Share

Kencan?

Sejak aku bertemu Evan, rasanya hari-hariku semakin menegangkan dan banyak sekali hal yang terjadi dalam waktu singkat, dan aku tidak tahu apa-apa soal Evan. Entah kenapa aku menjadi kepikiran dengan kata-kata siswi itu, kalau hanya main-main... kenapa Evan bilang dia ingin serius denganku? Apa itu bohong, ya? Tapi...tatapan mata dan ucapannya, meyakinkan sekali.

Aku sendirian duduk di taman terbengkalai di belakang sekolah, sekolah sudah sepi sejak tadi, waktu pulang sekolah pun sudah lewat 1-2 jam lalu. Di sini hanya ada aku yang sedang merenung.

"Hei..kenapa melamun?" Aku tersentak, rasanya bulu kudukku meremang saat aku merasakan embusan napas hangat dari arah belakang di telinga kiriku, ditambah suara yang sudah sangat kukenal ini. Aku menoleh patah-patah ke arah kiri dan melihat Evan menempatkan wajahnya tepat di sebelahku, wajahnya begitu dekat sampai aku sulit menelan salivaku sendiri. Astaga, berada di jarak sedekat ini dengannya rasanya jantungku ingin melompat keluar. Jantung tolong tenang, jangan berisik.

Cup

....

..

"Ditanya kok malah diem aja? Mikirin apa sih?"

Astaga, astaga!!! Apaan barusan?! Dia menciumku?! Ya meski cuma di pipi sih, tapi, tapi kan tetap aja jantungku jadi semakin tidak bisa diam jadinya. 

"A-apa yang barusan lo lakuin?" rasanya wajahku sudah memerah, aku memegang pipi yang dia cium. Shock.

"Habisnya, lo cuekin gue sih... gue nanya dari tadi loh."

Dia mendengus sebel dan beralih duduk di sampingku. Kemudian dia hanya diam, duduk dan menghadap ke depan, tidak seperti biasanya yang menyebalkan dan cerewet.

"E-Evan... itu, gue..." aku menunduk, yaampun bagaimana caranya aku bisa bilang padanya mengnai siswi yang tadi itu, ya? Tapi, jika aku bilang... dia bisa mencari siswi itu dan sepertinya akan semakin runyam urusannya. Tidak, aku harus cari tahu sendiri, aku tidak boleh bertanya padanya langsung.

"Lo kenapa, sih?" Dia menoleh, tatapan matanya yang tajam itu menatapku intens.

"Ng... nggak, nggak ada apa-apa, gue cuma agak pusing aja, beberapa pelajaran akhir-akhir ini bikin gue bingung." aku nyengir, semoga dia tidak curiga dengan cengiran terpaksa macam ini .

Dia melihatku lama, diam tanpa kata dan hanya tatapannya yang terus menusuk mataku mencari sesuatu di sana, ekspresinya sedikit membingungkan.

"Oh, itu... kenapa nggak bilang dari tadi, gue kan bisa bantuin." Evan tersenyum cerah, ia mengacak rambutku sambil menyeringai jahil.

Semenjak kami pacaran, setidaknya itu bagi pihak Evan. Kami sering bersama, membuat semua orang percaya bahwa kami sepasang kekasih, meski kemarin Evan menyatakan perasaannya dan bilang akan membuktikannya. Aku masih belum tahu apa jawaban dan kepastian perasaanku sendiri, apa lagi ditambah dengan kata-kata siswi yang tidak aku kenal sama sekali tadi. Saat ini yang aku tahu... rasanya aman dan nyaman berada di dekatnya, entah sejak kapan.

"Hari ini kosong, kan? Jalan yuk..." tiba-tiba Evan melihat ke arahku. Jalan? Serius? Sejak deklarasi pacaran dan aku di paksa pacaran dengan Evan. Ini adalah kedua kalinya aku jalan bersama Evan. Kalau ke tebing waktu itu bisa dibilang yang pertama.

"Jalan?"

Evan mengangguk. "Iya jalan... enaknya mau ke mana? Atau ke tempat pilihan gue?"

"Tapi..." aku tercekat, bagaimana cara mengatakannya. Aku tidak bisa mendeskripsikan dengan kata-kata. Yang aku tahu, aku senang.

"Nggak bisa ya... ya udah deh, kapan-kapan aja..." kok dia tidak memaksa seperti biasanya? Kenapa. Kesambet hantu, kah? Atau dia habis minum obat jadi tidak suka marah-marah? Halah kenapa aku jadi mikir yang tidak-tidak, sih.

"Bisa sih... tapi, nggak jauh-jauh kayak waktu itu, kan?" ucapku ragu-ragu, aku masih takut dia akan membawaku kabur jauh keluar kota seperti tempo lalu dan berakhir pulang larut malam.

"Tentu, kali ini nggak bakal jauh dari sekitar sini aja kok... tenang aja." dia mengelus puncak kepalaku, ya ampun ini benar-benar seperti mimpi, kenapa dia jadi manis begini. Dan aku secara insting ikut nyengir.

Lucu juga hubungan seperti ini, tanpa diduga, rasanya aku semakin deket dengan dia. Padahal dulu, melihat atau mendenger suaranya saja aku sudah ingin menghajarnya.

Dan aku lagi-lagi dibuat terkejut, karena tiba-tiba dari samping dia melukku, kepalanya nyandar di pundakku, bertengger nyaman. "Gue sayang lo, boleh nggak, lo... gue cium?" Sontak aku menoleh ke arahnya sambil melotot ingin mulai ngomel-ngomel. Tetapi, apa yang kudapat bukan memarahi Evan sepuasnya. Namun, sebuah ciuman tiba-tiba, di bibir pula. Kini untuk kedua kalinya, bibirnya menyentuh bibirku. Kali ini dengan penuh kelembutan dan tulus, bukan lagi ciuman memaksa seperti saat pertama kali. 

Dan anehnya, bukannya aku menolak seperti biasa tetapi malah menerima dan bibirku mengikuti gerak bibirnya tanpa perlawanan. Aku mendesah pelan, mulai merangkul lehernya kuat sedangkan tangannya yang memelukku semakin erat menarikku ke dekapannya, tangannya bermain di punggungku mengelus tiap incinya. Aku tidak mengerti kenapa, tetapi aku tidak mau dia berhenti. Sepertinya aku sudah mulai gila, kenapa aku mau dicium olehnya kali ini, apa lagi dengan perasaan yang berbeda seperti ini, sepertinya aku memang sudah tidak waras.

"Ini salah lo sendiri kenapa menoleh tiba-tiba." ucapnya di sela ciuman kami. Dan aku hanya membalas dengan gumaman pelan. Beberapa detik kemudian ia menghentikan ciumannya, membuat aku sedikit merasa kecewa, dia menatapku tidak percaya sedangkan aku seperti tidak sadar dengan apa yang sudah aku lakukan.

"Viona..." tanpa sadar tanganku masih merangkul lehernya, mata kami saling bertumbuk, matanya yang tajam terus menatap dalam, ya ampun aku benar-benar malu.

"Lo? Gue nggak percaya... lo, baru aja--" matanya mengerjap-ngerjap sedangkan aku malu menyadari apa yang sudah aku lakukan dan hanya bisa menunduk saja. Dengan buru-buru aku melepaskan rangkulan di lehernya "Ini kan salahmu... ciumnya mendadak." kataku membela diri. Benar-benar bikin malu.

"Tapi tadi... harusnya kan lo, nolak kayak biasanya kok yang ini," aku semakin menunduk saja, "lo mulai nerima gue? Kita pacaran aja yuk..." aku mendongak melotot ke arahnya, pacaran?! 

------

Dengan begitulah acara jalan malam ini. Menjadi perayaan jadian kami yang resmi. Yups, kami resmi pacaran dan bukan bohong-bohongan lagi. Mungkin memang aku naksir dia sejak awal kejadian absurd itu. Tapi, aku saja yang bodoh baru menyadari sekarang.

Kalau kata orang Evan itu panutan dan goodboy dari SMA ABDI NUSANTARA bagiku, dia adalah badboy-nya aku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status