"Cepat bangun!"
"Sudah jam sebelas. Cepatlah bangun!"
"Miss Sarla, aku tidak menduga kau pemalas."
Sejak mendengar seruan pertama, Sarla sudah ingin membuka kelopak matanya. Namun, ia tidak dapat karena terasa terlalu berat. Meski demikian, tak pantang. Terus saja berupaya dilakukannya.
Suara berat milik pria yang tak asing, sebab pernah didengar. Ya, kemarin di rumah orangtuanya. Dan, masih diingat jelas bagaimana paras tampan dari pria itu yang membuat debaran jantung meningkat.
"Bangunlah, Miss Sarla. Setidaknya sebelum aku berbuat suatu hal agar kau mau menuruti se--"
Tepat setelah membuka mata, pria yang sedang menjadi pusat pandangannya pun berhenti berucap. Mereka saling memandang. Kegugupan melanda Sarla kembali karena tatapan intens pria itu yang diarahkan tepat pada matanya dengan jarak tidak terlalu jauh. Bahkan, kurang dari satu meter.
Bukan hanya pancaran mata mengganggu, namun juga posisi mereka berdua. Pria itu ada di atasnya. Tidak menindih memamg karena kedua tangan kekar pria masih sangat asing itu berada di sisi-sisi tubuhnya. Namun, tetap saja ia merasa risi, apalagi mereka baru bertemu semalam. Belum mengenal dengan baik bahkan mendalam satu sama lain.
Kewaspadaan pun semakin ditingkatkan. Terutama gerak-gerik pria itu. Jika sampai melakukan hal-hal yang tidak pantas, maka ia harus menunjukkan perlawanan. Menggunakan tenaga sekuat mungkin karena tidak menguasai jurus bela diri apa-apa.
"Miss Sarla, cepatlah bangun!"
"Sudah aku katakan aku tidak suka dengan wanita pemalas. Apalagi, kau sedang berada di rumahku!"
Tepat setelah seruan kencang yang ditujukan pada dirinya selesai dilontarkan, maka kedua mata pun dibuka selebar mungkin. Pemandangan pertama ditangkapnya adalah seorang pria dengan paras tampan yang dilihat di rumah orangtuanya. Masih bisa diingat jelas. Tak akan mungkin sampai salah.
Sarla hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya sembari meraih ketenangan lebih banyak. Tidak ingin semakin kuat dikuasai oleh perasaan gugup. Namun, seperti sulit dilakukan, saat pria itu tetap tak menyingkir dari atasnya. Bahkan, ia mampu merasakan embusan napas halus pria itu.
"Akhirnya, kau bangun juga, Miss Sarla. Hampir saja aku menciummu agar kau segera merespons."
Sarla langsung bereaksi dengan kedua mata yang membelalakan. Tiba-tiba ia ngeri. Terlebih merasa bahwa sosok pria di hadapannya bukanlah tipe yang bisa dipercayai. Mereka belum saling kenal satu sama lain. Wajar penilaiannya demikian dan juga menaruh kewaspadaan kian besar saja.
"Apa kau bilang? Aku bukan wanita murahan yang seenaknya saja bisa kau cium! Kurang ajar!" seru Sarla marah dan melakukan gerakan mendorong.
Tentu, pria yang sedang menindihnya menjauh juga. Walau, tidak sampai terjatuh ke lantai. Lalu, ia bergegas saja bangun. Berdiri di dekat tempat tidur sembari masih memusatkan pandangan ke sosok pria yang masih berupaya untuk diingat namanya. Namun, belum mampu juga. Tetap dilupakannya.
"Siapa kau?" Sarla memutuskan bertanya dengan intonasi yang semakin meninggi nan sinis.
"Kau tidak ingat siapa aku, Miss Sarla?"
Sarla menggeleng dengan cepat. "Aku masih ingat wajahku. Tapi, tidak namamu. Aku lupa, walaupun aku sudah berusaha mengingat," jawabnya jujur.
"Kau masih mengingat wajahku? Pasti karena aku tampan. Sudah bukan menjadi rahasia lagi."
Sungguh, Sarla merasa mual seketika mendengar jawaban dilongarkan pria yang sudah berdiri di depannya. Ya, saling berhadap-hadapan dengan bentangan jarak yang bisa dikatakan tidak jauh. Ia harus mendongakan kepala karena tinggi mereka yang begitu kontras. Diperlihatkan ekspresi sinis.
"Sangat percaya diri sekali kau, ya." Sarla loloskan sindiran dalam nada tidak santai. "Tapi, tolonglah bilang siapa namamu, Tuan," pintanya, kemudian.
"Dan, di mana aku sedang berada sekarang? Apa di rumahmu?" Terlontar pertanyaan tambahan.
"Namaku Wilzton Davis. Kau memang sedang ada di rumahku. Kau pasti sudah tahu alasannya."
Sarla menggigit bibir bagian bawah, mengangguk pelan. "Apa Mom dan Dad benar menghukumku?"
"Sudah pasti. Anggap pembayaran atas kesalahan yang kau lakukan. Aku rasa kau pantas menerima hukumana agar kau bisa berubah, Miss Sarla."
Sarla lebih melekatkan tatapan. "Apa yang akan kau lakukan dalam rangka membuatku sadar? Bisa kau memberitahukan kepadaku, Mr. Davis?"
"Masih rahasia, Miss Sarla. Kau hanyalah perlu mengikuti perintahku. Kau dilarang membantah. Kau juga tidak akan menerima bantuan dari siapa pun karena orangtuamu sudah menyerahkan kau sepenuhnya kepadaku untuk menghukummu."
Sarla tidak pernah menangis dan merasa sesedih ini akan keadaan dialaminya. Situasi yang bahkan tak sekalipun dibayangkan akan menimpanya. Ia kini harus menghadapi kondisi tidak menyenangkan tanpa adanya persiapan apa-apa sama sekali.Hanya pakaian melekat di tubuh satu-satunya yang dibawa. Handphone dan dompet kesayangan berisi sejumlah uang serta kartu-kartu bank sudah tidak ada. Sarla menganggap dirinya menyedihkan.Kehidupan berubah dalam semalam saja. Jauh dari keluarga. Berada dengan orang asing yang cukup menyebalkan dan sombong di tempat belum bisa diketahuinya menjadi cobaan terasa kian terberat.Pikiran Sarla pun buntu. Tidak bisa untuk mencari solusi terbaik yang dapat menyelamatkan dirinya secara cepat. Memasrahkan semua bukan pilihan yang menguntungkan baginya kedepan. Ia enggan menyerah terlalu dini tanpa usaha untuk mengamankan dirinya. Namun, kondisi tak dapat memberikan dukungan sesuai dengan harapan.
Sarla sudah keluar dari kamar tidur yang ditempati sejak satu jam lalu. Hampir tiga puluh menit waktu dihabiskan menelusuri lantai demi lantai dalam mansion luas milik pria bernama Wilzton Davis.Kini, Sarla telah berada di bagian teratas kediaman pria itu. Hanya dikelilingi atap dan juga kebun kecil, namun asri. Angin berembus semilir, memberikan sedikit kesejukan ditengah cuaca yang panas.Sarla tidak bisa menampik kekaguman akan desain interior dan bangunan. Begitu elegan serta mewah, walau bergaya minimalis. Halaman luas dipenuhi tanaman-tanaman bunga dan pepohonan rindang menambah kesan yang indah. Seharusnya mampu memberikan ketenangan serta juga kenyamanan.Kenyataannya, Sarla semakin dilanda kegelisahan. Dan ia terus memikirkan bagaimana nasibnya yang tambah membingungkan. Jalan keluar belum bisa juga ditemukan. Pikiran masih terus buntu. Tidak bisa menemukan cara membebaskan dirinya dari Wilzton dan hukuman diberikan oleh k
Sarla sudah membuat keputusan. Telah dirinya pikirkan matang sejak semalam akan jalan diambil. Menangis dan meratapi nasib tidak mampu untuk mengubah apa pun dalam kondisi dihadapinya.Yang dibutuhkan adalah cara bertahan. Menyerah sama saja melukai harga diri. Sarla enggan dicap wanita lemah menerus oleh pria bernama Wilzton. Ia bisa menjadi orang lebih baik dan kuat lagi. Hanya tinggal memberikan pembuktian.Tak ada uang untuk menyelamatkan selain dirinya sendiri. Sarla berpikir bahwa ia tengah bertempur di medan perang. Sudah bertekad akan menang dan mengalahkan Wilzton Davis dengan caranya. Ia yakin akan sangat bisa menaklukan pria itu. Uang Wilzton pun menjadi target utamanya.Mengenai hukuman diberikan ayah dan sang ibu. Ia akhirnya bisa menerima. Memanglah harus juga dijalani sebagai penebusan kesalahan.Minimal harus memberikan bukti kepada orangtuanya jika ia bisa berubah menjadi lebih baik dengan pel
Menyerah dengan mudah bukanlah sesuatu yang akan dilakukan. Ia pun bertekad untuk terus menunjukkan perlawanan.Tidak ada yang menolong menyelamatkan dirinya. Ia tengah sendiri di rumah Wilzton. Tak akan diraih bantuan dari siapa pun. Hanya ia seorang yang mampu melakukannya."Bisakah kau berhenti bergerak? Kau pikir jika badanmu tidak berat, Miss Sarla?""Aku tidak peduli!" Sarla berseru dengan kencang. Amarahnya semakin meningkat.Kedua telinga pun tambah memanas karena ejekan dilontarkan oleh Wilzton Davis. Ia tak senang dikomentari tentang bobot dari tubuhnya.Hal yang baginya sensitif. Tidak akan suka diejek gemuk. Sebab, selama ini sudah dilakukan berbagai macam program menjaga beratnya. Tak bisa diterimanya."Lepaskan aku sekarang! Jangan kau pernah berpikir kau akan bisa memaksaku unt--"Sarla harus menghentikan perkataan akibat dilanda kekagetan besar dirinya dihempas ke kasur Wilzton yang empuk. Ia pun berada dal
Menunggu adalah hal paling tidak menyenangkan bagi Sarla. Terlebih, tanpa kepastian yang jelas atas keputusan sudah dibuatnya.Rasa mual pada sosok pria menyebalkan nan sombong, Wilzton, tak terbendung sejak mereka terakhir berbicara tadi di dalam. Debat tentu mewarnai.Dirinya diusir paksa dari ruangan tidur pria itu. Tak ada pilihan selain menanti Wilzton keluar. Dan, ia sudah berdiri di depan pintu hampir setengah jam.Kedua kakinya mendapatkan efek, pegal-pegal. Ia harus segera beristirahat untuk memulihkan tenaga dan pikiran yang masih senantiasa terkuras.Rasa kantuk juga menyerang karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, tidak bisa pergi ke kamarnya. Ia membutuhkan jawaban yang lebih pasti lagi.Benar, kesepakatan secara tertulis agar semua jelas dan juga memiliki dasar hukum. Jika terjadi masalah yang tak diduga-duga, ia bisa menuntut.Wilzton Davis tipikal pria yang misterius. Ia tidak bisa merasa
Wilzton merasakan kesunyian cukup mencekam, saat masuk ke dalam kamar tidur Sarla. Sedangkan, suasana juga gelap. Tanpa ada nyala lampu yang menerangi.Namun demikian, ia masih tak menemukan kendala berjalan ke ranjang tidur wanita itu dengan langkah santai saja. Seringaian dibentuknya pada wajah. Tatapan lurus ke depan."Miss Sarla!" Wilzton berseru kencang, sengaja.Salah satu sudut bibir semakin dinaikkan. Ia sudah berdiri di samping tempat tidur yang digunakan oleh Sarla.Arah pandang pun telah terpusat penuh ke sosok wanita itu. Tak ada tanda-tanda respons dari Sarla. Walau, volume suaranya terbilang keras. Ia begitu yakin sudah didengar. Tak mungkin tidak."Aku kira kau tidak akan malas lagi. Ternyata, masih saja kau lakukan kebiasaanmu. Cepat bangun! Kau tidak boleh menjadi pemalas."Telinga Sarla langsung memanas karena seruan begitu kencang nan penuh sindiran diucap oleh seseorang.Sangat dikenalinya dengar benar pemilik
Sarla membutuhkan waktu selama lebih dari satu jam untuk menyelesaikan dua pancakes berukuran sedang untuk menu sarapan dirinya dan Wilzton.Ditambah dengan dua gelas jus strawberri yang diminta secara khusus oleh pria itu kepadanya tadi.Semua sudah terhidang di meja makan berbentuk bulat yang cukup besar. Tak ada makanan lainnya tersaji.Dan secara tiba-tiba saja, Sarla mengingat momen sarapan di rumah bersama ayah, ibu, serta sang kakak dengan menu beragam dibuatkan oleh para pelayan. Semua sangat enak, ia rindu.Penyesalan pun juga menyelimutinya atas sikap dan gaya hidup glamour selama ini sudah dijalani. Namun, tak akan berlaku permohonan maaf dari dirinya.Dan, tetap harus menjalani hukuman sebagaimana mestinya yang sudah ditetapkan oleh ayah dan sang ibu. Entah sampai kapan, tak ada kejelasan yang diberitahukan Wilzton.Pria itu masih ingin menunjukkan kemisteriusan pada dirinya. Ia enggan untuk lebih terpancing lagi.Ta
"Kenapa sangat sulit?" gerutu Sarla dalam intonasi yang rendah saja, namun sarat akan penekanan."Kenapa aku tidak bisa menemukan pemecahan? Aku yang bodoh atau bagaimana? Ya ampun!"Sarla memukul kepalanya. "Ayo, berpikir."Sementara, kedua matanya terpusat memandang ke arah tablet dan juga laptop terletak di atas meja. Lebih tepat pada pekerjaan menghitung gambar hotel yang tengah dilakukan.Belum selesai dirinya kerjakan semua. Baru setengah lebih saja berhasil dituntaskan dengan hasil yang tidak diyakini benar."Kenapa dia harus memberikanku pekerjaan yang sulit?""Apakah mau membuatku terlihat semakin bodoh saja, ya? Cih, dia pembullying sejati."Kepala sudah pusing bukan main. Tentu efeknya harus demikian karena kebingungan yang sedang melandanya pun begitu besar. Perlu beristirahat sejenak.Namun, tidak mungkin bisa dilakukan. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan diberikan oleh Wilzton Davis.Waktu