Entah mengapa? Bagaimana bisa? Aku? Atau ini hanya pikiranku saja? Aku merasa antara kita tidak benar-benar berakhir. Entahlah, bagaimana bisa aku berpikir begitu sedangkan takdir yang tertulis pada goresan kenyataan justru kau melangkah jauh dariku. Sangat jauh dariku. Aku masih di tempatku berpijak. Memandang kepergianmu. Entah mengapa? Aku tetap merasakan hal yang sama. Apakah begini akhirnya? Aku merasa kita tidak benar-benar berakhir seperti ini.
Tapi, aku harus bagaimana? Kau semakin jauh, walaupun melangkah ke arahmu. Tidak dapat aku lakukan bukan karena aku tidak ingin tapi tabir di antara kita, kau tahu? Kau yang menutupnya begitu rapat. Tapi kenapa hatiku begitu keras. Aku dengan kehampaan yang kurasakan menyambut tangan yang terulur padaku. Apa kau tahu? Bagaimana bisa aku terlepas dari banyaknya cinta yang ia berikan padaku. Perlahan tanpa ku pinta hatiku belajar mengenalnya, mengkhawatirkan keadaannya. Lebih dari sekedar peduli. Aku! apakah mungkin telah menghapus jejakmu? Aku tak yakin! Dia, terus menebarkan begitu banyak cinta uuntukku dan aku tak bisa begitu saja menepisnya. Bahkan aku tidak ingin kehilangannya tapi mengapa aku masih tetap merasa antara kita tidak benar-benar berakhir. Apakah antara kita benar-benar berakhir?
***
Lelah. Ku biarkan kaki terjulur dan tubuh lemahku bersandar di dinding berwarna hijau muda. Pandanganku menatap langit-langit ruangan. Jika, diamati sepanjang ruangan ini terpajang berbagai gambar buatan tangan anak-anak TK. Dengan luapan beraneka warna dan beberapa pigura foto yang menampakkan wajah-wajah yang dipenuhi senyum kesederhanaan. Mereka terlihat begitu bahagia.
Biasanya saat seperti ini. Ketika matahari sudah mulai beranjak membelah bumi menjadi dua yang artinya tepat berada di titik panasnya. Ruangan ini selalu tampak lengang. Semua penghuninya telah pergi setengah jam yang lalu. Tapi, hari ini sepertinya matahari sedang bersembunyi di balik awan hitam itu.
Perlahan tetes air jatuh lebih lama semakin deras mengguyur. Tetes airnya terlihat ramai menyentuh kaca jendela bening berukuran 2×1 meter yang menghadap jalan. Aku menghela nafas berat. Merasakan sapuan angin hujan masuk melalui ventilasi jendela yang tepat berada di sebelah kiriku.
Kreek…
Suara pintu berderet terdengar dari ujung kaki yang aku julurkan. Letaknya tepat di sebelah kanan jendela besar yang menghadap jalan. Aku memiringkan kepala ke kanan mencari celah demi melihat siapa gerangan yang datang di hari hujan seperti ini? Hanya kepalaku saja yang bergerak tapi tidak beranjak dari tempat dudukku. Terlihat seorang wanita muda menyembulkan separuh tubuhnya.
“Permisi…maaf.” ucapnya kemudian setelah bola matanya menangkap sosokku yang segera menarik kaki untuk duduk sewajarnya. Menegakkan kembali tubuhku yang sedari tadi bersandar di dinding ruangan.
“Yah, silahkan masuk.” ucapku berusaha untuk bersahabat meski terdengar kaku. Hanya selang 3 detik wanita itu telah berada satu meter di hadapanku. Cukup cepat dia beranjak dari posisinya semula.
“Maaf mengganggu, saya…” wanita itu memperbaiki kerudung coklat bergaris-garis merah yang menutup kepalanya. Terlihat bekas-bekas air membasahi sebagian kecil tubuhnya.
“Saya…harus panggil apa. Yah? Ibu?” tanyanya menyelidik. Dia menggeleng ketika memandangku lebih lama. Aku tidak mengerti maksud tatapan itu, tapi aku tidak akan bertanya. Biarkan dia menjelaskan sendiri maksud dari pandangannya terhadapku.
“Sepertinya terlalu tua buat Anda,” sambungnya kemudian.
“Silakan panggil saja yang menurut Anda nyaman.” ucapku yang kemudian di jawab dengan anggukan dan bentukan huruf O seketika dari bibir kecilnya. Tidak ada suara keluar lagi darinya. Hanya terdengar hembusan nafas kecil dari kami berdua dan suara kaki-kaki hujan yang semakin kuat menjatuhkan diri di atap ruangan.
Sesekali aku menoleh lantas memperhatikan wanita di sampingku ini lekat-lekat. Ketika itu kedua matanya sibuk memandangi sekeliling ruangan. Aku baru menyadari bahwa wanita ini memiliki wajah yang teramat cantik bagiku. Kulit wajahnya terlihat bersih dan terawat, hidungnya mancung, bibirnya kecil dengan bola mata bersinar dan pipi yang merona ketika dia tersenyum.
“Namanya siapa?” ucap wanita itu sambil menjentikkan jemarinya di depan wajahku. Aku tersenyum kaku. Sepertinya dia menyadari bahwa barusan aku sedang melamun. Dia tersenyum. Aku senang melihat senyum itu. Senyum yang mudah sekali ditebarkan, sedangkan aku?
“Melamun lagi?” ucapnya menyenggol lenganku.
“Sepertinya kau sedang lelah? Tadi saya menanyakan nama.” Wanita itu menunggu jawabanku.
“M…maaf!” suaraku seperti tenggelam oleh suara hujan.
“Perkenalkan namaku Laudia.” Tangannya menjulur menunggu sambutan dariku. Aku tak pernah bertemu orang yang mudah akrab seperti wanita ini. Satu hal yang begitu aku inginkan. Berbicara nyaman dengan siapa pun tanpa ragu dan tanpa merasa takut atau segala macam pikiran buruk yang tak pernah terjadi.
“Arin.” Hanya itu yang berhasil keluar dari lisanku.
“Arin, nama yang cantik. Senang berkenalan denganmu. Boleh aku tebak kalo kau ini seorang mahasiswi?” ucapnya yang membuat kedua alisku tertaut karena penasaran darimana dia tahu?
“Santailah saja. Aku sudah biasa menghadapi orang sepertimu, bahkan setiap hari selama 5 tahun waktu yang sudah terlewat. Sikapnya bahkan membuatku terlihat bodoh!” Laudia terlihat berpura-pura marah, memainkan kerudungnya dengan ujung jemari. Aku masih belum tertarik untuk berbicara sepertinya dia mengerti.
“Aku seperti melihat dia pada dirimu saat ini.”Aku menggeleng kecil tidak mengerti. Masih tidak berbicara, hanya menatapnya lebih lama dan itu membuatnya tertawa kecil kemudian diam lantas berjalan pelan memandangi gambar-gambar di dinding. Aku mengikuti langkah itu.
“Arin, aku tidak tahu kau memiliki masalah apa? Tapi, apapun yang kau hadapi. Jalan hidup selalu memberikan solusi. Jika bukan saat ini pasti ada di suatu hari nanti. Waktu yang akan memberikanmu jawaban atas beribu tanya. Pasti ada di suatu waktu nanti kau akan mengerti seperti apa kehidupan akan membawamu pergi untuk menemukan setitik harapan yang amat kau inginkan. Semua ini hanyalah tentang waktu dan apa yang tersimpan di sini harus lebih kau pahami dari siapapun!” Laudia menepuk-nepuk lembut dadanya. Tentu dengan senyum yang juga terukir di sudut bibir kecilnya. Aku semakin suka melihat senyum itu.
Juga, sepertinya aku tahu apa yang dia maksud. Mengapa dia berbicara seperti itu padaku? Ada apa dengannya?
“S…siapa?”
“Seorang yang memiliki gaya sepertimu?” ucapnya dengan pandangan yang berbeda. Tatapan matanya terlihat sendu meskipun ditutupi dengan senyum kepura-puraan. Aku tak menjawab pertanyaannya. Kembali kami hanya berjalan kecil mengitari ruangan dan langkahnya terhenti. Aku mengikuti sudut kemana kedua mata berbinarnya itu memandang. Cukup lama dia diam. Menatap lurus pada pigura foto anak-anak dan staf pengajar. Wajah yang menunjukkan senyum kebahagiaan.
“Anakku!” akhirnya Laudia bersuara. Entah apa yang membuat tanganku bergerak perlahan menyentuh bahunya yang terlihat bergetar, mungkin dengan begitu ada hal baik yang telah aku lakukan untuk orang lain dan terekam kuat dalam memoriku. Laudia sedang menangis, aku tahu itu meskipun berusaha ia tutupi.
“Kau memiliki hati yang lembut Arin, aku tahu itu! Bahkan sejak pertama kali aku melihatmu.” Aku tak menanggapi, bukan karena tak tertarik tapi aku sama sekali tidak ingin membahasnya. Aku, hanya mampu menepuk-nepuk lembut bahu Laudia. Wanita ini baru saja menasehatiku, seakan ia begitu kuat namun ternyata semua tersimpan rapi dalam kenangan luka yang membuatnya terus menahan airmata. Rasa bersalah, benci pada diri sendiri mengendap lama dalam dirinya. Aku mengerti, bahwa nasehat yang barusan ia sampaikan tidak sepenuhnya diberikan untukku. Nasehat itu lebih tepatnya ditujukan untuk dirinya sendiri, ibu yang sedang berusaha menjadi wanita terbaik bagi anak dan suaminya.“Sekarang dia di mana?”“Di rumah, bersama ayahnya.” Singkat. Laudia hanya menjawab singkat dengan senyum kecil yang masih terus ia pertahankan berada di sudut bibirnya. Aku ikut tersenyum samar, mungkin jika dilihat langsung aku hanya memasang wajah tanpa ekspresi. B
Di dunia ini, banyak hal yang tidak kita ketahui. Hampir semua yang ada disekeliling berkaitan dengan berbagai hal yang juga tidak semua kita ketahui. Karena itulah, tanpa ilmu seseorang tidak akan mampu mengatasi suatu masalah dengan tepat. Tidak pernah ada salahnya membaca buku yang tidak ada sangkut pautnya dengan keilmuan yang digeluti. Keadaan. Awalnya keadaan yang memaksa begitu. Karena realitas kenyataan mengharuskan seseorang menghadapinya dengan ilmu. Secarik kertas menyembul disela-sela sebuah buku yang tersusun terbalik, nampak sebelumnya kertas itu diletakkan buru-buru di salah satu halaman buku. Buku Diagnosis gangguan kejiwaan. Kertas itu, ujung jari Arin menyentuhnya, bergetar hebat, tapi lengannya terus mendorong jemari itu mendekat.Tok…tok…tok…Spontan jari Arin berhenti, getaran ditangannya juga hilang. Dia menoleh pada pintu kecil arah barat daya. Suara ke
Bergegas ia melihat hamparan manusia yang berjubel di depan pintu kereta. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi meskipun ia sering mengucapkan “permisi” atau “maaf” karena menerobos masuk di antara orang-orang yang berlalu lalang“Kenapa hari ini stasiun begitu ramai?” ia membatin.Jrett…jreet…Getaran handphone mengalihkan pandangan Arin. Dia sudah melihat Mey memegang handphone 20 meter dari posisinya. Arin sempatkan mengambil handphone hitam berukuran kecil dari saku bajunya. Handphone yang sangat ketinggalan zaman. Sapu tangan birunya ikut keluar, jatuh mulus ke lantai stasiun. Seseorang mengambilnya, berteriak tertahan di tengah orang-orang yang berjubel. Berharap pemiliknya menoleh.“Wa’alaykumussalam, iya Bu?” Arin berhenti melangkah. Salah satu tangan menutup telinganya. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas, pembicaraan seseorang di seberang sana.“Bagaimana?&rdq
“A...apa yang kau lakukan? Kau akan dalam kesulitan jika membuangnya. Ambil cepat. Ambil!” kakek itu berseru-seru.“Kenapa kakek memperdulikan sebuah kartu? Itu hanya sebuah kartu, Kek! Tidak cukup berarti dibanding nyawa. Bukan karena kartu itu saya berada dalam kesulitan. Tapi sepenuhnya berada di dalam diri saya sendiri. Ketika saya berpikir sulit maka kehidupan akan membuat saya kesulitan, namun ketika saya melihat harapan di antara kesulitan maka selalu ada jalan keluar. Apakah pikiran saya salah, Kek?” kakek menggeleng lemah, seperti ayunan daun yang tertiup angin.“Tapi tetap saja, kau membutuhkan kartu itu. Cepat ambil kartumu!” kakek berseru-seru dengan suara rentanya“Asal kakek berjanji mau aku obati!”“Anak ini!” kakek itu mengancam Arin dengan gertakan kakinya yang luka dan matanya yang memerah.“Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum tugasku selesai.”&ldqu
Udara pagi masuk melalui ventilasi jendela kamar. Sinar mentari telah memasuki ruang yang gelap berganti cahaya yang menebarkan senyum bunga yang merekah indah di taman. Seperti sapuan hujan pada gersangnya tanah yang tandus, seketika memberi harapan pada kehidupan yang berjalan tanpa setitik jejak yang menunjukkan akan kemana sebuah kisah akan bermula.Matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya, tapi ayam terus berkokok, mengusik jiwa yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Sudah menjadi tradisi di sekitar kota Yogya, masyarakatnya disibukkan bekerja di pagi-pagi buta. Ada yang bersiap berangkat ke ladang, sawah, berolahraga, memotong rumput, memberi makan ternak, memasak, membaca koran, membuka toko hingga memperbaiki antena TV di atas genteng.Sebuah sepeda hijau menemani pemiliknya mengarungi jalan-jalan kecil menuju pasar. Di depan sepeda itu ada keranjang berukuran sedang, cukup meletakkan beberapa barang di dalamnya, dan sisanya diikat pada tem
Pertemuan usai setelah 2 jam berlalu. Adam dan Khan menuju pasar kembali. Khan yang mengajak Adam.“Kau harus mengikutiku kali ini Dam, kau tidak akan menyesal.” Khan bersemangat. Wajah khas arab-indianya tampak berseru-seru setelah melihat yang dia tunggu-tunggu selama 2 hari kembali ada di depan mata.“Baru datang Bu?” tangan Khan memegang bungkusan makanan yang bergantung di depan warung.“Iya, Nak Khan. Ibu sudah simpankan milikmu, tunggu sebentar!” Adam tidak begitu tertarik dengan ucapan Khan sepanjang perjalanan karena sibuk memotret sekitar pasar. Tapi dia sedikit terusik dengan keakraban Khan dengan ibu itu. Sepertinya Khan sering datang kemari.“Apakah seperti dia tipemu?” Adam berbisik menggoda. Bu Minah dengan terseok-seok berdiri bersama tubuhnya yang cukup bongsor. Dia tak mendengar percakapan dua pria di depan warungnya yang menjalar kemana-mana. Khan menyentil pelipis Adam, kesal dia dengan g
Disudut kota Yogya. Di sebuah kamar berukuran cukup besar dan dipenuhi foto-foto pemandangan juga sebuah foto yang baru di ambil sebulan yang lalu. Sebuah pohon besar yang tumbang di tengah jalan. Sambil membersihkan kameranya Adam menyanyikan sebuah lagu sahabat dari Ali Sastra. Sesekali dia bersiul, melihat kameranya menghadap matahari. hal itu dilakukannya untuk memudahkan mendeteksi dimana letak debu-debu nakal yang menempel.Kamar Adam yang berada di lantai dua dan tidak terhalangi oleh bangunan apapun atau pohon apapun mampu membuat mata melihat jelas matahari pagi yang mulai menyengat. Adam melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Handphone Adam berdering mendendangkan lagu yang ia nyanyikan sebelumnya. Tertera Bunda Sovie.“Kenapa, Mbak?” tanya Adam.“Mbak ada meeting dadakan di kantor Dam, jemput Sovie yah. Ini sudah waktunya dia pulang sekolah. Dia pasti su
“Wanita ini?” batinnya. Guru Sovie menunduk dan memegang tangan Sovie.“Jemputan Sovie sudah datang, jadi sekarang Umi pulang yah?” guru itu kemudian bersiap mengambil sepeda hijaunya yang terparkir di luar pagar. Sovie meraih tangan gurunya, sang guru segera menoleh, memandang Sovie tidak percaya.“Besok Sovie mau gambar balon, Umi!” guru Sovie mengangguk, tanpa kata. Sulit dia berkata-kata saat itu. Sovie? Apa yang membuat anak itu akhirnya mau bicara? Bukan hanya Arin yang terkejut Adam juga sama. Setahunya, tidak pernah Sovie berbicara pada orang asing. Bahkan Laudia saja kesulitan. Anak itu begitu dekat dengan Adam. Selama ini, bersama Adam lah sisi lain Sovie terlihat. Arin menghentikan langkahnya saat menuntun sepeda. Dia berbalik arah. Berhenti tepat di hadapan Sovie dan juga Adam. Arin mengulurkan tangannya, meminta sesuatu.“Apa?