aku menjelaskan dengan nada yang lembut, dengan bahasa yang sederhana.

"Bukankah semalam Papa sudah berjanji akan pulang? Kenapa ini sudah pagi, Papa belum pulang juga? Kenapa Papa bohong? Bukankah Papa sendiri sering bilang, bahwa berbohong itu adalah perbuatan dosa?" Raya mengungkit janji papanya.

"Nanti insyaallah pulang, Sayang. Orang meninggal itu, jika belum dikubur, harus ditemani. Kasihan kalau ditinggal sendiri." Aku mencoba membuat alasan.

"Apakah semua yang hidup itu nantinya akan meninggal?" tanya Raya kemudian.

"Iya, Sayang. Bahwasanya semua yang hidup itu akan mati. Semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan. Begitu juga dengan nyawa kita."

"Tapi Raya tidak mau meninggal. Raya ingin sembuh. Raya ingin menjadi anak yang pintar, menjadi kebanggaan Mama dan Papa. Raya sayang sama Mama. Raya sayang sama Papa ...." Anak itu menangis lagi.

Apakah aku salah memberikan jawaban?

"Jangan menangis, Raya, ya? Mama yakin, Raya pasti akan sembuh. Insyaallah, kita semua akan diberikan umur panjang ...." Aku berusaha menghiburnya. Mengusap kepalanya, dan kemudian mencium pipinya.

"Raya mau Papa ...."

Inilah yang paling aku khawatirkan. Raya sangat dekat dengan papanya. Dan jika dia sudah menanyakan papanya, maka akan sulit untuk dibujuknya, kecuali jika memang papanya sedang bekerja.

Mungkin karena papanya kebanyakan bekerja di luar rumah, dan tidak memiliki banyak waktu untuk kami, membuat Raya merasa bahwa waktu bersama papanya, sangatlah berarti.

"Nanti Papa juga pulang, Sayang ... sabar, ya?"

Ya, seharusnya jika memang hanya sekedar takziah, tengah malam tadi juga sudah pulang. Karena jarak tempuh antara rumah kami dengan rumahnya almarhum Pak Arman, hanya sekitar seperempat jam. Sementara, semalam Mas Abi berangkat jam sepuluh malam.

Atau jika memang dia tidak bisa pulang, bukankah seharusnya dia memberikan kabar, agar hati istrinya ini menjadi tenang?

Mendadak aku merasa tidak enak. Takut terjadi apa-apa padanya. Jangan-jangan tadi malam dia sudah berusaha untuk pulang, tapi ada hal buruk di perjalanan. Ya Allah ....

Lekas kuambil ponselku, ingin menanyakan kabarnya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku mulai mencari nomor kontaknya.

Ada tulisan berdering, saat aku menelponnya. Namun sepertinya panggilan telponku tidak kunjung diangkatnya. Bahkan hingga panggilan ini mati dengan sendirinya.

Mendadak pikiranku menjadi berkelana ke mana-mana. Mengingat semalam, cuaca memang sangat tidak bersahabat. Hujan turun dengan sederas-derasnya. Apalagi ditambah berita adanya beberapa pohon yang tumbang di pinggir jalan.

Tidak putus asa, aku pun kembali mencoba menelponnya. Kemudian panggilan pun tersambung.

"Assalamualaikum, Mas ...."

"Waalaikum salam ...."

"Mas kenapa telponku dari tadi tidak diangkat? Mas baik-baik saja, kan?" tanyaku kemudian.

"Maaf, tadi sedang sibuk, jadi tidak sempat mengangkat telpon."

"Mas kapan bisa pulang? Raya menanyakan Mas ...." Aku mulai berbicara ke inti persoalan.

"Jenazah Pak Arman belum dikebumikan. Rasanya tidak pantas, jika Mas pulang duluan. Keluarganya masih sangat berduka. Bahkan istrinya pingsan berkali-kali. Kamu tangani saja Raya. Toh hanya demam biasa, kan? Kamu tolong mengertilah. Cobalah berfikir, seandainya kamu yang ditinggal mati oleh suamimu, bagaimana perasaanmu. Jangan egois jadi orang." Telpon pun langsung dimatikan dari seberang, tanpa aku diberi kesempatan untuk menjelaskan.

Apa tadi dia bilang? Aku egois?Seketika, hatiku terasa ada yang perih, mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh suamiku itu.

Ya, mungkin aku memang salah. Seharusnya aku mengerti, seharusnya aku memaklumi. Mereka sedang berduka. Sedangkan anakku, hanya demam biasa saja.

"Bagaimana, Ma? Papa bilang apa?" tanya Raya lagi.

"Papa akan pulang sebentar lagi, Sayang. Jangan khawatir." Aku mengusap kepalanya.

Gadis kecil bermata bulat itu nampak begitu kecewa. Tiba-tiba air matanya meleleh, membasahi pipinya yang terlihat sedikit tirus itu.

"Raya sarapan, ya? Habis itu minum obat. Raya pingin sembuh, kan?"

Raya diam saja. Tidak menjawab perkataanku. Aku pun lekas mengambilkan sarapan untuknya.

"Makan, ya?" kuulurkan satu sendok menu sarapan padanya.

Namun Rayaku itu tak kunjung membuka mulutnya. Dia mengunci rapat, bibir atas dan bawahnya.

"Raya mau disuapi sama Papa ...." ucapnya kemudian.

Gadis kecil itu terlihat begitu nelangsa dan memprihatinkan. Berkali-kali aku mencoba menyuapi, namun dia selalu menolak, ingin menunggu papanya, dia bilang. Jika sudah seperti ini, aku harus bagaimana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status