Share

Bab 4

Bergegas ia melihat hamparan manusia yang berjubel di depan pintu kereta. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi meskipun ia sering mengucapkan “permisi” atau “maaf” karena menerobos masuk di antara orang-orang yang berlalu lalang 

“Kenapa hari ini stasiun begitu ramai?” ia membatin.

Jrett…jreet…

Getaran handphone mengalihkan pandangan Arin. Dia sudah melihat Mey memegang handphone 20 meter dari posisinya. Arin sempatkan mengambil handphone hitam berukuran kecil dari saku bajunya. Handphone yang sangat ketinggalan zaman. Sapu tangan birunya ikut keluar, jatuh mulus ke lantai stasiun. Seseorang mengambilnya, berteriak tertahan di tengah orang-orang yang berjubel. Berharap pemiliknya menoleh.

“Wa’alaykumussalam, iya Bu?” Arin berhenti melangkah. Salah satu tangan menutup telinganya. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas, pembicaraan seseorang di seberang sana.

“Bagaimana?” dia berhenti sejenak, raut wajahnya berubah.

“Tidak masalah Bu.” Dia mengangguk berkali-kali, menyimak ucapan orang di sebrang telepon sebaik mungkin.

“Iya. Pasti bisa, Bu!”

“Baik, Bu”

“Sama-sama Bu.” Arin menutup telepon, dilihatnya Mey dari kejauhan masih menggenggam handphone. Sebuah tas besar diam di sampingnya, ia mondar-mandir tidak tenang sambil berbicara dengan seseorang di seberang telepon, sesekali menggigit ujung kukunya. Sebal dia tidak dijemput langsung Bu Surti, ditambah lagi Arin datang terlambat menjemputnya.

Bu surti yang sedang sibuk menyusun berkas-berkas ikut gusar karena ulah putrinya. Karena pecah konsentrasinya hampir saja data-data warga yang masih hidup ia masukkan dalam arsip warga yang meninggal. Dibujuknya Mey selembut mungkin, masih dengan nada bataknya yang khas. Bu Surti tahu sekali watak putri semata wayangnya itu. Kerasnya hampir menyerupai gunung es Arin, meskipun baginya gunung es Mey lebih mudah mencair. Jika ia mengeluarkan jurus merayu tingkat dewa.

“Tunggulah sejenak Nak, sebentar lagi Arin datang, Kau…” belum selesai bu Surti berbicara, Mey sudah menutup teleponnya. Dipandanginya Arin dengan sorot mata elang yang sedang kelaparan.

Arin melangkah tanpa berkedip, dibalasnya tatapan Mey, tidak tajam pun juga tidak teduh, lebih tepatnya hampa, kosong. Mey yang memandang tepat pada manik mata Arin seakan terhipnoti. Tatapan tajam Mey justru meredup. Emosinya mereda. Ujung matanya mengikuti langkah Arin mengambil tas besar di samping posisinya berdiri. Mey mengambil kasar tas gendong yang dia letakkan di  kursi. Masih kesal ia, tapi orang yang berada di hadapannya tidak dapat dengan mudah menjadi pelampiasan kekesalannya.

“Kenapa telat?”

“Mengurusi hal yang kau benci.” jawab Arin sambil melangkah pergi. Mey diam ditempatnya, mengepalkan tangan dan meninjukannya di belakang Arin. Sayang, tinjuan itu hanya menyentuh angin. Arin menoleh, Mey cepat-cepat menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Mau pulang ke rumah atau kembali masuk kereta?” Arin memiringkan sedikit kepalanya ke sebelah kanan menunggu jawaban, tentu saja dengan wajah tanpa bersalahnya. Mey melangkah gontai, diikutinya langkah wanita menyebalkan dihadapannya itu.

Arin melangkah kembali, dilewatinya seseorang yang sedari tadi mendengar percakapan mereka. Sapu tangan itu menghadang langkah Arin, seperti pagar, sekaligus sebuah tangan menghadang. Ditatapnya ketus seorang pria tepat di samping kanan ia berdiri. Menanyakan maksud tanpa berkata-kata.

“Ambillah!” ucap pria itu tanpa basa-basi.

“Untuk apa?”

“Kau membutuhkannya!”

“Kau saja ambil. Aku tidak butuh!” Arin menghindar dari tangan yang masih menghadangnya dan melangkah secepat mungkin. Hari ini, hari yang paling ia tunggu. Mengapa banyak hal yang memancing sesuatu yang mati dalam dirinya kembali hidup. Kenapa? Dia benci, benci pada dirinya sendiri.

***

Jalanan siang itu cukup macet. Jam menunjukkan pukul 10.00 pagi. Panas matahari tidak dapat mendinginkan mobil yang sudah full AC. Berkali-kali Mey mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan. Bunyi klakson membahana di tengah kota. Banyak hal yang ingin dilakukan, setiap orang punya tujuan masing-masing yang harus segera dilaksanakan dan yang terpenting adalah terbebas dari macet. Tidak seperti hari biasa, macet kembali mewarnai jalan.

Arin mengangkat sedikit kepalanya, melihat mobil membentuk barisan layaknya pasukan pengibar bendera. Dia menarik nafas berat. Berbalik arah tidak mungkin, karena di belakang sudah dihadang kendaraan lain. Hanya sepeda, atau motor yang dapat bergerak menyelip diantara kemacetan.

“Kau punya SIM bukan?”

“Baru sebulan yang lalu, kenapa? Jangan bilang…!” Mey menutup mulutnya tidak percaya. Arin sudah keluar mobil menuju sumber kemacetan.

“Hei…hei…tunggu! Hei…Dasar! Wanita aneh.” omel Mey, terpaksa merangkak berpindah ke tempat duduk Arin. Suara klakson beserta omelan di belakang mobilnya tak memberi kesempatan lebih lama untuk mengumpat Arin.

Bunyi klakson mobil terus membahana, sahut-menyahut di sepanjang jalan. Jauh di depan sana sebuah motor dan gerobak sampah beserta sampah-sampahnya berserakan di tengah jalan. Semua terjadi begitu cepat, sebuah pohon tua tumbang ke tengah jalan dan menghantam sebuah sepeda motor dan gerobak tukang sampah. Tidak ada polisi, masih dalam perjalanan menuju lokasi. Jadilah, warga sekitar yang memenuhi jalan dan membantu seadanya.

Tidak ada korban jiwa tapi satu motor hancur dan pengendaranya dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka yang cukup parah. Sedangkan pemilik gerobak sampah itu, nasibnya juga tidak begitu baik. Arin memperhatikan kerumunan orang. Tampak di tengah kerumunan seorang kakek yang kakinya sedang terluka, duduk dengan wajah pasrah. Dia menolak dibawa ke rumah sakit. Orang-orang sudah membujuknya tapi dia bersikeras tidak mau pergi ke rumah sakit. Diobati pun dia enggan.

Dimarahinya semua orang yang berusaha mendekat meski sekedar ingin melihat keadaannya. Mereka akhirnya menjaga jarak. Kaki kakek itu terluka cukup parah. Darah mengalir segar dilutut, dan kepalanya terbentur benda keras, mengalirkan darah kental di pelipis. Miris orang-orang melihatnya. Pakaiannya compang camping, bertambal sulam di mana-mana. Baju kaos putih tulang yang ia kenakan tak nampak lagi warna putihnya bercampur debu dan darah. Tangannya lecet dipenuhi luka goresan. Dia tetap bergeming, ditatapnya hampa gerobak sampah yang rusak parah, lebih parah baginya kerusakan gerobak itu daripada dirinya sendiri. Itulah sumber kehidupannya, bagaimana bisa ia mengobati dirinya sedang harapannya saja telah hancur di depan mata.

Arin yang sedari tadi berkeliling mencari warung untuk membeli air, perban, obat luka, sesegera mungkin menyelinap di antara kerumunan orang. Tepat dia berdiri di hadapan kakek memegang keresek dan minuman. Diaturnya dulu nafas yang tersengal-sengal. Kakek itu menatapnya tajam, bibirnya bergetar bersiap meluapkan amarah. Benci dia pada orang yang hanya berusaha menolongnya tapi tidak dengan gerobaknya. Arin membalas tatapan kakek, sama seperti sebelumnya. Tatapan kosong, hampa membuat bingung lawan yang menatapnya. Arin memperlihatkan sebuah kartu.

“Kakek lihat ini!” kakek menatap kartu dan wajah Arin bergantian, tidak mengerti maksud Arin.

“Saya menggunakan ini kemanapun saya pergi saat berkendara, tapi saat ini dan detik ini juga aku akan membuangnya!” Arin melempar SIMnya ke tengah jalan. SIM itu tergeletak di sana bersama gerobak tua yang setengah hancur. Bukan hanya kakek itu yang terperanjat, orang-orang di sekeliling mereka menatap aneh pada wanita asing di hadapan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status