Share

Hati dan Pemiliknya

Refleks tanganku rupanya gesit juga, itu kan salah dia suruh siapa bicara sembarangan begitu, apa-apaan sih! Kan sebel lagi jadinya.

Dia melihat ke arahku terkejut, lantaran aku baru saja menimpuknya dengan buku catatan mini yang selalu kubawa ke mana-mana, maklumi saja kareena aku sedikit pelupa jadi suka membawa buku catatan kemana-mana.

"Kok lo nimpuk gue sih Vi, bukannya di jawab juga." Protesnya sambil memegangi bagian wajahnya yang terkena pukulan buku catatan.

"Itu kan salah lo! Suruh siapa pakai deklarasiin hubungan sepihak gitu?"

"Memang kenapa?" tanya nya masih memegangi wajahnya yang terlihat merah karena sakit.

"Ya, kan. Kita cuma bohongan, lagian kan... kita cuma terikat kejadian nyebelin itu." aku cemberut mengingat kejadian waktu itu, awal yang tidak bisa dikata baik.

"Tapi gue mau serius Vi, nggak tahu kapan dan kenapa tapi gue nyaman sama lo Vi." dia meraih jemariku dan menggenggamnya lembut.

Blush

Wajahku rasanya kembali panas, apa ada kompor di wajahku? Ada apa ini... ini si siswa teladan KW tidak sedang gombal, kan? Aku mengedipkan mataku beberapa kali, berusaha sadar bahwa ini bukan di alam mimpi.

"Vi..." panggilnya lembut, menunggu jawabanku.

"Gue nggak bisa, sorry." Yah, mungkin ini yang terbaik. Aku tidak pernah bisa suka dengan laki-laki sebelumnya. Jadi pacar palsu saja sudah membuatku susah bernapas, bagaimana kalau aku pacaran sungguhan? Aku belum bisa saja untuk sekarang, dan sepertinya aku tidak akan suka dengan laki-laki. Sebelum kalian berpikir yang aneh-aneh akan kuluruskan satu hal, aku masih normal, hanya saja... memiliki hubungan seperti pacaran dengan laki-laki adalah hal yang sulit dan aku tidak mau terluka.

"Kenapa Vi? Kita kan sudah pacaran bohongan, kenapa nggak sekalian saja?" lagi-lagi dia memassang ekspresi terkejut dan kecewa, matanya memancarkan begitu banyak pertanyaan dan aku tidak tahu harus bagaimana. Suaranya tercekat, nadanya sarat akan kesedihan. Yah, tapi mau bagaimana, aku memang tidak bisa dengan yang namanya pacaran. Ada banyak yang aku benci dari laaki-laki, semua laki-laki. Dan aku tidak bisa seperti itu saat aku melihat Evan.

"Kita pulang..." kataku datar, mengalihkan pembicaraan. Aku buru-buru berjalan ke mobil, masuk dan memasang eksspresi datar. Entah kenapa, intinya dari sudut mataku yang sinis aku bisa melihat kepiluan di mata Evan yang masih kaku tidak bergeming di depan sana, aku hanya berharap saja semoga dia tidak lompat dari tebing itu. Tapi, bodoh sekali aku jika berpikir seperti itu, mana mungkin Evan bunuh diri hanya karena kata-kataku, kan? Menginggat hal itu aku terkekeh sendiri.

Tiinn... tiin tinn...

Aku menekan klakson mobilnya untuk menyadarkan dia dari keterpurukan menyedihkan itu. sedikit menyesal memang tetapi aku dan Evan, kami tidak mungkin sungguh-sungguh bersama.

Dengan sempoyongan dia berjalan ke arah mobil, masuk dan duduk di balik kemudi, pandangan nya masih kosong dan seakan enggan untuk pergi dari sini. Aku berkali-kali berdecak sebel sedangkan Evan dengan susah payah kembali fokus ke jalan. Pandangan nya fokus ke depan sedangkan aku hanya diam saja melihat ke luar jendela, tidak ada yang bicara, suasana di dalam mobil itu sepi senyap. Bahkan saat Evan berhenti di depan rumahku, tidak ada kata perpisahan atau 'good night' atau 'see you' atau apalah itu. Setelah aku turun dia langsung melajukan mobilnya dan pergi begitu saja. Dan hal itu membuatku agak jengkel juga menyesal. Rasanya isi hatiku campur aduk.

Aku duduk di balkon sambil mengeringkan rambut, hari ini rasanya panjang sekali, dan tidak terduga, lagi-lagi aku kepikiran dengan pernyataan Evan kepadaku, rasanya kok seperti ada yang melambung di dadaku, ada apa, nih? Tidak kepikiran juga padahal, malah kelihatan bodoh sekali jika menanggapi kata-kata yang seperti itu, mana mungkin sih Evan serius dengan kata-katanya itu? Dia memacari aku kan hanya untuk menjaga rahasia saja, agar aku tidak berkutik karena sudah melihat rahasianya juga aib hidupku karena dicium dia, tapi kalau sudah menyatakan perasaan seperti itu, kan... agh!! Kenapa pikiran itu tidak hilang-hilang sih dari kepalaku! Intinya semua laki-laki itu sama! Evan juga! Titik. Dan tidak ada tapi-tapian... pokoknya aku tidak boleh pacaran!

Aku menegaskan tekadku dan memberengut sendiri karena kejadian di tebing itu berputar terus sudah seperti kaset rusak yang kena virus. Tidak bisa hilang!

Pagi ini, aku lagi-lagi tercengang dan dikagetkan oleh laki-laki tinggi dan cool, kalau bisa dibilang cool. Berdiri di depan kap mobil ferarry merah sambil memainkan kunci mobil, mataku hampir saja tidak bisa berkedip lantaran sangking kagetnya, pemuda itu menoleh ke arahku dan tersenyum, my GOD! Kenapa tiba-tiba jantungku berulah lagi, ya?! Aku hanya sanggup mengerjap mata shock. dia bersinar sekali di bawah sinar mentari pagi yang masih bersahabat ini.

"Pagi Vi, udah siap mau berangkat?" Evan, dia kembali tersenyum padaku dan berdiri tegak, matanya tidak henti-henti memperhatikanku yang masih shock.

"E-van, Evan kok lo..." aku tercekat, bukan karena mobilnya, meski mobilnya memang bikin ngiler, sih. Tapi karena orangnya, si Evan wajahnya tampak fresh dan tidak ada lagi sisa-sisa kepedihan kemarin senja, bahkan sisa-sisa penolakanku juga tidak ada bentuknya. Aku penasaran apa dia pandai menyembunyikan perasaan atau bagaimana?

"Kenapa, Vi? Kok lo kaget gitu? Belum pernah lihat ferarry?" Sialan, aku di ledekin. Dia terkekeh melihat ekspresiku yang campur aduk.

Sambil merengut aku menjawab sinis. "Yah, nggak heran sih sama mobil nya, setidaknya mobilnya nggak secengeng yang punya sih." kataku sambil lalu dan seenaknya nyelonong masuk ke mobil dan itu membuat keadaan berbalik, Evan yang melongo dan aku memasang ekspresi santai.

Dan sedetik kemudian dia tersenyum dan masuk ke dalam mobil sambil cengar-cengir melihat ke arahku.

"Kenapa, lo? Kesambet?" 

"Vi? Lo mau jadi pacar gue?"

Eh!!

Aku melotot mendengar pertanyaanya, dan aku berdecak sebel berkali-kali. Ini orang pendengarannya terganggu apa ya? Aku sudah bilang kalau aku tidak mau, tapi... ck, benar-benar deh ini orang.

"Evan, please... gue kan udah bilang kemarin..."

"Iya tapi, kok lo tiba-tiba masuk mobil gue sih... gue kira lo bakal nolak kayak sebelum-sebelum nya...apa karena..." Evan sengaja menggantungkan kalimatnya dan melirikku dengan tatapan usil.

"Evan, sekali lagi please...! Gue bukan cewek matre juga bukan cewek yang nggak tahu diri.. jujur aja, mau lo naik becak juga ya, whatever... masalahnya, seenggaknya gue menghargai, kan lo udah jauh-jauh ke rumah gue buat jemput gue, selama ini, sorry kalau gue suka nolak, soalnya gue sedikit risih... tapi toh lo emang bengal dan nggak bisa dibilang enggak. Jadi, dari pada gue capek nolak lo biar gak jemput gue, bagus gue tahu diri dan masuk mobil sebelum lo mohon-mohon kayak biasanya. Malu dilihat tetangga." cerocosku panjang lebar dan na'as nya dia hanya daiam memandangiku dengan tatapan takjub seakan-akan aku ini patung berlian, norak serius...bahkan aku tidak yakin dia bisa mengerti kata-kataku atau tidak.

"Excelent!!!" Tiba-tiba dia berseru keras sekali, aduh ini kan di dalam mobil, tidak perlu teriak kan, telingaku sakit. Lagi-lagi aku hanya menatapnya aneh.

"Kenapa baru sekarang lo sadar kalo lo emang nggak bisa nolak gue?! Kenapa lo baru sekarang sadarnya kalo gue tulus sama lo? Tapi kenapa lo nggak nerima pengakuan gue?"

wajah tersenyum nya yang sangat lebar tadi mendadak berubah suram, aku yang serasa seperti seddang berada di RS.J buru-buru menimpuk kepalanya nnggunakan note-ku (lagi) seperti biasa, dan dia mengaduh sambil menatapku dramatis, kenapa dia jadi lebay begini sih? kemana Evan yang kaku dan serius seperti biasanya?

Aku memelototinya dan menyuruh dia cepat berangkat sebelum terlambat. Aku kira akan selamat dari kelebayan mendadaknya saat mobil melaju menjauhi rumahku, rupanya sepanjang perjalanan hingga di depan gerbang sekolah, dia terus aja berceloteh soal perkataanku tadi, ya ampun, rasanya kepalaku mau meledak. Rupanya dia salah tanggap, entahlah, aku ingin cepet-cepet sampai ke kelas, aku males sekali mendengar ke antusiasannya yang berlebihan itu, bisa-bisa aku ikutan gila nanti, tapi anehnya saat dia turun dari mobil mendadak dia berubah cool lagi, berubah keren dan sempurna tanpa celah lagi, aku sempat berpikir apa dia jenis orang yang punya kepribadian ganda ya? wajah lebay yang dari tadi muncul itu mendadak tergantikan dengan wajah datar dan misterius sekaligus mempesona.

Sesaat aku hanya bisa geleng-geleng sambil berjalan di belakangnya sedangkan dia sudah berjalan duluan dengan percaya diri.

"Lo...ada kepribadian ganda ya, Van?"  Aku berusaha berjalan sejajar dengannya. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum.

"Enggak kok... gue kayak tadi, cuma sama orang yang gue suka, pacar gue" dia nyengir dan jalan sambil bersenandung. Ha? Jangan-jangan dia beneran sudah gila?!

Sepanjang koridor menuju ke kelas banyak pasang mata yang menatapku, bahkan ketika aku sudah masuk ke dalam kelas pun, aku masih merasa ada banyak pasang mata yang menatapku tidak biasa. Apa semenakjubkan itu ya menjadi pacar orang paling populer di sekolah? Perasaanku kok biasa aja sih.

------

"Viona" 

Saat aku sedang mengaduk-aduk isi tasku mencari pulpen. Tiba-tiba ada yang memanggilku, refleks aku menoleh. Seorang siswi dari kelas lain sepertinya. Tetapi..aku tidak kenal dia siapa. Dari kelas mana juga aku tidak paham.

"Ya?"

"Bisa ikut sebentar?"

Badannya yang menjulang tinggi itu seakan membuatku terlihat kecil, tatapannya yang tajam, rambutnya yang bergelombang, dari cara dan gaya bicaranya dia mirip sesesorang yang angkuh dan serba cukup. Bahkan cara bicara dan jalannya anggun. Mirip Putri Raja!

"Eh? Ke-mana?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri tidak ada yang memperhatikan kita berdua, semua sedang sibuk mencontek tugas. Aku melirik jam tanganku, 5 menit lagi masuk. Jadi...

"Ikut aja, tenang gue nggak bakal ngapa-ngapain lo kok."

"Tapi, udah mau masuk 5 menit lagi." gumamku, gelisah, aku tidak biasanya bolos pelajaran.

"Tenang aja, lo nggak bakal dapet masalah kok, gue nggak punya banyak waktu, ayo."

Dia langsung saja menarikku ke arah belakang kelas, sedikit bongkor sih, tidak terawat dan banyak rumput tinggi. Tidak ada yang mau membersihkan, di situ hanya ada satu pohon besar dan tua. Pohon jati yang katanya banyak hantunya.

"Kok, kita ke sini?"

Lagi-lagi aku hanya menoleh ke kanan dan kiri. Sedangkan dia meliatku sambil melipat tangan di depan dada.

"Lo, apa yang lo lakuin ke Evan?"

Mendengar itu aku langsung menoleh, Evan? Kok jadi membahas dia, siapa sih siswi ini?

"Eh? Evan, nggak, gue nggak ngapa-ngapain."

"Pembohong" hardiknya saat aku menjawab tidak melakukan apa-apa kepada Evan. Memang apa yang mau aku lakukan? Tidak ada manfaatnya juga bagiku.

Maunya apa sih, aku memang bukan pembohong, dan aku tidak melakukan apa-apa kepada Evan. Gigiku bergemelutuk menahan sebal, boleh sih elegant tapi menyebalkan juga kalii!

"Maksud lo apa? Sorry, tapi gue beneran nggak ngerti, gue juga nggak ngapa-ngapain Evan."

Dia seakan jengah dengan ucapanku, sialan dia memutar bola mata malas dan sedikit berdecak tidak sabar.

"Jangan mengulur waktu gue Viona. Lo tahu apa yang gue maksud."

"Lo yang ngulur waktu, to the point aja kenapa sih, kenapa mesti gue yang nebak lagian, lo siapa sih? Salah satu fans-nya Evan?"

"Viona! Jaga mulut lo dan gue bukan fans-nya, kalau lo mesti gue jelasin oke. Intinya apa yang lo lakuin ke Evan sampai dia bisa senyum... bahagia..." 

wajahnya yang garang dari tadi berubah sendu, matanya berkaca-kaca, bahkan suaranya semakin kecil menjadi gumaman. Aku bingung, kenapa dia sedih jika Evan bisa tersenyum bahagia? Bukannya itu hal  bagus ya?

"Gue... nggak ngelakuin apa-apa." gumamku sekenanya dan tentu saja jujur.

"Bohong!!"

"Gue nggak bohong."

"Kenapa lo bisa bikin dia ketawa bahagia sedangkan gue enggak!!"

Dia mulai menumpahkan emosi nya, oh, apa cewek ini mantan nya? Kekasih gelap? Atau apa? Kenapa dia pilu sekali, air matanya hampir saja membuat maskaranya yang cetar itu luntur kalau saja tidak buru-buru dia lap dengan tisu.

"Gue... juga nggak tau..."

Yah jujur saja, aku memang tidak tahu kenapa Evan bisa terlihat bahagia jika berada di dekatku, bahkan di depanku dia bisa mengungkapkan semuanya.

"Lo siapa nya, Evan?" tanyaku ragu-ragu.

Dia menatapku dengan matanya yang nyalang seakan tidak percaya aku akan bertanya hal konyol itu.

"Lo nggak perlu tahu gue siapa... yang jelas lo harus jelasin apa yang buat Evan lebih tertarik sama lo?"

"Maksudnya..."

"Lo jangan pura-pura bego dong... gue tahu berapa hari lalu Evan deklarasiin hubungan kalian di kantin, tapi jangan seneng dulu deh lo... gue yakin Evan cuma mainin lo, di dunia ini dia cuma punya satu orang, dan lo, jangan harap bisa gantiin dia." ucapnya tajam dan menunjuk-nunjuk bahuku angkuh.

"Eh?" aku hanya diam sambil menatapnya dengan tatapan tidak mengerti.

"Gue cuma mau bilang itu aja kok.. by the way... see you... goodluck untuk acting bodohin seluruh siswa di sekolah..." Eh, dia tahu kami sedang akting? sejak kapan? Aku menatapnya yang pergi lebih dulu.

------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status