Share

Bab 5

“A...apa yang kau lakukan? Kau akan dalam kesulitan jika membuangnya. Ambil cepat. Ambil!” kakek itu berseru-seru.

“Kenapa kakek memperdulikan sebuah kartu? Itu hanya sebuah kartu, Kek! Tidak cukup berarti dibanding nyawa. Bukan karena kartu itu saya berada dalam kesulitan. Tapi sepenuhnya berada di dalam diri saya sendiri. Ketika saya berpikir sulit maka kehidupan akan membuat saya kesulitan, namun ketika saya melihat harapan di antara kesulitan maka selalu ada jalan keluar. Apakah pikiran saya salah, Kek?” kakek menggeleng lemah, seperti ayunan daun yang tertiup angin.

“Tapi tetap saja, kau membutuhkan kartu itu. Cepat ambil kartumu!” kakek berseru-seru dengan suara rentanya

“Asal kakek berjanji mau aku obati!”

“Anak ini!” kakek itu mengancam Arin dengan gertakan kakinya yang luka dan matanya yang memerah.

“Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum tugasku selesai.”

“Kau…!” kakek itu tidak dapat menghentikan gesitnya tangan Arin membersihkan luka di lutut, tangan, dan kepalanya. Kemudian memberi obat luka dan membalutkan perban ditambah sentuhan terakhir memberikan kakek minuman.

“Minumlah Kek! Pasti kakek kehausan habis berteriak-teriak memarahi semua orang.” Setengah berbisik Arin mengingatkan “Kakek sudah tua, jaga kesehatan!” Kakek memandang wanita dengan kulit kusam itu. Wajah kusam karena goresan tinta panasnya mentari dan gores lelah. Namun wanita ini memiliki senyum yang indah, tatkala ketulusan hatinya mendorong garis bibirnya melengkung sempurna, seperti setetes embun di pagi hari. Ada ketenangan tersendiri ketika melihatnya, kakek bersyukur dalam hati. Meskipun masih enggan lisannya mengucapkan terimakasih.

Tidak peduli dengan sekelilingnya, Arin beranjak menuju tengah jalan. Polisi sudah tiba di sana dan dengan cepat dapat mengevakuasi pohon besar dan rantingnya yang ikut berserak bersama sampah, sepeda motor dan gerobak sampah. Arin menunduk, tangannya terlambat. Ada tangan lain yang terlebih dulu mengambil kartunya.

“Ambillah!” Arin kenal suara itu.

“Aku tidak memintamu mengambilnya, jadi aku tidak akan mengucapkan terimakasih!” Arin mengambil kartu itu tanpa menatap lawan bicaranya.

“Tidak masalah. Aku yang berterimakasih!” Arin memperlambat langkahnya yang menjauh dan membelakangi lawan bicaranya.

“Terimakasih untuk pelajaran hari ini!”

“Pria aneh!” suara Arin hanya didengar angin, mengangkasa dan menghilang begitupun dengan sosoknya yang hilang di tengah kerumunan orang.

Jalanan kembali normal, Mey segera mengedipkan lampu mobil pada Arin yang berjalan lurus di tepi jalan. Mengisyaratkan agar dia berjalan lebih cepat. Jenuh Mey melewati macet, sendirian di dalam mobil yang panasnya mungkin bisa memasak telur. Segera saja Arin memasuki mobil yang menunggunya di tepi jalan. Kembali memegang stir mobil. Kali ini, dia yang akan membawa mereka kembali pulang.

Mobil melaju di jalan-jalan kecil Yogya. Mereka bisa bernafas lega, akhirnya langit dinaungi awan yang berarak sehingga rasa gerah sedari tadi agak berkurang. Beberapa orang nampak beristirahat di pelataran masjid dan surau-surau. Melepas lelah bekerja setengah hari. Jiwa mereka butuh mendapat asupan baru untuk kembali melanjutkan kehidupan yang terus menuntut untuk dijalani. Meskipun sulit, harus tetap dijalani. Itulah yang terpintas dalam benak Arin ketika melewati waktu yang bayangannya berdiri tegak sama dengannya.

***

Terkadang dunia terasa kejam

Di antara satu, dua anak manusia

Menghentak pijakan bumi

Menatap langit tak bertiang

Tetap sama, tak berbeda

Langit tetap di atas

Bumi tetap di bawah

Beriringan di jalur alam

Terpisah memang terlihat mata

Tapi mereka sama adanya

Apalah arti pengorbanan

Tanpa untuk apa pengorbanan

Apalah arti berbagi

Tanpa untuk apa berbagi

Ketika luka masih basah

Jangan salahkan masa

Bukan karena waktu berlalu

Tapi hati yang teramat lemah

                    Yoygakarta, 3 September 2010

                                    Arindia Nazrina Hawa

            Di tutupnya buku kecil bersampul biru langit. Anak-anak sejak 15 menit yang lalu bertebaran di sekitar TK. Banyak permainan yang mengusik akal mereka untuk mencoba. Memanjat jaring laba-laba, ayunan, jungkat-jungkit, jembatan, tiang gantungan. Semua permainan telah sesuai SOP.

Ada yang berebutan memainkan satu permainan. Ada yang asyik bercerita sambil bermain ayunan. Sesekali diselingi tawa.a Beberapa anak nampak saling berkejar-kejaran. Sudah wataknya, mengganggu dan mengusili teman yang lain. Di balik kaca putih yang memisahkan kelas dengan dunia luar, Arin memperhatikan anak-anak yang sedang berlarian dan bermain dengan wajah ceria. Kali ini Arin tidak keluar kelas seperti biasanya.  Hanya guru-guru lain yang menjaga anak-anak atau ikut bermain bersama. Ada tugas lain, yang harus ia kerjakan. Tugas dari kepala sekolah. Meskipun tanpa di suruh dia juga akan tetap mengajukan diri.

Hanya sesekali Arin melihat anak-anak di luar kelas. Perhatiannya telah tersita lebih banyak pada satu anak di hadapannya. Seorang anak kecil berusia 5 tahun. Wajahnya bulat, bola matanya seperti boneka, pipinya berisi seperti roti yang sudah matang dan rambutnya hitam panjang melewati kerudung orange yang dikenakannya.

Anak itu lebih banyak menunduk. Dilihatnya saja buku gambar dihadapannya. Kotak pensil warna dengan 24 variasi itu dibiarkan terbuka. Pemiliknya tidak tertarik menggunakan. Anak itu hanya merapatkan tangan dan dagunya di atas meja, memandang papan tulis dengan gambar buah apel, jeruk, anggur dan pisang. Jika diperhatikan lebih dekat, mereka memiliki kesamaan. Pandangan kosong, hampa. Tatapan yang membuat bisu sesaat, lidah keluh, amarah mereda, dan kenyamanan. Sulit diartikan, karena semua menyatu dalam satu rasa.

“Sovie…” Anak yang dipanggil itu tidak menoleh. Bola matanya saja yang bereaksi, merespons dengan cepat. Lagi, dia tidak tertarik. Arin mengelus lembut kepala Sovie. Sudah 15 menit berlalu, dibiarkannya saja anak itu bermain dengan pikirannya. Masih beradaptasi.

“Bermain?” Sovie menggeleng pelan.

“Menggambar?” Sovie menggeleng pelan. Matanya tertumbuk pada pensil warna di hadapannya. Arin melihat ada respons meski sangat kecil kemungkinan.

“Mewarnai?” bola mata Sovie membesar. Sebentar saja, bola mata itu kembali mengecil.

“Tidak apa-apa. Biar Umi saja yang bermain, menggambar dan mewarnai!” Arin menyeringai. Berusaha masuk pada dunia Sovie.

Diambilnya rubrik dan menghamburkannya di atas meja. Hanya untuk pelengkap saja. Aneh terasa meja anak yang begitu sunyi dengan permainan. Pensil warna yang sedari tadi menunggu untuk digunakan sekarang satu persatu secara bergantian berada di tangan Arin. Setelah membuat sketsa buah di atas kertas gambar, tangannya dengan lincah menyulap kertas putih dengan hamparan gambar buah berwarna warni. Mulutnya komat-kamit menjelaskan setiap gambar serta manfaat setiap buah.

Sovie mengangkat kepalanya, memegangi ujung kertas. Jiwa anaknya terstimulus dengan baik. Arin masih menyisakan satu dua gambar yang belum terwarnai. Sovie tidak lagi memegang ujung kertas tapi perlahan menariknya. Dia tidak puas melihatnya dari jauh. Arin menggeser pensil warna

lebih dekat kepada Sovie. Tak butuh waktu lama, tangan kecil itu mengambil pensil warna berwarna merah. Digoresakannya pada salah satu gambar, buah apel. Dia hanyut dalam gambarnya, tidak sadar bahwa anak-anak yang sedari tadi bermain di luar telah memenuhi ruangan. Pelajaran terakhir berkumpul di aula utama, semua anak bergabung menyanyikan lagu-lagu gembira sambil bertepuk tangan. Tidak tahu menahu, di antara mereka satu anak dengan dunianya sendiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status