Share

Unexpected Encounter
Unexpected Encounter
Penulis: Esteifa

Tetanggaku musuhku.

Suara gemrusuk radio menjadi teman seorang gadis berpawakan sedang yang tengah menjemur lusinan cucian.

Matahari sudah tinggi dan tidak ada lagi lagu ayam jantan berkokok, hari ini masih sama seperti biasa tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.

Gadis yang rambut serta kaosnya basah karena habis mencuci itu kemudian memeras baju ditangan.

Wajahnya sedatar aspal jalan raya, ditelinganya penuh suara lebah yang mengganggu. Bahkan setelah volume radio disetel tinggi memekak, suara melengking wanita paruh baya yang tinggal disamping rumahnya itu rasanya masih belum terkalahkan.

Membuatnya pening bukan main.

"Rean anaknya Bu RT pulang kampung loh, bikin pangling, jadi putih melong, tambah ngguanteng," kata wanita paruh baya yang menggunakan daster hijau itu, tangannya bergerak tinggi hingga deret emas melingkar di pergelangan tangannya berbunyi.

Maudi masih melanjutkan kerjaannya tanpa menggubris, mengumpat dalam hati, menyesali kenapa juga harus mencuci sebanyak ini kalau tau si Ibu nyinyir ini akan mampir kerumahnya.

Tiar- Ibu Maudi, yang masih sibuk dengan tanaman hias miliknya pun hanya menanggapi seadanya. Mengiyakan. Berpura-pura antusias. Namun tampaknya, Bu Sarah ini memang punya kalimat lain yang ingin disampaikan hingga tanpa ditanggapi berlebihan pun dia masih melanjutkan.

"Anak perawanku tadi liat. Ditanyain nomor telepon juga," ujar Bu Sarah lagi, kini suaranya seperti sengaja dibesarkan.

Bodo amat, teriak Maudi dalam hati.

Tangannya makin agresif memeras cucian hingga tak ada air tersisa, membejeknya hingga urat di pergelangan tangan terlihat.

"Si Sera bukannya udah punya pacar? Kemarin yang malam minggu apel, kan?" Tiar- ibu Maudi menimpali.

Maudi menyeringai diam-diam.

Namanya juga bondolan, batinnya.

Senyum malu-malu, sok alim, tiap cowok diajak mampir, nyepik laki sana sini. Punya anak perempuan begitu aja bangga.

"Jodoh nggak ada yang tau, Bu." Berdehem singkat, Bu Sarah kemudian menjawab sambil tersenyum sumringah. "Maudi mana nih calonnya? Seumur ini belum pernah bawa cowok ke rumah."

Mulai deh!

Si gadis dua puluh lima tahun itu menghela napas lelah, namum masih enggan menanggapi, Maudi lekas-lekas menyelesaikan jemurannya yang tinggal beberapa buah.

Jengah juga lama-lama mendengarkan lebah ini berkicau.

"Belum pengen pacaran katanya," ibu Maudi yang membalas.

Bu Sarah mendecak. "Owalah anak jaman sekarang, udah mateng buat rumah tangga loh dia."

Decihan amat kecil dilayangkan Maudi. Enak ajah main mateng-matengin anak orang.

Terserah Maudi lah mau nikah kapan juga.

Memang apa urusannya sama dia, sih? Sebel!

"Enggak papa, masih pengin main sana sini, nyari duit buat jajan sendiri.”

Dengan tenang ibu menanggapi celoteh Bu Sarah. Meski sebuah deru kesal bisa didengar Maudi. Dengusan sebal itu bukan kepada Bu Sarah, tetapi untuknya.

Mungkin sama seperti ibu lainnya, Tiar juga teringin putrinya segera sold out. Mengingat usia Maudi yang sudah menginjak angka dua puluh lima.

"Katanya, Maudi habis keluar lagi dari tempat kerja di rumah usaha deket jembatan itu, ya?" tanya Bu Sarah lagi dengan julit.

Maudi mulai menyelampirkan baju-baju diember besar yang ia bawa tanpa memerasnya, ingin cepat-cepat masuk rumah.

Deritanya sejak lulus sekolah menengah kejuruan tidak ada revolusi sama sekali. Terus berporos pada tetangganya yang satu ini.

Entah itu berkomentar tentang betapa ngenesnya Maudi sebagai seorang jomblo, atau seberapa apesnya Maudi karena susah sekali dapat kerja.

Iya.

Maudi itu pengangguran. Jangan lupakan title-nya juga. Maudi adalah seorang Pengangguran Expert.

Dan apa yang salah dengan itu? apa yang begitu buruk sampai Maudi harus dinyinyiri tiap hari begini? Katanya rejeki dan jodoh sudah diatur Tuhan. Maudi sudah berusaha dan belum dapat, jadi bisa apa lagi.

"Kerjaan itu mbok ya jangan pilih-pilih, rejeki udah dikasih kok malah di sia-sia terus," celetuk Bu Sarah lagi. "Kalo Sera, dia betahan anaknya, gak neko-neko. Sama bos udah deket juga, temen-temennya banyak, baik-baik lagi."

Percayalah. Baju-baju yang baru Maudi lampirkan di tempat menjemur masih meneteskan air dengan deras.

Hingga satu baju terakhir, Maudi langsung mengangkat ember besar untuk dikembalikan ke sumur.

“Satria, anak sulungku juga sukses di rantau, alhamdulilah, kan usaha nggak akan menghianati hasil,” lanjut Bu Sarah dengan jumawa.

Tak bosan-bosan mendemonstrasikan keberhasilan anak-anaknya. Maudi mendengar yang seperti ini hampir tiap minggu, sampai gumoh dibuatnya.

Tiar dan Maudi sendiri tak menjawab kalimat Bu Sarah dan meneruskan pekerjaan masing-masing.

"Tapi enggak papa lah, Bu. Hal kayak gini lumrah kok. Tiga anak cowokmu kan udah sukses, pasti ada satu yang enggak. Pasti," celetuk Bu Sarah lagi tanpa filter.

Ember ditangannya terjun dengan keras.

Gadis yang terlihat sudah amat lelah serta marah itu melirik dengan tajam, menyipitkan mata yang sudah dasarnya sipit.

Kalau tidak salah dengar tadi seseorang barusaja melebeli Maudi sebagai anak yang gagal? Oleh siapa? Tetangga? Maudi mendecih keras.

Punya hak apa mereka hingga bisa bicara begitu?

Tiap hari memang begini. Maudi hampir saja terbiasa. Tetapi level kesabaran manusia itu ada batas merahnya bukan?

Maudi menggulung lengan kaosnya sembari membalikan tubuh. Menghadap ibu-ibu berdaster yang tidak punya kerjaan itu.

"Oh ya? Saya anak yang sudah pasti enggak akan sukses? Tau dari mana? Ibu kenapa bisa seyakin itu?" Dengan dua tangan hinggap di pinggang Maudi mengatakan kalimatnya.

Sebelum Bu Sarah membuka mulut, Maudi sudah lebih dulu meneruskan kata-katanya.

"Rahasia sukses Sera apa aja emang? Sampai bisa kredit motor tiga tahun angsuran, sama nerima transferan dari teman-teman cowoknya tiap bulan?"

Mampus Lo.

Mata melotot dan urat-urat menjumbul khas ibu-ibu hendak mengamuk jadi respon tetangga Maudi itu.

"Hati-hati ya kalo ngomong!" selak Bu Sarah tak terima.

Maudi mengabaikan tabokan ibunya, tatapannya mengancam, mewanti-wanti agar ia lebih punya akhlak dalam menganggapi nyinyiran Bu Sarah tadi.

Tapi bukannya takut dan menurut Maudi justru mendengkus keras-keras.

Punya anak perawan terlalu dikudang-kudang jadinya begini, dasar nini-nini rempong!

"Kok tersinggung?" Maudi mengeluarkan raut wajah tak bersalah. "Kan saya cuma tanya rahasia suksesnya anak ibu. Kalo nggak mau bagi-bagi ya udah, santuy, saya juga nggak terlalu minat buat jadi sesukses itu.”

Bu Sarah sudah megap-megap ditempat.

Maudi tidak menggubris sama sekali, syukur saja kalau tetangga julit itu darah tinggi. Tuman!

"Dan soal kerjaan saya yang ganti-ganti itu. Maaf ya sebelumnya. Saya cari kerjaan itu yang sesuai sama diri saya sendiri." Senyuman manis diwajah Maudi berganti dengan ekspresi bingung yang sengaja dibuat-buat. "Anak ibu yang otaknya segede merica aja bisa dapat kerjaan bagus, masa saya yang ranking paralel mau-maunya jadi admin yang tugasnya mencangkup semua pekerjaan rumah tangga."

Muka Ibu Sarah sudah memerah.

Kendati begitu itu Maudi tidak berhenti, ia lanjut melancarkan ke-savage-annya.

"Apa saya nikah aja, ya? Mas Rean anaknya Bu RT yang minta nomornya Sera juga minta nomor saya. Siapa tau jodoh!"

Setelah kalimatnya selesai, hembusan nafas puas terbuang, Maudi dengan anggun mengambil kembali ember dengan jemari pucatnya.

Melirik sekilas sebelum berlalu dengan gaya berjalan yang elegan.

Meninggalkan ibu-ibu yang setia menganga di sana.

Mamam tuh jodoh.

--

Siang itu hari panas terik seperti biasanya.

Dan menurut pengalaman yang Maudi dapat selama hidup dua puluh lima tahun ini, jika siang seterik ini maka malam hari nanti pasti akan turun hujan.

Positif.

Penjelasan ilmiahnya? Mana Maudi peduli. Mungkin karena siang-siang seluruh air di Purwokerto sudah ditarik naik ke atas jadi malam harinya air di awan bakal turun karena sudah terlalu berat. Gitu kali.

Namanya juga ngarang, tetapi menurut pengalaman pribadi Maudi selama sekolah dan mengerjakan ujian, setiap tulisan Maudi yang ngarang pada lembar jawaban ujiannya kebanyakan benar.

Ia memang mujur. Dan make sense.

Tetapi itu kalau di lembar ujian. Kalau dihadapkan dengan kerja nyata seperti saat ini, Maudi jelas akan mendapatkan D-.

Memangnya apa yang bisa diharapkan dari pengangguran tanpa keterampilan seperti Maudi.

"Gusti Allah paringono sabar!" Sebut Tiar, seraya mengelus dada.

Dan Maudi yang sadar seratus delapan puluh lima koma sembilan puluh sembilan persen kalau rintihan itu ditujukan untuknya cuma memutar mata sembari mengangkat bahu masa bodoh.

Lanjut memotong sayuran hijau yang ada ditangannya.

"Ini bisa-bisa entar gak ada yang mau pesan catring lagi sama ibu, Dy, dy!" rintih Tiar sambil mendekati Maudi. Mengambil sejumput sayur yang tengah dipotong oleh Maudi. "Ini kalo pare dirajang setebel ini rasanya sama kaya bratawali!"

Maudi melirik. Dongkol. Lagian kenapa pesannya harus sayur pare, sih! Potongnya jadi harus tipis-tipis dan lama!

"Kamu mau ngeracun customer ibu?!" omel Tiar lagi.

Maudi melotot. Diletakannya pisau tajam itu di atas talenan kayu dengan sebal.

"Pare itu vitamin B gede. Semakin pait pare, semakin baik buat kesehatan tubuh."

Gak tau Deng, Maudi ngeles aja.

"Jangan ganti headline! Ini kita lagi ngomongin irisan kamu yang tebal-tebal. Jangan malah menggurui pake bawa-bawa vitamin segala."

Bibir Maudi mengerut kala ibunya mengambil alih pare dan juga alat potong yang ada didepannya.

Sebal.

Urusan dapurnya memang enol besar. Tetapi kalo latihan nantinya juga bakal baikan kok.

Tangan Maudi kemudian meraih keranjang kecil berisi bumbu-bumbu. Menguliti bawang putih dan juga bawang merah. Karena tidak lagi diijinkan merajang pare.

Sepertinya Maudi harus mengirim beberapa lamaran pekerjaan lagi, ia tidak bisa hanya terus di rumah dan mengerusuhi ibu begini.

"Hei, Tiar. Nggak ada yang bisa dibantu?" Tiba-tiba saja tanpa ba-bi-bu atau salam, seseorang datang dan langsung duduk di lantai. "Katanya ada orderan lumayan?"

Maudi mendesah dalam hati. Menyiapkan diri sendiri.

"Eh, mbak. Ini Alhamdulillah. Pak Hafiz itu mau syukuran buat Rean, pesen rames dari sini."

Pak Hafiz itu ketua RT di komplek rumah Maudi. Bapaknya Rean si bujang desa.

Bu Sarah kemudian mengambil alih pare yang sedang ibu iris tanpa ijin.

Senyum sumringah kemudian muncul dari bibir Bu Sarah saat nama Rean disebutkan.

"Rean sama Sera sudah mulai seriusan lho," celetuk Bu Sarah tanpa ditanya.

Heran yah. Orang kalau gosip itu ya gosipnya pasti tentang orang lain. Nah tetangganya yang satu ini kok seneng banget ngomongin diri sendiri.

Maudi tak mendongak sama sekali, terus fokus dengan para bawang yang sedang dieksekusinya.

"Nah pacar yang itu gimana?" tanya Tiar tanpa menyembunyikan keterkejutan. Karena seperti yang diketahui sebelumnya, Sera memang sudah punya pacar.

Maudi tidak peduli. Jadi jangan tanya soal pendapatnya.

"Udah putus," balas bu Sarah kemudian, dengan nada bicara agak asam. "Maudi sih, gatel banget, udah tau pacar orang di pepet terus."

Nah loh.

Apose? Luluh lantak ini? Aku dimana, kamu siapa?

Maudi memaksa senyum, mendongak, dan percayalah ia pasti sudah terlihat seperti joker. Sumpah ia tidak tau apapun.

"Saya ngapain lagi emang?" tanya Maudi dengan polos.

Bu Sarah mulai merajang pare ditalenan dengan brutal.

"Kamu ngedeketin Dodo, kan?! Minta-minta nomornya, nyamperin, ganggu waktu dia lagi apelin Sera?" tuduh Bu Sarah ngotot.

Oh Tuhan...

Kata ibu; Api jangan dilawan sama api, ntar bisa-bisa meledak.

Keep sabar sister!

Maudi menghela nafas amat pelan. "Saya nyamperin karena dia yang minta."

"Ya ngapain kamu nurutin?! Emang sejak kapan kamu nurut begitu? Kalo tau pacar orang atau lagi ada urusan sama orang lain mbok ya jangan dirusuih."

Maudi memejamkan mata perlahan, jemarinya berhenti mengupas bawang, menggaruk-garuk hidung dengan ujung jari telunjuk.

"Dodo kan temen SMK Maudi, mbak." Suara Tiar membalas Bu Sarah dengan nada tenang, tak ikut panas. "Palingan cuma tanya-tanya kabar, basa-basi doang."

"Nah itu." Bu Sarah mulai menunjuk-nunjuk Maudi menggunakan pisau ditangannya. "Karena 'cuma tanya-tanya, basa-basi' itu si Sera jadi ribut sama Dodo."

"Sera kenal Dodo juga dari saya, Bu," jawab Maudi seadanya.

Faktanya ya itu. Dan juga, hei, Maudi gak naksir, nafsu atau apapun itu sama cowok tukang tagih hutang keliling itu ya. Bukan karena Dodo adalah seorang tukang tagih hutang keliling, namun sebagai teman lama, Maudi tau benar baik-busuknya Dodo.

Positif banyak busuknya.

Jadi, buat apa nikung yang busuk-busuk. Gak guna.

Namun sepertinya pembelaan Maudi disalah arti oleh Bu Sarah.

"Oh, jadi karena kamu yang ngenalin jadi kamu juga berhak membuat mereka putus begitu!?"

Gusti Allah paringono sabar! Maudi meniru cara bicara ibunya.

Ia perlu beli aspirin nanti sore kalau terus bicara dengan Bu Sarah.

"Au ah, Hayati lelah,” sahut Maudi sembari mengibaskan tangan keudara.

Meletakan bawang-bawang itu kembali ketempat, Maudi kemudian langsung berdiri, mengabaikan Bu Sarah yang kemudian memekik karena merasa unek-uneknya belum selesai disampaikan.

"Heh mau kemana kamu?!" selak Bu Sarah.

Maudi membalas tanpa menoleh. "Mau cari pacar. Biar gak jadi kambing hitam terus kalo anak ibu putus."

Astagfirullah. Maudi bisa mendengar Tiar menyebut begitu. Disusul dengan beruntun kata-kata Bu Sarah agar Maudi menanamkan akhlak kalau bicara.

Langkah Maudi kemudian berhenti saat gadis berambut panjang itu sampai di ambang pintu. Membalikan badan.

"Lagian, Bu. Kalo ibu marah Sera putus sama Dodo, kenapa ibu bungah banget waktu cerita Sera yang lagi deket sama Rean? Padahal baru putus."

Bu Sarah tak langsung menjawab. Diam saja.

Maudi menggelengkan kepala layaknya orang prihatin.

"Punya cowok mbok ya satu gitu lho, jangan nyabang-nyabang." Dan si mata sipit itu langsung ngacir sebelum mulut mercon Bu Sarah kembali tersulut.

--

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Daanii Irsyad Aufa
punya tetangga bikin darting gini enaknya d apake jal??
goodnovel comment avatar
27miielita
pengen gua sumpel mulutnya bu sarah ituu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status