“Cuk! Mid!” seru seorang anak laki-laki yang berumur delapan belas tahun. Matanya sedang fokus menatap layar monitor lima belas inch. Anak itu sedang fokus memainkan game MOBA—permaian tim dalam jaringan berbasis pertarungan dalam arena—bersama tim kesayangannya.
“Woy! Anj—”
“Sabar, Arya! Aing otw nih,” sahut temannya dari dalam game tersebut.
“Lo kebanyakan farming, Cuk! Mid sampe ditinggal,” komentar anak laki-laki itu. Tangan kirinya tak berhenti memencet tombol pada keyboard-nya, memberikan efek skill pada lawan di dalam game tersebut. Sementara itu tangan kanannya sibuk memegang mouse, berjaga jika dia harus bergerak untuk menghindar dari serangan musuh.
“Arya! Arya!” panggil seorang wanita sembari menggedor pintu kamar. “Arya! Buka pintunya!” serunya lagi. Perempuan itu berteriak sangat keras, tapi Arya tak menggubrisnya.
“Arya, ibu lo manggil, tuh,” tegur seorang temannya di dalam game. Namun sayang, Arya tak menggubris ucapan temennya itu. Dia fokus memberikan skill demi skill pada lawan di dalam game, sampai dia mendapatkan triple kill-nya.
“Arya! Kamu denger Ibu, nggak? Ibu tahu kamu lagi main game!” teriak perempuan itu lagi. Dia terdengar sangat marah pada anak laki-lakinya itu.
“Arya, ke sana dulu, gih. Ibu maneh udah teriak-teriak. Mati sekali nggak papa kali.” Temannya yang lain menegur Arya.
“Bacot, lo, Hildan. Main, ya main aja. Gak usah peduliin Ibu gue!” sergah Arya yang tatapannya tak lepas dari layar monitor. Bola matanya itu bergerak mengikuti arah karakter hero-nya di dalam game.
“Yeh, aing gak enak aja. Ibu maneh kedengerannya udah marah-marah gitu,” timpal Hildan.
‘You have been slain.’ Terdengar suara dari dalam game dan seketika karakter hero Arya dalam game itu mati.
“Jancuk! Bacot anjayani!” geram Arya. Ia kemudian langsung membanting mouse dan juga headset yang sedang dikenakannya. Kemudian ia beranjak dengan perasaan kesal dan marah. Wajahnya pun berubah merah padam. Arya melangkahkan kaki menuju pintu dan menghampiri ibunya.
“Apa, sih? Arya kan bilang kalau lagi main game jangan diganggu!” sentak Arya saat dia membukakan pintu dan mendapati sang ibu dengan tatapan tajam.
“Game, game, game! Apa ibu perlu bakar komputermu itu, hah?” pekik sang ibu kesal.
“Ah! Ya udah mau apa manggil Arya?” Dia menyentak kembali wanita yang ada di hadapannya. Sungguh, Arya tidak memiliki sopan santun pada ibunya sendiri.
“Ya Tuhan, Arya!” sentak Eva, ibu Arya. Kini perempuan itu sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Anak laki-lakinya sudah sangat kelewat batas.
“Apa sih, Bu? Kalau nggak penting banget gak usah panggil-panggil Arya!”
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Arya. Ini adalah kali pertama sang ibu menamparnya, membuat Arya sedikit kaget dan tersentak. Perlahan Arya menatap ke arah ibunya dengan pupil yang membulat.
Bahu Eva naik turun, dia melayangkan tatapan tajam dan penuh rasa marah pada anak semata wayangnya. Eva sudah tidak bisa membendung lagi rasa marah, kesal, dan kecewa pada anak laki-lakinya itu. Pasalnya ini bukan kali pertama Arya memperlakukan Eva demikian. Hampir setiap hari anaknya ini memarahinya, tak pernah sedikit pun menuruti perintah Eva.
“Ibu! Beraninya, ya, main fisik sama anak.” Arya menggeram. Wajahnya kini merah padam, matanya membulat maksimal, dan rahangnya pun mengetat.
“Apa? Beraninya main fisik pada anak?” Eva mulai murka. “Ibu setiap hari sudah sabar dengan sikap kamu yang kurang ajar. Dari dulu kamu selalu mementingkan game-mu itu. Sampai sekolah pun terbengkalai. Ibu capek hampir setiap semester dipanggil oleh pihak sekolah. Capek, Ya, capek!” cecar Eva pada anaknya yang menatap sang ibu dengan tatapan kesal. Perempuan itu menepuk-tepuk dadanya, saking sakitnya.
Arya tak langsung menanggapi ibunya. Entah kenapa hatinya benar-benar terluka dengan ucapan sang ibu. Kemudian di tengah emosinya yang mulai memuncak, Arya membatin. 'Arya kayak gini karena siapa? Karena Ibu sama Ayah! Kalau kalian nggak suka berantem dan akhirnya cerai. Arya nggak akan kayak gini!'
Saat Arya duduk di bangku kelas 3 SMP, dia selalu melihat kedua orang tuanya bertengkar. Akhirnya demi menenangkan diri dan pikirannya, anak laki-laki itu memutuskan untuk bermain game.
“Kamu dan ayahmu sama saja! Selalu membentak ibu, memarahi, dan berbuat seenaknya. Kenapa kamu tidak bisa menghargai ibumu sendiri, hah? Aku ibumu, Arya!” jerit Eva frustrasi. Kepalanya hampir pecah menghadapi anaknya ini.
“Kalau Ibu sudah tidak mau mengurusku tinggal bilang, Bu! Aku akan pergi dari sini!” sentak Arya. Bukannya sadar dengan kesalahannya, Arya malah mendorong ibunya sambil berlalu.
Eva tersungkur, kini air matanya sudah tak bisa dia bendung lagi. Tangisannya pecah, ketika mendapatkan perlakuan buruk dari sang anak. Sebagai seorang ibu hatinya benar-benar hancur sekarang. Sungguh, perbuatan anaknya itu sudah tidak bisa dimaafkan.
Anak laki-laki itu lantas pergi meninggalkan ibunya. Arya seperti manusia yang tak memiliki hati. Dia memperlakukan ibunya sangat kasar sekali. Apa dia tidak takut dengan dosa yang akan dia tanggung nanti?
“DASAR ANAK DURHAKA!” jerit Eva ketika melihat anak semata wayangnya itu pergi meninggalkannya.
***
Kicauan burung terdengar jelas di telinga Arya. Ia mencoba membuka matanya perlahan. Di hadapannya dia melihat seekor burung berwarna biru sedang bertengger di lengannya. Merasa sedang ditatap, burung itu tiba-tiba langsung terbang meninggalkan Arya.
Arya menggeliat dan mencoba bangkit. Namun, betapa terkejutnya dia, ketika mendapati dirinya berada disebuah tempat yang sangat asing. Sejauh mata memandang, Arya hanya melihat hamparan rumput berwarna hijau. Arya mendongak ke atas, dia melihat langit yang sangat biru dan beberapa burung berterbangan di atas.
Arya mulai panik. Seingatnya tadi malam dia tidur di depan sebuah mini market yang buka 24 jam. Dan di sana tidak ada hamparan rumput seperti ini.
'Sebenarnya di mana ini? Perasaan semalam di depan mini market nggak ada hamparan rumput kayak begini?' batin Arya.
Belum juga pertanyaan itu terjawab. Tiba-tiba saja Arya melihat sebuah hologram di hadapannya. Awalnya terlihat samar, tapi perlahan mulai jelas. Seorang laki-laki yang kira-kira umurnya empat puluh tahunan, dengan ajaibnya muncul di depan Arya. Hanya jarak sekitar tiga meter antara Arya dengan laki-laki itu.
“I-itu apa?” Mata Arya membulat, jantungnya berdegup kencang. Rasa takut kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Kenapa tiba-tiba muncul sebuah hologram manusia di hadapannya?
BERSAMBUNG ….
Seorang laki-laki paruh baya sedang tergeletak di hamparan rumput hijau. Laki-laki itu terlihat belum sadarkan diri. Buru-buru Arya beranjak dan menghampiri laki-laki itu. Namun, belum juga dia sampai, tiba-tiba Arya dikejutkan dengan kemunculan hologram baru di hadapannya.Arya tersentak dan kemudian dia tersungkur ke belakang. Matanya sampai tak berkedip, karena fokus menyaksikan bagaimana hologram itu terbentuk dengan sempurna. Akhirnya setelah satu menit, dari hologram itu terbentuklah sosok perempuan.Menelan salivanya kasar. Arya semakin kaget, ketika melihat sosok perempuan itu hanya mengenakan lingerie berwarna pink. Buru-buru Arya memalingkan pandangannya ke arah lain.“Oh, shit! Bisa-bisanya ada manusia cuman pake begituan. Hey, mata polos gue jadi ternoda!” rutuk Arya.Arya bangkit, walau rasa takut semakin besar dia rasakan. Dengan tidak menghiraukan perempuan yang kira-kira berumur tiga puluhan itu, dia mencoba melewatinya dan seg
Seorang laki-laki yang terlihat sebaya dengan Arya, berdiri dengan napas terengah-engah. “Lo siapa?” tanya Arya penuh curiga. Jujur saja dia merasa terkejut dan takut. Dia benar-benar tak mengenali siapa pun yang ada di dalam tempat asing itu. “Ah … akhirnya nemu orang yang seumuran.” Seketika laki-laki jangkung dan hitam manis itu memeluk Arya. Wajahnya terlihat berbinar. Mata Arya membulat ketika mendapatkan kontak fisik yang sangat tidak biasa. Buru-buru dia mendorong laki-laki itu menjauh darinya. “Dih, apaan, sih, peluk-peluk? Gak jelas banget,” sindir Arya sembari berusaha melepaskan pelukan laki-laki itu. Dia tidak suka ketika mendapatkan perlakuan intim seperti itu, apalagi dari seorang laki-laki. Laki-laki itu melepaskan pelukannya, kemudian berdiri tepat di depan Arya. Dia menarik sudut bibirnya, menampilkan senyuman di hadapan Arya. Sedangkan Arya, dia memindai tubuh laki-laki itu dari atas sampai bawah. Merasa sedang diamat
“Welcome to Let’s Purify Game.”‘Oh, shit! Serius ini di dalam game? Terus ini game apa?’ Arya hanya bisa membatin kesal sambil membelalakan matanya.Semua orang di sana mulai gaduh, mencari dari mana sumber suara itu berasal. Begitupun dengan Arya dan Idun yang kini sedang berdiri bersebelahan.Seorang laki-laki tiba-tiba berteriak dengan kencang. “Woy! Tunjukin muka, lo! Di mana lo, anj—”Belum juga selesai laki-laki itu berbicara. Suara seorang perempuan langsung menyela ucapan laki-laki itu. Suara itu adalah milik perempuan yang tadi menyapa mereka semua.“Wah, manusia-manusia ini sudah tidak sabar, ya?"Mendengar perkataan itu Arya memicingkan matanya. Walau banyak pertanyaan di dalam otaknya, tapi dia tak ingin gegabah. Dia harus mendengarkan dengan saksama. Arya mencoba untuk menahan emosi yang mulai bergejelok di dalam dadanya.“Bener! Tunjukin mukamu!” seru ora
Arya membelalak, badannya kini terasa dingin, tubuhnya seolah membeku. Terkejut, ketika melihat foto sang ibu ada di dalam daftar orang yang mengirimnya ke sini. “Ibu?!” ucap Arya dengan nada bergetar. Mata itu kini berkaca. Arya kini merasakan lututnya lemas, dia ingin ambruk seketika. Namun, dia berusaha menahannya. “Kenapa ada Ibu di sini? Ini bohong, kan?” teriak Arya. Dirinya kini frustrasi ketika tahu ibunya setega itu kepada anak semata wayangnya. “Kenapa Ibu? Kenapa harus ada Ibu di daftar ini?” raung Arya. Seketika Idun langsung memegang pundak Arya, mencoba menenangkan partner-nya. “Tenang. Jangan marah dan emosi. Siapa tahu dia hanya ingin memprovokasi,” ucap Idun, yang berusaha berlaku tenang. Padahal kenyataannya dia sendiri sedang panik. Laki-laki jangkung itu tak menyangka, karena teman sekolahnya yang mengirim dirinya ke sana. Bahkan wali kelasnya pun mengirim Idun ke dalam game sialan ini. Menoleh ke arah Idun
“Woah! Kamu pilih swordsman?” tanya Idun yang kegirangan dengan role yang dipilih Arya. Arya hanya menarik sudut bibirnya, tersenyum dengan percaya diri. Walau sebenarnya tidak ada yang terjadi pada Arya, setelah dia memilih role tersebut. “Lo apa?” tanya Arya. Idun menggeleng. Laki-laki itu bingung harus memilih role apa. Dia tidak memiliki pengalaman banyak dengan game RPG. Arya mencoba memindai postur tubuh Idun. 'Tinggi dan badannya pun sedikit berisi.' Arya hanya berbicara dalam hati. Kemudian terdengar sebuah bunyi peringatan dari layar dashboard milik Idun. Ternyata waktu yang dimilikinya hanya tiga puluh detik lagi. “Lo pilih guardian aja!” perintah Arya yang mendadak panik. “Hah?” “Cepet! Waktu lo nggak banyak. Lo nggak mau mati konyol gara-gara telat milih role, kan?” paksa Arya. Mendadak Idun pun panik. Benar, dia tidak ingin mati konyol hanya karena telat memilih role dalam game. Alhasil, tanpa
"Jadi, buat apa kita ke hutan?" tanya Idun. Saat ini Arya dan Idun sedang berjalan memasuki hutan belantara. Dengan bermodalkan senjata knife yang Arya beli dan rope yang Idun beli. Mereka mencoba mencari peruntungan untuk bisa membeli senjata yang sesuai dengan role mereka. "Berburu." Arya menjawab dengan singkat. Matanya mencoba melihat ke beberapa titik. Dia sedang mencari hewan, yang sekiranya bisa tangkap dengan alat sederhana miliknya. "Hah? Untuk? Bukannya tugas kita itu memiliki senjata. Kenapa harus berburu?" Arya mendengar sayup-sayup suara dari semak-semak yang berjarak sekitar dua meter darinya. "Ssst!" Laki-laki itu memberikan kode pada Idun untuk diam; tidak bersuara dan berjalan pelan mendekat ke arah sema
Dari semak itu muncul seorang wanita berambut panjang bergelombang. Matanya berwarna cokleat. Tubuhnya ramping dan tinggi, lebih tinggi dari Arya. Jika dilihat secara saksama, sepertinya perempuan itu berumur sekitar 28 tahun.“Aku dengar, di sini ada yang mau berlaku curang, ya?” ucap perempuan itu sembari menyeringai.Arya dan Idun mendadak terpaku di tempat. Mereka tak bisa bergerak sama sekali. Perasaan takut kini menjalar di setiap jengkal tubuhnya. Sesekali mereka saling melemparkan pandang, memberi isyarat untuk tetap tenang dan tidak gegabah.“Aku dengar, di sini ada yang mau berlaku curang, ya?” Karena tidak ada jawaban, baik dari Arya atau Idun, perempuan itu kembali mengulangi pertanyaannya.Menggigit bibir bawahnya, Arya tak bisa lagi
Langit sudah terlihat mulai menggelap. Untung saja perangkap untuk burung kasuari itu selesai sebelum matahari benar-benar terbenam.“Mana lokasi pohonnya?” pinta Idun.Arya yang sedang menyantap makanan, yang dia dapatkan dari hutan, hanya bisa menghela napas. “Lo mau ke sana malem-malem begini?” tanya Arya.“Ngg ... nggak, sih,” jawab Idun.“Ya udah, tunggu. Setelah besok kita dapat hasil buruan, kita ke sana. Sekalian jalan buat jual tu burung.”“Ah, tadi habis bikin perangkap. Sekarang habis dapat buruan. Kamu sengaja, ya, Arya?”Arya tak menanggapi, dia langsung membaringkan tubuhnya. Lalu memiringkan ke sebelah kanan, agar Idun tak melihatnya.Setelah hening sejenak, Arya pun akhirnya bersuara. “Gue ngerasa ada yang aneh sama Tomochi. Mending lo ikuti apa kata gue, kalau lo mau selamat,” tukasnya. Namun, Idun tak menggubris ucapan Arya, dia hanya mende