Share

Bab 5. Kamar Untuk Evelyn

"Kenapa? Apa Anda mengingat sesuatu?" tanya Evelyn tiba-tiba. Entah kenapa emosinya yang telah lama terpendam seakan muncul ke permukaan. Ia berharap jika Sean akan ingat dengan kejadian malam itu dan meminta maaf padanya.

Lukas hanya bisa menatap dengan perasaan resah. Ia merasa tak nyaman berada di tengah-tengah dua orang yang terlihat seperti sedang perang dingin tersebut.

"Berani sekali menatapku seperti itu!" hardik Sean pada Evelyn.

"Ah, itu … apa kita langsung toko pakaian saja?" Lukas berusaha menghentikan percikan kecil di antara keduanya.

"Langsung pulang saja!" timpal Sean yang terlihat kesal setiap kali melihat Evelyn.

Emosi Evelyn semakin memuncak. Ia sangat membenci pria yang pernah menidurinya itu. Bagaimana mungkin seorang pria begitu tidak tahu malu, setelah merenggut kesuciannya Sean malah seperti tidak merasa bersalah dan menatapnya dengan perasaan jijik.

Namun, Evelyn tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pada akhirnya memilih untuk pasrah di bawa ke rumah Sean karena sejak awal pun ia merasa jika hidupnya sudah bukan miliknya lagi.

Selama perjalanan, entah kenapa mata Evelyn tanpa sadar malah terus menatap Sean. Membuat situasi menjadi semakin canggung.

"Mau terus menatapku, Eve?" Sean tersenyum miring, tatapannya seakan memandang Evelyn dengan hina.

Jantung Evelyn seakan mendadak berhenti. "B-bagaimana kamu tahu namaku?"

"Perlu kujawab?" bentak Sean yang mulai merasa risi dengan sikap Evelyn.

"Eve?" tanya Evelyn, ragu.

Sean tak menjawab pertanyaan Evelyn, baginya setiap pertanyaan perempuan itu begitu tidak penting.

Evelyn tidak yakin dengan apa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, dan bingung seakan menjadi satu.

Setelah perdebatan kecil tadi, Evelyn dan Sean memilih untuk saling diam selama perjalanan. Bahkan saat sampai di depan rumah pun keduanya bersikap acuh sama-sama tak memperdulikan satu sama lain.

"Bawa dia ke kamarnya!" titah Sean yang berjalan lebih dulu, meninggalkan Lukas dan Evelyn di belakang.

"B-baik, Pak," jawab Lukas.

Sean pun berlalu pergi sampai tak terlihat lagi punggungnya.

"Ayo ikut aku!" ajak Lukas pada Evelyn.

Evelyn mengangguk, lalu mengikuti Lukas dari belakang. Sesekali ia menatap setiap sisi rumah besar berlantai dua tersebut. Begitu mewah dan megah, layaknya sebuah istana. Dalam benak Evelyn seringkali terbesit pertanyaan, mengapa pria sekaya Sean mau membelinya? Padahal tak ada sesuatu yang bisa dilihat darinya.

"Pak Sean sudah menyiapkan dua kamar tidur, satu di atas satu lagi di bawah. Pilih yang mana?" tanya Lukas sambil terus berjalan.

Tanpa berpikir panjang, Evelyn langsung menjawab. "Di bawah saja."

"Kalau begitu, kita ke sana sekarang," ajak Lukas sambil berjalan di depan Evelyn.

Evelyn sedikit tersentuh melihat sikap Lukas yang sama sekali tak memandang dirinya sebelah mata. Padahal, asisten Sean itu tahu persis seperti apa penampilan perempuan tersebut saat pertama kali keluar dari rumah lelang.

"Kalau butuh sesuatu kamu bisa panggil pelayan di rumah ini," terang Lukas.

"Bukannya aku akan dijadikan pembantu juga?" tanya Evelyn dengan wajah datarnya.

"Mana mungkin Pak Sean membelimu dengan harga semahal itu hanya untuk dijadikan pembantu." Lukas tersenyum simpul, merasa lucu dengan pertanyaan Evelyn.

"Jadi, untuk apa aku dibeli?" Evelyn semakin penasaran.

"Entahlah, aku saja tidak tahu. Pak Sean itu orang yang tidak bisa ditebak, seringkali dugaanku salah tentangnya," terang Lukas.

Evelyn mengerutkan alis, berusaha memikirkan apa tujuan Sean yang sebenarnya. Sampai tiba-tiba terbayang lagi kejadian saat kesuciannya direnggut pria itu.

"Apa Pak Sean itu orang mesum?" tanya Evelyn dengan polosnya.

Lukas menghentikan langkahnya. Ia langsung menoleh ke belakang, menatap Evelyn dengan tajam.

"Pak Sean bukan orang seperti itu. Tapi … dia pernah masuk jebakan, dan berakhir dengan meniduri seorang perempuan," bisik Lukas sambil terkekeh. Entah kenapa, meski pertama bertemu, pria itu seakan percaya begitu saja untuk menceritakan sesuatu yang seharusnya menjadi privasi.

"Dijebak?" lagi-lagi Evelyn merasa tertarik dengan apa yang Lukas katakan.

Lukas merasa bersalah karena tanpa sengaja malah membuka aib sang atasan. Namun, karena semua sudah terlanjur, ia langsung mengecek situasi sekeliling.

Setelah dirasa aman, barulah ia mendekati Evelyn sambil berbisik. "Seseorang memasukkan obat perangsang pada minumannya saat sedang bertemu klien di hotel Clinton."

Evelyn lagi-lagi dibuat terkejut, kebenciannya pada Sean sedikit berkurang saat tahu jika ternyata pria itu juga telah dijebak seseorang.

"Ternyata dia tidak sebejat itu!" gumam Evelyn.

"Tentu saja tidak. Meski terlihat kejam, Pak Sean itu–"

"Siapa yang kejam?" potong Sean yang tiba-tiba berada di belakang.

"I-itu, seseorang yang saya kenal," jawab Lukas.

Sean tak menjawab dan hanya menatap Lukas dengan sinis.

Lukas menelan ludah, menyesal telah membicarakan sang atasan di belakangnya.

"M-maaf, Pak. Saya janji untuk tidak akan membicarakan Anda lagi," ujar Lukas.

Namun, lagi-lagi Sean hanya menatap Lukas dengan tajam.

Lukas langsung menunduk takut. Ia hanya bisa pasrah sambil mengekor sang atasan dari belakang.

Evelyn sedikit terkejut melihat nuansa kamar yang serba biru muda. Entah kenapa, rasanya seperti bernostalgia dengan kamarnya dulu.

"Pak Sean, sengaja–"

"Kamu harus bisa menjaga mulutmu itu! Jangan terlalu cerewet kalau masih ingin bekerja denganku!" potong Sean sambil menatap tajam asistennya itu.

Lagi-lagi Lukas merasa dirinya sangat bodoh. Jelas-jelas ada Sean dihadapannya, ia malah mengatakan sesuatu yang membuat sang atasan murka.

"M-maaf, Pak," jawab Lukas, tertunduk ragu

"Di rumah ini, aku adalah peraturannya. Semua yang kukatakan itu mutlak, tidak boleh membantah atau melawan," timpal Sean.

Evelyn yang malas menjawab pun hanya mengangguk. Sejak tadi ia menatap kasur empuk yang sudah lama sekali tak ditemuinya, seakan sudah tak sabar ingin berbaring di atasnya.

"Jangan pernah berkata tidak, pada apa pun yang kuperintahkan! apalagi jika itu menyangkut kehamilanmu," sambung Sean yang mendadak cerewet.

"Aku mengerti," jawab Evelyn.

"Ini, ambillah!" Sean menyodorkan sebuah kotak besar dan berlalu pergi begitu saja.

Evelyn yang penasaran pun membuka kotak tersebut di hadapan Lukas yang masih berniat mengenalkan beberapa tempat padanya.

"I-ini, bagaimana bisa?" gumam Evelyn.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Kusmiyati Kusmiyati
bagus... cerita nya menarik
goodnovel comment avatar
Wanzana Wandien
permulaan yang menarik.... pertengahan belum tentu lagi
goodnovel comment avatar
Veronica Panjaitan
ceritanya menarik dan saya sangat suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status