Sarla sudah membuat keputusan. Telah dirinya pikirkan matang sejak semalam akan jalan diambil. Menangis dan meratapi nasib tidak mampu untuk mengubah apa pun dalam kondisi dihadapinya.
Yang dibutuhkan adalah cara bertahan. Menyerah sama saja melukai harga diri. Sarla enggan dicap wanita lemah menerus oleh pria bernama Wilzton. Ia bisa menjadi orang lebih baik dan kuat lagi. Hanya tinggal memberikan pembuktian.
Tak ada uang untuk menyelamatkan selain dirinya sendiri. Sarla berpikir bahwa ia tengah bertempur di medan perang. Sudah bertekad akan menang dan mengalahkan Wilzton Davis dengan caranya. Ia yakin akan sangat bisa menaklukan pria itu. Uang Wilzton pun menjadi target utamanya.
Mengenai hukuman diberikan ayah dan sang ibu. Ia akhirnya bisa menerima. Memanglah harus juga dijalani sebagai penebusan kesalahan.
Minimal harus memberikan bukti kepada orangtuanya jika ia bisa berubah menjadi lebih baik dengan pelajaran seperti ini. Sarla bertekad saat semuanya sudah selesai, ia akan kembali pulang dengan sifat yang lebih baik lagi. Tentu, bisa membuat bangga kedua orangtuanya. Kebiasaan buruknya ditinggalkan.
"Apakah ini benar kamar dia?" Sarla bergumam pelan sembari mengamati pintu besar di depannya yang sedang tertutup rapat. Keadaan sekitar sepi.
"Aku harus bagaimana? Langsung mengetuk atau aku tunggu dia keluar dulu?" Sarla pun melanjutkan monolog masih dengan suara yang seperti tadi.
Tak dibiarkan dirinya mengambil keputusan terlalu lama. Hanya dibutuhkan lima detik saja berpikir dan juga memantapkan kehendaknya masuk ke ruang tidur Wilzton. Segala risiko tentang sikap dan reaksi dari pria itu sudah siap ditanganinya. Sebab, ingin segera diselesaikan masalah.
Terutamanya soal kesepakatan yang sempat dibicarakan pria itu. Dengan langkah kaki kian pelan, Sarla berjalan ke dalam setelah menutup pintu. Aroma dari pewangi ruangan yang sangat harum terhirup hidungnya.
Cahaya lampu menerangi ruangan yang baginya luas. Hampir sama dengan kamar tidurnya. Hanya saja tidak terlalu ada banyak benda. Sofa, ranjang ukuran besar, meja kerja. Wardrobe terletak di sisi lain ruangan. Begitu juga dengan kamar mandi ada di salah satu sudut. Cukup jauh, tetapi bisa dilihat.
"Dia pasti sedang ada di sana," gumam Sarla pelan dalam nada mantap. Mengungkapkan kesimpulan yang muncul di kepalanya secara tiba-tiba tentang keberadaan Wilzton. Didukung dengan terdengar gemericik suara shower memasuki telinganya.
Lantas, diputuskan untuk berjalan ke arah balkon. Dirinya seperti ditarik oleh magnet. Walau, kedua mata hanya diberikan suguhan langit malam tanpa banyak bintang yang menerangi. Namun, tetap saja keinginan kuat berdiri di depan balkon kian kuat. Ia pun berhasil melakukannya tak sampai satu menit. Semilir angin menyambutnya. Udara lebih dingin. Tetapi, tetap menyejukannya. Pemandangan taman kini menjadi momen diabadikan oleh matanya.
"Miss Sarla ...,"
Suasana hati yang baru saja tentram, kembali jadi terusik karena panggilan diterimanya dengan nada sinis. Tentu, Wilzton Davis adalah pelakunya. Ia pun memilih membalikkan badan agar dapat tahu lebih jelas keberadaan dari pria itu, tentu saja.
"Kenapa kau berpenampilan seperti ini?" tanyanya dengan spontan sebab begitu merasa terkejut.
Siapa pun akan bereaksi sama saat di depannya disuguhkan pemandangan pria yang tengah tidak mengenakan baju, bertelanjang dada.
Sementara, bagian bawah hanya dililitkan sebuah handuk saja. Belum lagi tubuh Wilzton tampak basah, entah karena air ataupun keringat. Tidak dapat dipastikan dengan jelas. Namun, harus diakui jika pria itu kian terlihat seksi, gagah, tampan, dan memesona.
"Aku habis mandi. Belum berpakaian. Jangan kira aku akan mengajakmu bercinta, Miss Sarla."
Sarla memelototkan kedua mata ke arah Wilzton yang berjalan mendekat. Ia pun dengan refleks melangkah mundur. Kemudian, kepalanya digeleng-gelengkan. Tatapan kian dilekatkan. Dada mulai panas akan tuduhan dilayangkan pria itu.
"Aku tidak pernah berpikir aku dan kau akan tidur bersama, apalagi sampai bercinta. Kau bukanlah pria yang aku inginkan." Sarla menjawab tegas. Tak lupa menunjukkan juga nada bicara yang sinis.
"Hahaha. Begitukah? Lalu, kenapa kau masuk ke kamarku malam begini, Miss Sarla? Kau jangan jual mahal. Aku tidak akan menolak tawaranmu."
Sarla semakin emosi mendengar celotehan Wilzton yang masih menuduhnya secara sepihak. Dilempar lagi sorot mata lebih tajam. "Aku sudah bilang aku tidak mau melakukan apa pun denganmu. Bercinta atau mendapatkan kepuasan seksual bersamamu."
"Maaf jika aku lancang ke kamarku tanpa meminta izin terlebih dahulu. Aku hanya ingin membicarakan soal kesepakatan yang pernah kau katakan. Aku rasa aku setuju tentang itu demi menjaga ak--"
Tak dapat diselesaikan ucapan akibat gerakan dari kedua tangan Wilzton begitu cepat menariknya. Ia tidak memiliki waktu melawan juga karena pria itu sudah mengangkat tubuhnya. Benar, digendong. Tentu usaha dalam melawan dilakukan agar bisa segera diturunkan. Namun, nyatanya tak berhasil.
Menyerah dengan mudah bukanlah sesuatu yang akan dilakukan. Ia pun bertekad untuk terus menunjukkan perlawanan.Tidak ada yang menolong menyelamatkan dirinya. Ia tengah sendiri di rumah Wilzton. Tak akan diraih bantuan dari siapa pun. Hanya ia seorang yang mampu melakukannya."Bisakah kau berhenti bergerak? Kau pikir jika badanmu tidak berat, Miss Sarla?""Aku tidak peduli!" Sarla berseru dengan kencang. Amarahnya semakin meningkat.Kedua telinga pun tambah memanas karena ejekan dilontarkan oleh Wilzton Davis. Ia tak senang dikomentari tentang bobot dari tubuhnya.Hal yang baginya sensitif. Tidak akan suka diejek gemuk. Sebab, selama ini sudah dilakukan berbagai macam program menjaga beratnya. Tak bisa diterimanya."Lepaskan aku sekarang! Jangan kau pernah berpikir kau akan bisa memaksaku unt--"Sarla harus menghentikan perkataan akibat dilanda kekagetan besar dirinya dihempas ke kasur Wilzton yang empuk. Ia pun berada dal
Menunggu adalah hal paling tidak menyenangkan bagi Sarla. Terlebih, tanpa kepastian yang jelas atas keputusan sudah dibuatnya.Rasa mual pada sosok pria menyebalkan nan sombong, Wilzton, tak terbendung sejak mereka terakhir berbicara tadi di dalam. Debat tentu mewarnai.Dirinya diusir paksa dari ruangan tidur pria itu. Tak ada pilihan selain menanti Wilzton keluar. Dan, ia sudah berdiri di depan pintu hampir setengah jam.Kedua kakinya mendapatkan efek, pegal-pegal. Ia harus segera beristirahat untuk memulihkan tenaga dan pikiran yang masih senantiasa terkuras.Rasa kantuk juga menyerang karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, tidak bisa pergi ke kamarnya. Ia membutuhkan jawaban yang lebih pasti lagi.Benar, kesepakatan secara tertulis agar semua jelas dan juga memiliki dasar hukum. Jika terjadi masalah yang tak diduga-duga, ia bisa menuntut.Wilzton Davis tipikal pria yang misterius. Ia tidak bisa merasa
Wilzton merasakan kesunyian cukup mencekam, saat masuk ke dalam kamar tidur Sarla. Sedangkan, suasana juga gelap. Tanpa ada nyala lampu yang menerangi.Namun demikian, ia masih tak menemukan kendala berjalan ke ranjang tidur wanita itu dengan langkah santai saja. Seringaian dibentuknya pada wajah. Tatapan lurus ke depan."Miss Sarla!" Wilzton berseru kencang, sengaja.Salah satu sudut bibir semakin dinaikkan. Ia sudah berdiri di samping tempat tidur yang digunakan oleh Sarla.Arah pandang pun telah terpusat penuh ke sosok wanita itu. Tak ada tanda-tanda respons dari Sarla. Walau, volume suaranya terbilang keras. Ia begitu yakin sudah didengar. Tak mungkin tidak."Aku kira kau tidak akan malas lagi. Ternyata, masih saja kau lakukan kebiasaanmu. Cepat bangun! Kau tidak boleh menjadi pemalas."Telinga Sarla langsung memanas karena seruan begitu kencang nan penuh sindiran diucap oleh seseorang.Sangat dikenalinya dengar benar pemilik
Sarla membutuhkan waktu selama lebih dari satu jam untuk menyelesaikan dua pancakes berukuran sedang untuk menu sarapan dirinya dan Wilzton.Ditambah dengan dua gelas jus strawberri yang diminta secara khusus oleh pria itu kepadanya tadi.Semua sudah terhidang di meja makan berbentuk bulat yang cukup besar. Tak ada makanan lainnya tersaji.Dan secara tiba-tiba saja, Sarla mengingat momen sarapan di rumah bersama ayah, ibu, serta sang kakak dengan menu beragam dibuatkan oleh para pelayan. Semua sangat enak, ia rindu.Penyesalan pun juga menyelimutinya atas sikap dan gaya hidup glamour selama ini sudah dijalani. Namun, tak akan berlaku permohonan maaf dari dirinya.Dan, tetap harus menjalani hukuman sebagaimana mestinya yang sudah ditetapkan oleh ayah dan sang ibu. Entah sampai kapan, tak ada kejelasan yang diberitahukan Wilzton.Pria itu masih ingin menunjukkan kemisteriusan pada dirinya. Ia enggan untuk lebih terpancing lagi.Ta
"Kenapa sangat sulit?" gerutu Sarla dalam intonasi yang rendah saja, namun sarat akan penekanan."Kenapa aku tidak bisa menemukan pemecahan? Aku yang bodoh atau bagaimana? Ya ampun!"Sarla memukul kepalanya. "Ayo, berpikir."Sementara, kedua matanya terpusat memandang ke arah tablet dan juga laptop terletak di atas meja. Lebih tepat pada pekerjaan menghitung gambar hotel yang tengah dilakukan.Belum selesai dirinya kerjakan semua. Baru setengah lebih saja berhasil dituntaskan dengan hasil yang tidak diyakini benar."Kenapa dia harus memberikanku pekerjaan yang sulit?""Apakah mau membuatku terlihat semakin bodoh saja, ya? Cih, dia pembullying sejati."Kepala sudah pusing bukan main. Tentu efeknya harus demikian karena kebingungan yang sedang melandanya pun begitu besar. Perlu beristirahat sejenak.Namun, tidak mungkin bisa dilakukan. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan diberikan oleh Wilzton Davis.Waktu
Wilzton masih tidak menyangka jika Sarla akan mampu menghabiskan dua botol wine hanya dalam waktu dua jam saja. Di matanya, wanita itu seperti tidak kuat mengonsumsi minuman beralkohol dengan jumlah yang banyak, paling hanya akan beberapa gelas saja.Ternyata, dugaan meleset. Namun memang tak semua. Ya, kecuali ketahanan Sarla terhadap efek wine yang diminum.Wanita itu mabuk berat dan kehilangan kesadaran, tidak sampai pingsan atau tertidur memang. Tetapi, diajak berkomunikasi mulai sulit."Miss Sarla, apa kau masih terjaga?" tanyanya basa-basi, sebagai pembuktian.Ya, ingin melihat reaksi dari Sarla akan sesuai akan prediksi ataukah tidak. Jika bisa memberi balasan yang tepat, maka kesadaran wanita itu masih bisa bekerja.Tidak perlu repot-repot melibatkan diri untuk mengurus Sarla, dalam artian mengantar ke kamar tidur."Miss Sarla, kau baik-baik saja bukan?" tanyanya ulang, suara lebih dikeraskan.
Sarla sudah merasakan pusing yang teramat pada bagian kepala sejak beberapa menit pasca bangun dari tidurnya.Namun, ia tak bisa membuka kedua kelopak mata yang rasanya begitulah berat. Dipilih untuk tak berusaha lebih keras. Akan sia-sia saja.Sarla pun sudah tahu penyebab dari rasa pusing hebat yang menyerangnya. Ya, karena mabuk.Jika tak salah ingat, ia menghabiskan lima gelas lebih yang berukuran besar. Tidak mengherankan dirinya seperti ini.Namun, tak akan ada penyesalan. Meski juga masalah menimpanya harus tetap dijalankan hingga akhir. Kenyataan yang enggan diingatnya.Hanya akan menimbulkan rasa bersalah dan sesal di dalam dirinya. Teringat pula dengan ayah serta sang ibu.Kerinduan semakin besar. Masih tak ada komunikasi bisa dilakukan, walau lewat telepon. Entah sampai kapan waktunya menghubungi."Siapa yang memelukku?" Sarla pun melontarkan kalimat tanya dengan nada yang begitu terkejut. Bahkan, me
"Jadi, Wilzton sedang tidak ada di kantor? Dia libur atau hanya datang terlambat?"Christoper menaikkan kedua ujung bibirnya secara bersamaan, saat menyaksikan Varoline Roberts yang tertawa. Ia senang melihat ekspresi sekretaris dari sang sahabat, Wilzton Davis.Varoline pun kian memesona di matanya. Kekaguman bertambah. Ia harus mengakui juga ketertarikannya semakin kuat pada Varoline. Ya, sebagai pria dewasa."Maaf, aku tertawa. Maaf juga jika terlihat tidak sopan sikapku ini, Mr. Parker."Christoper ikut tergelak. Tangan kanan dikibaskan dengan gerakan ringan. "Tidak masalah. Kau bebas tertawa tentang apa pun kau inginkan," jawabnya dalam nada menggoda."Kau membalas seperti ini, seolah menegaskan aku tidak punya kesopanan. Tapi tadi kau juga salah, ucapanmu meragukan apa yang aku sampaikan. Kau membalas dengan nada ejekan."Christoper masih tertawa. "Begitulah. Baiklah. Apa kau mau memaafkanku?" tanyanya dalam nada serius. Sudah di