Share

The Wall In My Heart
The Wall In My Heart
Penulis: Marni Azka

Bab 1

Entah mengapa? Bagaimana bisa? Aku? Atau ini hanya pikiranku saja? Aku merasa antara kita tidak benar-benar berakhir. Entahlah, bagaimana bisa aku berpikir begitu sedangkan takdir yang tertulis pada goresan kenyataan justru kau melangkah jauh dariku. Sangat jauh dariku. Aku masih di tempatku berpijak. Memandang kepergianmu. Entah mengapa? Aku tetap merasakan hal yang sama. Apakah begini akhirnya? Aku merasa kita tidak benar-benar berakhir seperti ini.

Tapi, aku harus bagaimana? Kau semakin jauh, walaupun melangkah ke arahmu. Tidak dapat aku lakukan bukan karena aku tidak ingin tapi tabir di antara kita, kau tahu? Kau yang menutupnya begitu rapat. Tapi kenapa hatiku begitu keras. Aku dengan kehampaan yang kurasakan menyambut tangan yang terulur padaku. Apa kau tahu? Bagaimana bisa aku terlepas dari banyaknya cinta yang ia berikan padaku. Perlahan tanpa ku pinta hatiku belajar mengenalnya, mengkhawatirkan keadaannya. Lebih dari sekedar peduli. Aku! apakah mungkin telah menghapus jejakmu? Aku tak yakin! Dia, terus menebarkan begitu banyak cinta uuntukku dan aku tak bisa begitu saja menepisnya. Bahkan aku tidak ingin kehilangannya tapi mengapa aku masih tetap merasa antara kita tidak benar-benar berakhir. Apakah antara kita benar-benar berakhir?

***

Lelah. Ku biarkan kaki terjulur dan tubuh lemahku bersandar di dinding berwarna hijau muda. Pandanganku menatap langit-langit ruangan. Jika, diamati sepanjang ruangan ini terpajang berbagai gambar buatan tangan anak-anak TK. Dengan luapan beraneka warna dan beberapa pigura foto yang menampakkan wajah-wajah yang dipenuhi senyum kesederhanaan. Mereka terlihat begitu bahagia.

Biasanya saat seperti ini. Ketika matahari sudah mulai beranjak membelah bumi menjadi dua yang artinya tepat berada di titik panasnya. Ruangan ini selalu tampak lengang. Semua penghuninya telah pergi setengah jam yang lalu. Tapi, hari ini sepertinya matahari sedang bersembunyi di balik awan hitam itu.

Perlahan tetes air jatuh lebih lama semakin deras mengguyur. Tetes airnya terlihat ramai menyentuh kaca jendela bening berukuran 2×1 meter yang menghadap jalan. Aku menghela nafas berat. Merasakan sapuan angin hujan masuk melalui ventilasi jendela yang tepat berada di sebelah kiriku.

Kreek…

Suara pintu berderet terdengar dari ujung kaki yang aku julurkan. Letaknya tepat di sebelah kanan jendela besar yang menghadap jalan. Aku memiringkan kepala ke kanan mencari celah demi melihat siapa gerangan yang datang di hari hujan seperti ini? Hanya kepalaku saja yang bergerak tapi tidak beranjak dari tempat dudukku. Terlihat seorang wanita muda menyembulkan separuh tubuhnya. 

“Permisi…maaf.” ucapnya kemudian setelah bola matanya menangkap sosokku yang segera menarik kaki untuk duduk sewajarnya. Menegakkan kembali tubuhku yang sedari tadi bersandar di dinding ruangan. 

“Yah, silahkan masuk.” ucapku berusaha untuk bersahabat meski terdengar kaku. Hanya selang 3 detik wanita itu telah berada satu meter di hadapanku. Cukup cepat dia beranjak dari posisinya semula.

“Maaf mengganggu, saya…” wanita itu memperbaiki kerudung coklat bergaris-garis merah yang menutup kepalanya. Terlihat bekas-bekas air membasahi sebagian kecil tubuhnya.

“Saya…harus panggil apa. Yah? Ibu?” tanyanya menyelidik. Dia menggeleng ketika memandangku lebih lama. Aku tidak mengerti maksud tatapan itu, tapi aku tidak akan bertanya. Biarkan dia menjelaskan sendiri maksud dari pandangannya terhadapku.

“Sepertinya terlalu tua buat Anda,” sambungnya kemudian.

“Silakan panggil saja yang menurut Anda nyaman.” ucapku yang kemudian di jawab dengan anggukan dan bentukan huruf O seketika dari bibir kecilnya. Tidak ada suara keluar lagi darinya. Hanya terdengar hembusan nafas kecil dari kami berdua dan suara kaki-kaki hujan yang semakin kuat menjatuhkan diri di atap ruangan.

Sesekali aku menoleh lantas memperhatikan wanita di sampingku ini lekat-lekat. Ketika itu kedua matanya sibuk memandangi sekeliling ruangan. Aku baru menyadari bahwa wanita ini memiliki wajah yang teramat cantik bagiku. Kulit wajahnya terlihat bersih dan terawat, hidungnya mancung, bibirnya kecil dengan bola mata bersinar dan pipi yang merona ketika dia tersenyum.

“Namanya siapa?” ucap wanita itu sambil menjentikkan jemarinya di depan wajahku. Aku tersenyum kaku. Sepertinya dia menyadari bahwa barusan aku sedang melamun. Dia tersenyum. Aku senang melihat senyum itu. Senyum yang mudah sekali ditebarkan, sedangkan aku?

“Melamun lagi?” ucapnya menyenggol lenganku.

“Sepertinya kau sedang lelah? Tadi saya menanyakan nama.” Wanita itu menunggu jawabanku.

“M…maaf!” suaraku seperti tenggelam oleh suara hujan.

“Perkenalkan namaku Laudia.” Tangannya menjulur menunggu sambutan dariku. Aku tak pernah bertemu orang yang mudah akrab seperti wanita ini. Satu hal yang begitu aku inginkan. Berbicara nyaman dengan siapa pun tanpa ragu dan tanpa merasa takut atau segala macam pikiran buruk yang tak pernah terjadi.

“Arin.” Hanya itu yang berhasil keluar dari lisanku.

“Arin, nama yang cantik. Senang berkenalan denganmu. Boleh aku tebak kalo kau ini seorang mahasiswi?” ucapnya yang membuat kedua alisku tertaut karena penasaran darimana dia tahu?

“Santailah saja. Aku sudah biasa menghadapi orang sepertimu, bahkan setiap hari selama 5 tahun waktu yang sudah terlewat. Sikapnya bahkan membuatku terlihat bodoh!” Laudia terlihat berpura-pura marah, memainkan kerudungnya dengan ujung jemari. Aku masih belum tertarik untuk berbicara sepertinya dia mengerti.

“Aku seperti melihat dia pada dirimu saat ini.”Aku menggeleng kecil tidak mengerti. Masih tidak berbicara, hanya menatapnya lebih lama dan itu membuatnya tertawa kecil kemudian diam lantas berjalan pelan memandangi gambar-gambar di dinding. Aku mengikuti langkah itu.

“Arin, aku tidak tahu kau memiliki masalah apa? Tapi, apapun yang kau hadapi. Jalan hidup selalu memberikan solusi. Jika bukan saat ini pasti ada di suatu hari nanti. Waktu yang akan memberikanmu jawaban atas beribu tanya. Pasti ada di suatu waktu nanti kau akan mengerti seperti apa kehidupan akan membawamu pergi untuk menemukan setitik harapan yang amat kau inginkan. Semua ini hanyalah tentang waktu dan apa yang tersimpan di sini harus lebih kau pahami dari siapapun!” Laudia menepuk-nepuk lembut dadanya. Tentu dengan senyum yang juga terukir di sudut bibir kecilnya. Aku semakin suka melihat senyum itu.

Juga, sepertinya aku tahu apa yang dia maksud. Mengapa dia berbicara seperti itu padaku? Ada apa dengannya?

“S…siapa?”

“Seorang yang memiliki gaya sepertimu?” ucapnya dengan pandangan yang berbeda. Tatapan matanya terlihat sendu meskipun ditutupi dengan senyum kepura-puraan. Aku tak menjawab pertanyaannya. Kembali kami hanya berjalan kecil mengitari ruangan dan langkahnya terhenti. Aku mengikuti sudut kemana kedua mata berbinarnya itu memandang. Cukup lama dia diam. Menatap lurus pada pigura foto anak-anak dan staf pengajar. Wajah yang menunjukkan senyum kebahagiaan.

“Anakku!” akhirnya Laudia bersuara. Entah apa yang membuat tanganku bergerak perlahan menyentuh bahunya yang terlihat bergetar, mungkin dengan begitu ada hal baik yang telah aku lakukan untuk orang lain dan terekam kuat dalam memoriku. Laudia sedang menangis, aku tahu itu meskipun berusaha ia tutupi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status