Share

Melarikan diri

“Jangan pulang kemaleman lagi,” ceramahan itu direspon dengan menguapnya rasa kantuk dari mulut Maudi.

Ngantuk. Super duper ngantuk, omlean ibu itu sudah seperti dongeng pengantar tidur bagi Maudi, dan Maudi yang sedari tadi sibuk dengan televisi terpaksa harus membagi fokus pendengarannya dengan kalimat yang keluar dari mulut Tiar.

Kemarin Maudi pergi. Begini nasib jadi anak rumahan, Maudi dirumah terus mereka ngoceh, pergi sebentar malah tambah ricuh ngocehnya.

Memangnya apa sih yang salah? Apa Maudi pergi dan pulang malam seban hari sampai mereka harus berceloteh macam manusia yang kerjaannya cuma komen hidup orang lain. Maudi pergi sebulan sekali pun tidak. Dan kemarin itu ia baru keluar kandang setelah sekian lama hibernasi. Heran deh, dasar human!

Maudi mengusap sudut matanya yang basah. “Kemaleman apanya sih, Bu. Orang jam setengah sembilan udah dirumah.”

Dan lihat?

Setengah Sembilan itu terlalu malam? Bahkan anak SMP yang suka tongkrongan di pertigaan sana pun pulang pukul Sembilan, jalanan masih ramai di jam itu, masih banyak orang berlalu lalang untuk melakukan pekerjaan atau sekedar cari angin saja.

Tiar melirik anaknya yang memang suka menjawab kalau sedang dinasehati, punya anak perempuan satu tapi tingkahnya tidak karuan.

“Sera bilang dia liat kamu nongkrong di alun-alun nggak jelas,” kata Tiar lagi, kali ini berhasil membuat Maudi menoleh dengan kening mengerut. Jadi Bondolan biang keroknya?

Seakan mengerti arti tatapan betanya dari Maudi, Tiar melanjutkan. “Bu Sarah itu yang bilang ke Ibu.”

Maudi mendecih dongkol. “Cangkeman!”

Ternyata lagi-lagi kemalangan dan juga duka Maudi berporos pada orang-orang itu. Kenapa sih, heran banget lho. Kenapa sempet-sempetnya ngomongin Maudi saat mereka sendiri lebih parah dari orang yang dikomentari.

Contohnya, jika punya kaca, dibanding Maudi, Sera jelas lebih sering pulang malam darinya, lebih-lebih dia selalu baru pulang saat hari sudah hampir tengah malam. Maudi suka mendengar suara motornya saat tidak bisa tidur. Dan apa? Memangnya Maudi perduli? Ia saja tidak berkomentar tentang Sera yang suka pulang malam melebihi tukang judi, tetapi kenapa malah mereka demen sekali berkomentar pada Maudi.

Maudi menampakan raut wajah kesal yang ketara. “Emangnya aku pernah ngomongin Sera gitu? Seneng banget ngomongin hidup orang.”

Tiar sendiri hanya menghembuskan napas kecil, lalu menoleh lagi pada televisi yang menampilkan sinetron berepisode ribuan.

Kedongkolan Maudi tak berhenti begitu saja.

Ia benar-benar kesal bukan main.

“Heran!” selak Maudi lagi, suara sinisnya tak main-main. “Pantesan istrinya Mas Satria minta cerai orang punya ibu mertua cerewet begitu.”

Kan. kan. lihat, Maudi jadi membawa kalimat berarti besar dalam kemarahannya.

Tidak sopan. Tiar mendelik tak main-main, ibu Maudi itu kemudian menampol bibir Maudi dengan tangannya. “Heh, lambemu! Jangan ngomong hal yang nggak ada sopan santunya! Ibu nggak ngajarin kayak gitu.”

Maudi sendiri terdiam beberapa saat, gadis dua puluh tahun itu kemudian merengut kecil, bibirnya mencebik.

“Lagian, ngeselin,” ujar Maudi lagi tangannya meninju-ninju bantal sofa. “Punya ibu mertua kayak dia itu kutukan, hih, amit-amit. Kasihan banget aku sama calon istrinya Mas Satria nanti.”

Kakak Sera itu memang duda cerai. Nikahnya karena kejebolan, bercerainya satu tahun setelah nikah, entah apa alasannya. Yang pasti, dengan satu alasan itu pun harusnya Bu Sarah pikir-pikir lagi kalau mau ngomongin orang. Karena lihat saja, siapa yang lebih berantakan, dan hidup siapa yang perlu dibenahi.

Huh! Jadi kemana-mana kan marahnya. Omongan Maudi jadi ngelantur dan mengatakan hal yang tidak seharusnya.

Maudi menaruh bantal sofanya, di taruh di ujung, ditiduri. Memilih lanjut fokus pada sintetron dari pada harus meluapkan kemarahan yang sia-sia, mereka juga nggak akan sadar kalau diomongin di depan langsung, apalagi di belakang begini.

Namun, Sepertinya Tiar belum berniat melepas topik percakapan tentang tetangga mereka.

Tiar mengatakan. “Tadi juga Bu Sarah bilang kalo keluarga Rean mau dateng ke rumah, kamu disuruh nemenin Sera.”

Maudi melirik, bertanya lebih lanjut karena ia tak menangkap arti dari kalimat Rean dan orang tuanya akan datang ke rumah Sera.

Maudi terdiam sejenak, mengedip.

“Mau lamaran,” lanjut ibu lagi, yang mana menjadi sebuah cambuk bagi Maudi.

Jangan tanya kenapa.

Setelah pertemuan mereka di konter waktu itu saat Maudi pergi dengan Eva, Rean mengirimkan pesan pada Maudi, dan tentu saja Maudi membalas, dan sejak itu juga Maudi dan Rean sering chattingan. Sudah beberapa bulan berlalu dan hingga sekarang pun Maudi masih berkomunikasi dengan baik dengan Rean.

Maudi tidak tau kalau hubungan Rean dan Sera sudah sejauh itu.

Dan sekarang ia tidak mengerti semua arti dari isi pesan dan juga kata-kata panjang selama mereka berkirim pesan beberapa bulan terakhir. Rean PHP lagi ya? Seperti yang lelaki itu lakukan dulu? Atau memang dari awal niatnya hanya ingin memperbaiki hubungan dengan Maudi tanpa ada maksud lain? Dan Maudi yang besar kepala karena mengira kalau Rean menaruh sebuah rasa suka padanya?

Dasar kemplu!

Mimpimu ketinggian Maudi! Bangun! Bujangan mapan seperti Mas Rean nggak mungkin mau sama cewek madesu yang malesan kayak kamu!

Maudi mengerjap, mengalihkan pandangan mata, bersikap biasa saja semampunya.

“Baru deket berapa bulan udah lamaran?” tanya Maudi pada ibunya.

Tiar mengangguk. “Iya kalo udah cocok kenapa harus nunggu lama-lama,” jawab Ibu Maudi itu tanpa peduli perasaan sang putri yang berdarah-darah. “Orang anaknya sama-sama suka, orang tuanya setuju, punya tabungan, kerjaan jelas, ya udah nikah.”

Sama-sama suka, orang tua kasih restu, dan jelas.

Dari awal Maudi tak ingin membandingkan dirinya dengan Sera namun, benar, kalau soal ini ia memang kalah telak.

Maudi berdehem. “Rean bukannya di Jakarta?”

“Katanya mau balik buat ngeresmiin hubungan dulu,” jawab Tiar lagi sembari menatap televisi. “Nikahnya nanti, hitung tanggal baik dulu sama orang tua.”

Aduh! Ada lamaran sudah pasti ada nikah.

Tambah galau deh, Maudi. Hendak di tinggal nikah setelah diberi harapan palsu, ditambah malang lagi ia harus melihat resepsi dua hari dua malam pernikahan Sera dan Rean dari jendela kamarnya.

Maudi sudah menjerit perih membayangkan itu semua.

“Nggak mau lah, Bu,” tolak Maudi setelah beberapa detik diam. Ini adalah penolakan atas permintaan untuk menemani Sera lamaran.

Tiar menoleh ke Maudi. “Kenapa? Wong temen kecil mau lamaran masa kamu ngga ngehormatin, Sera nanti juga pasti nemenin kalo kamu nikah.”

Saat itu ponsel Maudi berbunyi, menampilkan notifikasi dari aplikasi perpesanan berwarna hijau.

Buaya buntung! Masih bisa tanya ‘lagi apa’ kepada anak gadis orang yang notabenenya adalah jomblo dari lahir, sudah tau jomblo itu gampang baper, dasar sengaja! Tukang tebar pesona! Tukang PHP!

Maudi mengabaikan pesan itu, ia hanya membacanya tanpa mengetik balasan, setelah itu Maudi langsung menekan tombol kembali dan mendorong ponselnya jauh-jauh.

“Kenapa?” ulang Tiar lagi. Menanyakan alasan Maudi menolak.

Maudi berpikir. Diam beberapa detik. Lalu bergumam. “Aku- Em, Aku ada panggilan kerja.”

Seketika itu juga mata Tiar menatap serius. “Jangan bercanda.”

Maaf bu, kata Maudi dalam hati.

Maudi mengangguk pada ibunya, menegakan punggung dan duduk kembali. “Beneran, di Jakarta.”

Tiar menghembuskan napas kecil. “Kerja apa?”

Hayok Mod, ngarang!

Maudi bergumam sejenak, lalu ia pura-pura membuka ponsel, membaca pesan dari Eva yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pekerjaan.

“Di kantor penerbit buku, ada itu namanya Camilla Publisher,” jawab Maudi pada ibunya, kebohongan yang lancar.

Tiar tak lagi berfokus pada sinetron di tv, ia sudah sepenuhnya menolah pada putrinya, bertanya lagi. “Kerja jadi apa?”

“Jadi admin,” balas Maudi lancar, santai dan tak berbeban.

“Admin apa, admin kan macem-macem, apa lagi itu perkantoran,” sahut Tiar lagi, kritis.

Maudi memejamkan mata sekilas, gadis bercepol itu mengibaskan tangan. “Ya adalah, pokoknya admin,” kata Maudi lagi. “Berangkat besok.”

Kini kerutan keran tak malu Tiar berikan. Ibu Maudi itu menyirit. “Kok mendadak? Kenapa nggak bilang dulu sama ibu dari kemarin?”

Maudi melengos sekilas. “Ini juga kan mau bilang tadi, tapi ibu nyerocos duluan soal rumah sebelah.”

Maudi mengerti bukan hal gampang bagi ibu membiarkan putri perempuan satu-satunya pergi. Maudi juga tau, kalau dirinya memang perlu mendapat keraguan sebanyak itu, secara, Maudi kurang tau caranya bersosialisasi, tak mampu menjadi muka dua hanya untuk menyenangkan hati orang, tidak mampu patuh perintah orang lain, pasti ada saja yang dibantah. Oleh karena itu, posisi orang-orang seperti Maudi dalam dunia kerja sangatlah mempunyai keselamatan kontrak yang riskan.

Tiar diam beberapa saat sebelum berkata. “Nggak bisa cari kerjaan di sini aja? Kan banyak loker, yang butuh karyawan juga banyak.”

Membujuk anak perempuannya untuk tidak gegabah mangambil keputusan. Nanti malah sia-sia, sudah pergi jauh ke rantu dan malah tak mendapat apa-apa.

Maudi tak menjawab dengan suara, hanya mengangguk meyakinkan.

“Kali ini beneran?” tanya Tiar lagi.

“Iya,” jawab Maudi akhirnya.

“Ya udah, besok dianterin Mas Mario ya,”

Oke.

Malam itu. Maudi berkata pada dirinya sendiri. Jangan pulang kalau belum sukses. Jangan pulang kalau belum punya uang buat membeli omongan orang. Jangan pulang kalau belum punya gandengan!

Selamat tinggal sementara Purwokerto! Jakarta I’m coming!

--

Esteifa

Purwokerto adalah kota tempatku tinggal:) cerita ini fiksi, bukan kisah nyata, apalagi kisah cintanya, cuma bagian pengangguran yang diambil dari pengalaman pribadi author. Selamat datang di kisah Maudi!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status