Share

Tips melawan Bondolan

Malam hari ini juga sama seperti malam sebelumnya, satu bungkus mie instan rasa soto ayam menjadi andalan perut Maudi yang keroncongan. Menyajikan kegurihan kuah soto dan juga kenyalnya makanan yang terbuat dari tepung itu. Sembari menunggu air mendidih Maudi berjalan menuju halaman rumahnya, dimana tempat ibunya biasa berkreasi dengan para tanaman, berniat mengambil dua buah cabai untuk membumbui rasa mie yang akan ia buat.

Sialnya, dimalam cerah dengan hawa sejuk ini Maudi harus menghadapi cobaan begitu berat.

Saat ia baru kaluar dari rumah dan memakai sandal karet, ada satu motor ninja hijau dengan kenalpot brisik berhenti di samping rumahnya, Maudi menatap bagaimana perempuan yang duduk di jok belakang itu berpegangan tangan.

Amit-amit! Gidik Maudi lekas-lekas, kayak uler keket, nemploknya rapet banget, nggak geli atau canggung apa! Dasar bondolan!

Benar. kalau itu merupakan penghuni sebelah rumah Maudi, ya memangnya siapa lagi kalau bukan Sara si Bondolan 35. Dan sialnya mamas-mamas yang memakai ninja hijau itu adalah Rean.

Maudi segera melengos, lekas menuju pohon cabe yang malah berada di polybag paling ujung. Paling dekat dengan pembatas rumahnya dengan rumah Sera.

Sialan! Dasar pohon cabe nggak tau sikon.

Maudi segera melangkah ke ujung sana, berdiri memetik cabai sesekali melirik pada pasangan muda yang agaknya tengah basa-basi mengucapkan perpisahan setelah seharian kencan.

Maudi capat-cepat melengos saat Rean terang-terangan menoleh padanya.

“Hai, Maudi,” panggil si bujang desa. “Apa kabar?”

Maudi meringis dalam hati, melihat ternyata sudah ada lima cabai di tangan. Bisa mencret kalau makan mie dengan cabai sebanyak ini. Tak terasa, terlalu ternggelam lirik-lirik tetangga sampai tidak sadar begini.

Maudi menoleh, tersenyum ramah sembari mengangguk pada Rean, gadis pengangguran itu juga sempat melirik cewek yang menggunakan jeans skinny dengan kaos pas badan di depan Rean.

“Cabe mas?” ujar Maudi kemudian sembari melirik Sera.

Rean kebingungan. “Ha?”

“Eh,” Maudi mengerjap, memperlihatkan cabai di tangannya. “Ini nawarin cabe maksudnya.”

Sera terlihat langsung melotot tak terima, namun juga tak langsung nyerocos menggebu-gebu macam ibunya. Sera justru hanya mendengkus sok menahan sabar.

Rean sendiri hanya tertawa canggung. Sebelum mengangguk untuk menanggapi tawaran cabai dari Maudi. “Makasih.”

Maudi mengangguk ramah. Hendak berpamitan karena pasti air untuk merebus mienya sudah mendidih. “Ya udah mas kalo gitu—.”

“Maudi kamu pasti mau masak mi lagi ya?”

Si kampret.

Maudi menggertak gigi. Mau tak mau harus menoleh lagi pada Sera dan juga Rean yang tengah berdiri berdampingan disana.

“Keseringan makan mi nggak baik tau,” ujar Sera lagi dengan mata menyipit keji. Cewek yang rambutnya panjang digerai itu kemudian menoleh pada Rean. “Maudi tuh nggak bisa masak, mas. Tiap hari kalo kehabisan lauk selalu makan mie instan.”

Dasar mulut comberan!

Ya terus kenapa kalau Maudi nggak bisa masak? Memangnya sejak kapan memasak diwajibkan untuk semua perempuan?

Rean kian canggung menjadi pihak ketiga antara dua gadis yang sedang saling lempar sindiran ini. “Oh… iya,”

Dengar ya, mas Rean itu manusia paling irit bicara, tidak irit-irit banget sih, tapi ya memang bujang desa itu hanya membuka mulut kalau memang perlu saja.

Maudi sampai heran kanapa lelaki ini mau menimpali kalimat tak penting dari Sera.

“Balik ke rantau kapan mas?” tanya Maudi kemudian, ya sudah, siapa yang suruh pakai acara menghentikan niat Maudi yang sudah mau balik kerumah.

Ku ganggu sekalian waktu perpisahan manis kalian!

Rean menjawab ramah, berbeda dengan raut muka Sera yang mulai menjadi masam kembali. “Sebulan lagi kayaknya, cuti panjang pembaruan kontrak sih ini.”

Maudi tersenyum kecil, mengangguk mengerti. “Oh, congrat ya udah kontrak baru, cari duit yang banyak mas, pacarnya boros, hobbynya jalan-jalan, shoping sama beli skinker biar gudluking.”

Oke. Selama perdebatan ini tak terlalu keras dan tidak membuat tetangga berkumpul ingin tau ada masalah apa tidak apa-apa, Maudi jabanin tingkah jahanam Sera.

Sera melotot tak terima, sekarang perempuan yang lebih terlihat tulen dari satu perempuan lain yang ada disana- alias Maudi itu mulai melangkah mendekati Maudi.

“Semua cewek ya kayak gitu lah. Kamu doang yang enggak. Dasar aneh!” balas Sera tak terima dengan kalimat Maudi. Sera menunjuk-nunjuk badan Maudi dengan kening menyirit heran. “Liat bajumu, itu kerah udah mulur-mulur masih dipake aja.”

Berdecak tak karuan, memang, tak seperti Sera yang rambutnya halus karena selalu disentuh hair mask rutin Maudi hanya sempat keramas dalam jangka waktu empat hari sekali, itu pun kalau ingat. Kaosnya ini juga dibeli dua tiga tahun lalu, dipakai harian, dan tetap nyaman meski memang sudah mulur sana-sini. Celana Maudi hanya pakai training olahraga sisa masa sekolahnya dulu. 

Penampilan Sera dan Maudi itu bagaikan langit dan bumi.

“Cewek mbok ya jaga style, ngerawat diri,” ujar Sera sembari melirik sinis. “Jangan urakan, tiap hari tiduran doang, mandi kalau mau. Jorok!”

Oke. Ya terus, memangnya harus sekali membicarakan kejorokan Maudi yang merupakan kenyataan itu didepan Rean? 

Maudi ikut emosi mendengar kalimat kurang ajar dari tetangganya itu. Maudi menyorot penampilan Sera dengan pandangan aneh. “Dari pada pake baju kaya orang ketipu onlen shop kayak nggonmu. Kelambi apa kui? Ngapret, kayak lontong.”

Memangnya nggak malu? Jalan-jalan sampe kota gede padahal dadanya kelihatan bentuknya begitu? Kalau Maudi mah masih punya malu! Mending pakai kaos oblong yang mulur daripada kaos ukuran anak TK begitu!

Maudi pun tak langsung berhenti disitu, ia menunjuk wajah Sera, menyeringai. “Muka juga cuma satu ngapain ditelepin macem-macem. Dempulmu tuh ketebelan, Sera.”

Sera mengibas rambut lenjeh. Tak merasa tersinggung sama sama sekali dengan sindiran Maudi terhadap make up yang dipakainya. “Lah, wong punya duit buat beli bedak ya dipake,”

“Kamu nggak pernah gajian mana tau,” lanjut tetangga Maudi itu. “Oh iya! Denger-denger udah nganggur lagi? Mau tek mintain loker sama mas Satria? Masku bisa bantu kalo kamu minta tolong.”

Sementara disisi lain, Rean yang melihat sindiran halus berubah menjadi perdebatan sengit itu pun segera mendekat, menarik mundur Sera. Menjaga jarak aman.

Maudi mendengkus tak percaya, gadis sederhana yang hanya berniat memetic cabai untuk memasak mi instan ini malah justru harus mendapat cobaan seberat ini malam-malam.

“Siapa juga yang mau cari duit cuma buat beli bedak,” selak Maudi tak terima. “Kerja tuh buat nabung, bukan buat beli dempul! Kerja itu cari pengalaman, bukan ngasah muka biar glowing tapi otak jelmaan lumpur doang!”

Sera terdiam.

Kalau sudah bawa-bawa kemampuan intelektual, kinerja otak dan teman-temannya yang lain. Tentu dunia tau kalau Maudi lebih unggul dari si bondolan yang hanya modal jalan berlenggok ini.

“Maudi, kamu kalo nggak suka sama aku bilan—.”

Maudi memotong cepat. “Aku nggak suka sama kamu.”

Dan setelah itu, tak menghiraukan raut muka tak percaya Sera. Tak memerdulikan Rean yang dengan bloonnya malah diam saja.

Maudi mengingat kalau ia sedang masak air. Bisa di iris tipis-tipis kalau ibu tau Maudi buang-buang gas hanya untuk berdebat begini.

Maudi menghembuskan napas sabar, keningnya masih mengerut, namun masih mampu beramah tamah.

Gadis berkaos oblong itu mengangguk pada Rean. “Monggo mas, langgeng-langgeng ya sama bondolannya.”

Setelah mengatakan itu Maudi langsung berbalik.

“Maudi!” teriak Sera marah.

Maudi menoleh tajam, ia tak kalah marah. “Brisik! Mau tek jejelin Lombok kamu hah?!”

Sera pun kembali diam. Maudi melirik Rean lagi. Masih punya amunisi tak habis-habis untuk menyulut emosi tetangganya itu. “Dirantai mas pacarnya, ganggu hidup orang.”

--

Hari ini Maudi ada rencana keluar, setelah sekian lama menetap dalam rumah akhirnya teman yang bisaanya sibuk nguli lembur bagai kuda ini mengajak Maudi pergi jalan-jalan.

Tidak jalan-jalan sebenarnya, mereka keluar menuju swalayan karena ada perlu.

Membeli perlengkapan bayi untuk menjenguk teman yang baru melahirkan. Tunggu, teman Maudi sudah ada yang punya anak? Sudah. Anaknya sudah dua pula!

Ya iya lah! Secara usia sudah menginjak angka dua puluh lima. Di kota kecil begini, gadis umur dua puluh dua pun akan langsung di tanya-tanya kapan menikah, jika bertemu saudara di pertemuan keluarga. Padahal usia itu masih terlalu dini bukan? Tidak juga, dulu Maudi juga teringin menikah muda, namun melihat beberapa temannya yang sudah menikah dan mendengar sendiri curhatan pedih mereka, rasanya Maudi belum siap untuk memulai tanggung jawab besar itu.

Eva adalah satu-satunya teman Maudi yang tersisa, maksudnya tersisa untuk jalan-jalan atau sekedar main kerumah masing-masing tanpa melakukan apapun. Karena dua teman lainnya sudah berumah tangga, yang satu pengantin baru, yang satu lagi baru lahiran anak ke dua, tidak mungkin Maudi mengajak mereka berkumpul sering-sering.

Eva juga sudah lamaran bulan kemarin, rencananya setengah tahun lagi teman dekat Maudi yang merupakan kasir indoapril itu akan menikah. Dan yash, tinggal Maudi sendirian, jomblo tanpa pengalaman yang setia menunggu hilal kelihatan.

“Mampir konter ya, Mod. Aku mau beli kuota dulu,” ujar Eva, gadis berpashmina cerutty itu kemudian menyalakan sign motor tanpa menunggu jawaban dari Maudi.

Hari ini Maudi menggunakan blous dan juga jeans kulot, rambutnya sudah keramas dan di kepang susun, pakai bedak bayi, dan juga memakai lipstick nude, dandanan khas kalau sedang mau pergi.

Maudi ikut turun, ia kemudian mengikuti langkah Eva, berdiri di depan etalase, ikut menilik voucher kuota data yang murah.

“Eh, Mod.”

Maudi menimapli. “Hah?”

“Itu Rean bukan sih?” tanya Eva lagi, wanita berkerudung itu menunjuk-nujuk arah kanan yang lumayan jauh. “Sama Sera?”

Maudi ikut menoleh, memeriksa apa yang dikatakan Eva. Dan benar. Disana berdiri si manis bujang desa dan satu perempuan cantik disebelahnya, terlihat dengan diskusi sembari menunjuk-nunjuk dusbook ponsel di dalam etalase.

“Masih hidup ternyata, kang ghosting.”

Maudi langsung mendelik, menggeplak tangan Eva pelan. Takut kalau omongan teman Maudi itu didengar orang.

“Apa? Bener, kan?” Eva malah tak terlalu peduli dengan peringatan Maudi. “Kakak kelas yang PHPin kamu kan itu?”

Maudi membalas gemas, mulutnya mengeluarkan suara namun tak bergerak sama sekali. “Ya tapi nggak usah dibahas, malu akunya mbok ada yang denger.”

Belum juga Eva sempat membalas sebuah suara menginterupsi pembicaraan mereka.

“Tumbas perdana, Maudi?”

Maudi kian mendelik, matanya memandang Eva dengan horror, tau betul suara siapa yang ada dibelakang tubuhnya.

Lalu setelah dua detik Maudi pun berbalik badan, menghadap Rean. “Eh mas Rean. Enggak mas, ini nemenin Eva beli paketan.”

Maudi sempat melirik pada gadis yang semula bersama Rean, Sera sedang sibuk test drive ponsel baru ternyata.

Rean tersenyum manis, lelaki tinggi berhoodie hijau army ini mengangguk. “Oh gitu, nomormu masih yang dulu kan?”

“Hah?” sahut Maudi otomatis.

Nyambung kah? Kenapa tiba-tiba tanya nomor hape, Maudi mengerjapkan mata, tiba-tiba sekali darahnya mengalir deras bersama dengan detak jantung anomali.

Ini Rean beneran meminta nomor ponselnya?

“Nomor hape—.”

Eva menghentikan kalimat Rean cepat-cepat. Teman dekat Maudi yang sedari tadi diam itu melirik sinis ke perempuan yang menggunakan cardigan rajut berwarna ungu disana. “Itu mas, dipanggil Sera.”

Rean langsung melirik Eva canggung, begitu juga dengan Maudi.

“Kabarnya gimana, Va?” tanya Rean kemudian, ramah sekali.

Eva mendengkus tak suka. “Nggak bagus. Ketemu gerandong siang-siang—,”

“Va!” Maudi menggeplak lengan temannya itu, ia juga melirik tak enak pada Rean.

“Ish! Sakit Mody!” eluh Eva sembari meringis sakit. Sebelum teman Maudi itu kembali melirik tajam pada lelaki yang berdiri didepan mereka. “Kalo udah punya cewek tuh jangan tanya-tanya cewek lain.”

“Heh!” selak Maudi lagi, menarik ujung pashmina yang digunakan Eva dengan sebal.

Kemudian gadis dua puluh lima tahun bermata sipit itu menatap Rean lagi, berujar tak enak. “Jangan didenger mas, sana samperin aja bondolannya, aku nggak mau jadi kambing hitam lagi kalo ada apa-apa.”

Dengan begitu. Rean pun segera melangkah mundur sembari mengangguk.

Eva menggeram gemas. “Sera kan tau kamu pernah suka sama mas Rean. Kok nikung, sih!”

"Mod, kamu udah nggak suka kan sama dia? Udah tujuh tahun lho. Gendeng kalo masih suka, inget kalo dulu dia nolak kamu, ghosting, tukang PHP!"

Sudah tujuh taun ya? Rasanya baru kemarin Maudi jatuh cinta. Bukan. Rasanya itu, Maudi kembali jatuh cinta ketika sosok Rean melintas dalam pandangan mata. Dan ia jatuh cinta berkali-kali, pada satu orang yang sama.

Kendati tau. Kalau cintanya tidak akan mungkin terbalas.

"Aku punya otak, Va. Cinta monyet begitu nggak awet di kepala," balas Maudi pada Eva.

"Kalo gitu pacaran lah. Kamu nggak pernah pacaran, suka sama orang juga sama Rean doang, itupun dulu banget. Kan jadi curiga kalo ternyata kamu itu gamon."

Maudi menyirit mendengar kalimat kasir indoapril ini. "Gamon apaan?"

"Gagal move on."

Maudi menghembuskan napas kecil.

Ternyata ia memang termasuk golongan kaum gamon. Mungkin Maudi bukannya gagal move on, ia hanya belum menemukan nama laki-laki pengganti Rean dihatinya saja.

Rean itu anak lelaki satu tahun lebih tua darinya, mereka satu dusun tetapi tidak terlalu saling mengenal karena Rean cukup introvert dan amat jarang keluar rumah.

Dan sepertinya disemua tempat pun sama. Lelaki yang dingin pendiam dan kurang peka terhadap lingkungan punya daya tarik tersendiri. Rean dikagumi seluruh anak perempuan didusun.

Puncaknya. Ketika itu. Saat apel pagi waktu tahun ajaran baru dimulai, Maudi si anak baru berwajah pucat lengkap dengan tetek bengek atribut mos khas manusia Pluto merasa debaran-debaran merah muda, alasannya tak lain tak bukan karena seorang pemuda tinggi dengan perpaduan alis hidung dan bibir yang indah ditengah lapangan sana.

Si bujang desa.

Terlihat tegas meski keningnya mengerut kesilauan, serta kulit sawo matangnya seakan bersinar karena mentari.

Padahal Maudi bukan gadis yang mudah jatuh cinta.

Dan dalam tujuh tahun ini, tentunya, Maudi sudah pernah meluncurkan 'serangan-serangan' cinta kelewat serius.

Rean menanggapinya dengan baik namun tak kunjung berbicara terus terang, malah pergi tanpa bilang, tanpa kejelasan, dan Maudi pikir, cowok itu tengah memberinya waktu untuk sedikit berubah menjadi gadis seperti tipe idealnya.

Namun sepertinya. Tidak. Rean jelas-jelas menolak Maudi dulu.

Maudi baru menyadarinya beberapa tahun kemudian. Betapa bodoh.

“Dasar Fakgirl ya, emang patutnya sama Fakboy. Udah cocok berdua itu,” seruan Eva menyadarkan lamunan Maudi.

Gadis yang rambutnya dikepang susun itu menghembuskan napas pendek. Menatap presesi Rean dan juga Sera yang sedang bersandingan. Rean yang tampan dan juga Sera yang cantik. Meski sulit, Maudi harus mengakui kalau Sera memang memiliki fisik lebih menarik dari pada dirinya. Tapi bukan berarti Maudi jelek ya, Maudi juga cantik. Cantik banget malah. Hanya saja kalau dibandingkan dengan Sera, Maudi berada dibawah cewek itu satu tingkat.

“Ya emang cocok,” celetuk Maudi akhirnya. Kemudian Maudi menoleh pada Eva. Tak lupa kalau mereka belum mendapatkan perlengkapan bayi untuk anak teman. “Udah kelar? Ayok, ntar tambah siang tambah rame tokonya.”

--

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alfira ananda
lanjut thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status