Share

Bracelets

Keberanian Luna akhirnya terkumpul setelah tahu bahwa Ayahnya akan membawanya pindah dari kota itu. Ia bahkan begitu semangat saat akan pergi ke sekolah.

"Cepatlah! Ayah akan mengantarmu." Kai telah berdiri di depan pintu rumah dengan kunci mobil di tangannya.

"Aku belum pernah melihat kunci mobil itu?" Regina memperhatikan benda yang ada di tangan suaminya dengan seksama.

"Jangan-jangan kau mendapatkan mobil baru Ayah?" Luna berlari melewati Ayahnya. Ia terlihat tak sabar untuk cepat-cepat keluar dari rumah.

"Wah, Ibu! Lihatlah!" Regina bergegas mengikuti langkah kaki anaknya. Keduanya terlihat takjub melihat sebuah mobil Land Rover Range Rover Evoque berwarna hitam yang terlihat gagah terparkir di halaman rumah.

"Masuklah sebelum kau terlambat ke sekolah!" Kai membukakan pintu untuk sang putri, sedangkan mulut Luna masih menganga. Ia masih tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya, gadis itu terlihat begitu bahagia.

"Kami pergi dulu, Sayang!" Kai mencium kening Regina yang masih berdiri di depan rumah sebelum masuk ke dalam mobil. Regina hanya tersenyum sembari memperhatikan keduanya pergi meninggalkan rumah. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan tanpa sadar, cairan bening telah keluar membasahi kedua bola matanya yang cantik.

Beberapa saat kemudian, mobil mewah yang Kai dan Luna kendarai berhenti tepat di depan pintu gerbang bangunan sekolah. Takut-takut Luna keluar dari dalam mobil. Ia bahkan berusaha menutupi wajahnya dengan hoodie besarnya. 

Namun, tetap saja semua mata tertuju padanya saat ia keluar dari dalam mobil mewah itu. Ingin rasanya ia cepat-cepat masuk ke dalam kelas sebelum keadaan semakin tidak karuan.

"Ayah cepat pergilah!" Kai hanya menganggukkan kepala seraya menyunggingkan senyuman pada gadis kecilnya. Luna pun segera menutup pintu mobil dengan cepat. 

Gadis itu bergegas melangkahkan kedua kakinya menuju ruang kelas meninggalkan mobil sang Ayah. Ia menundukkan kepala saat memasuki ruang kelas, lengkap dengan penutup kepala yang menutupi seluruh kepalanya. Bahkan, wajahnya hampir tidak terlihat.

"Hai Luna, duduklah di sini!" Salah satu teman sekelasnya tiba-tiba menyambut dengan hangat, membuat Luna kebingungan dibuatnya.

"Minumlah susu ini! Aku baru saja membelinya." Teman yang lain tiba-tiba meletakkan satu kotak susu di mejanya. Lagi-lagi Luna merasa aneh dengan perlakuan teman-temannya yang tak biasa.

Pelan ia memberanikan diri memutar kepala untuk melihat sekeliling. Memperhatikan teman-temannya yang bersikap tidak seperti biasa satu persatu.

"Ikut aku!" Saat hendak menoleh ke kanan, Roy tiba-tiba membuka penutup kepalanya. Kali ini ia membuka dengan lembut, tidak seperti biasanya yang begitu kasar.

"Eh?" Luna makin dibuat bingung saat Roy menggenggam tangannya dan membawanya keluar dari ruang kelas, membuatnya tak punya pilihan lain selain mengikuti langkah kaki Roy yang panjang. Semua murid di sekolah itu tampak memperhatikan mereka berdua. Sedangkan Luna hanya menundukkan kepala di belakang Roy tanpa berani memperhatikan apa pun.

"Aw!" Luna memegang keningnya saat Roy tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat kening Luna terbentur di punggung pria bertubuh sempurna itu.

"Bisakah kau memperhatikan jalanmu?" Roy membalikkan badan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ia memperhatikan gadis yang berdiri di belakangnya itu.

"Kenapa kau tiba-tiba berhenti?" Luna masih menundukkan kepala sambil sibuk memegang kening yang terasa sakit tanpa memperhatikan Roy yang sedari tadi memperhatikan dirinya.

"Duduklah!" Roy membawa Luna di sebuah kursi yang ada di taman. Keadaan tempat itu lumayan sepi, hanya ada mereka berdua.

"Kenapa kau membawaku kemari?" Luna akhirnya memberanikan diri melemparkan pertanyaan pada pria yang sering menindasnya itu.

"Ini untukmu." Roy merapikan rambut Luna yang sedikit berantakan. Ia kemudian memberikan sebuah paper bag pada Luna.

"Hentikan! Kenapa kau menyentuh rambutku." Seketika Luna menjauhkan tubuhnya dari Roy yang tiba-tiba bersikap lembut padanya. Sedangkan Roy hanya menyeringai sambil terus menatap Luna yang terlihat lucu baginya.

"Bukalah!" Roy kemudian menyandarkan tubuh tingginya pada sandaran kursi yang sedang mereka duduki.

"Apa ini?" Gadis itu kemudian membuka paper bag yang Roy berikan padanya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalamnya.

"Kau akan tahu setelah membukanya." Roy menyahut dengan tenang.

"Wah, cantik sekali." Kedua mata Luna berbinar saat melihat sebuah gelang cantik di dalam kotak kecil itu.

"Apa kau suka?" Raut wajah Roy terlihat senang mengetahui Luna menyukai benda pemberiannya.

"Tentu saja. Tunggu! Apa ini untukku?" Luna tiba-tiba merubah ekspresi wajahnya seakan ia tersadar oleh sesuatu.

"Kemari! Aku akan memakaikannya untukmu." Roy meraih tangan Luna tanpa menghiraukan pertanyaannya.

"Tunggu Roy! Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan?" Luna mencoba menahan tangan Roy. Ia masih sulit mempercayai kebaikan yang Roy lakukan.

"Apa maksudmu? Aku hanya membantumu memasangkan ini. Lihatlah! Aku juga punya satu." Roy mengulurkan pergelangan tangannya. Di sana sudah ada gelang yang melingkar. Roy menunjukkannya berharap agar Luna percaya padanya.

"Hah? Kenapa aku harus mendapatkan ini?" Luna masih terus menepis sambil menatap gelang yang ada di pergelangan tangan Roy. Tapi Roy tak menghiraukannya. Ia tetap melanjutkan kegiatannya untuk memasangkan gelang di pergelangan tangan Luna.

"Lihat ini! Benda ini akan menyala saat kau tekan seperti ini." Roy menunjukkan cara kerja benda itu pada Luna.

"Ya, memang bagus. Tapi kenapa kau memberikannya padaku? aku merasa seperti akan ada hal buruk yang terjadi." Kini Luna menunjukkan rasa curiga pada pria yang sedang duduk di hadapannya.

"Apa yang kau bicarakan? Ayo kembali ke kelas!" Roy beranjak dari duduknya. Ia kembali menarik tangan Luna dan membawanya masuk ke ruang kelas.

"Apa pria ini sudah gila? Ah untunglah ini hari terakhirku di sekolah ini." Luna terus bergumam dalam hati di sepanjang perjalanan menuju ruang kelas.

Roy meraih tas Luna yang sudah tergeletak di kursi yang sebelumnya Luna tempati. Ia kemudian meletakkannya di samping tempat duduknya. Tak ada satu pun di ruang kelas itu yang berani mengeluarkan suara saat anak sang pemilik sekolah bertindak.

"Duduklah di sampingku!" Roy mendudukkan tubuh Luna dengan sedikit paksaan di kursi yang ada di sebelahnya sambil menyunggingkan sedikit senyuman padanya. Ia pun kemudian duduk di sebelah Luna tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar yang sedang memperhatikan dirinya.

Tak lama setelah itu, guru pengajar pun masuk ke dalam ruang kelas dan segera memulai kegiatan belajar mengajar seperti biasa. 

Kegiatan belajar berlangsung selama dua jam hingga waktu istirahat tiba. Luna bergegas keluar dari ruang kelas sesaat setelah guru pengajar itu keluar tanpa sepengetahuan Roy.

Luna berencana untuk pergi ke ruang Kepala Sekolah. Ia harus menyampaikan niatnya untuk mengundurkan diri dari sekolah.

Roy yang tidak menyadari kepergian Luna, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari keberadaannya. Namun, sayang sekali ia tidak berhasil menemukannya. Luna sudah terlebih dahulu keluar dari ruang kelas membuat Roy kalang kabut mencari keberadaannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status