Share

Bab 2

“Kau memiliki hati yang lembut Arin, aku tahu itu! Bahkan sejak pertama kali aku melihatmu.” Aku tak menanggapi, bukan karena tak tertarik tapi aku sama sekali tidak ingin membahasnya. Aku, hanya mampu menepuk-nepuk lembut bahu Laudia. Wanita ini baru saja menasehatiku, seakan ia begitu kuat namun ternyata semua tersimpan rapi dalam kenangan luka yang membuatnya terus menahan airmata. Rasa bersalah, benci pada diri sendiri mengendap lama dalam dirinya. Aku mengerti, bahwa nasehat yang barusan ia sampaikan tidak sepenuhnya diberikan untukku. Nasehat itu lebih tepatnya ditujukan untuk dirinya sendiri, ibu yang sedang berusaha menjadi wanita terbaik bagi anak dan suaminya.

“Sekarang dia di mana?”

“Di rumah, bersama ayahnya.” Singkat. Laudia hanya menjawab singkat dengan senyum kecil yang masih terus ia pertahankan berada di sudut bibirnya. Aku ikut tersenyum samar, mungkin jika dilihat langsung aku hanya memasang wajah tanpa ekspresi. Begitu yang kutahu dari teman-temanku di kampus ketika mereka berinteraksi denganku.

Sebenarnya gedung ini tidaklah besar. Hanya terdapat beberapa ruangan kecil untuk proses belajar mengajar dan tersedia pula 1 ruangan khusus untuk menyambut tamu. Tidak besar. Tapi cukup untuk menampung seperangkat sofa beludru merah dengan motif bunga-bunga mawar berukuran kecil, serta meja persegi panjang berwarna senada. Ditambah satu vas bunga hias yang berwarna-warni di letakkan  di atasnya.

Ruangan ini hampir sama seperti ruangan panjang sebelumnya. Dinding berwarna hijau dihiasi pajangan gambar-gambar berpigura. Hanya saja, dalam ruangan terdapat sebuah lemari yang cukup besar. Lemari kaca yang terdiri dari 4 tingkatan dengan lebar 1,5 meter dan tingginya mencapai 2,5 meter. Lemari kaca seakan dengan angkuhnya menonjolkan warna-warna keemasan dari piala-piala yang bertengger rapi di dalamnya.

“Minumlah.” Aku memberikan segelas air untuk Laudia. Setidaknya wanita yang menangisi anaknya ini membutuhkan sebuah energi baru. Bagiku, mungkin segelas air putih cukup.

“Terimakasih, Arin.” Laudia menerima gelas yang kuberikan padanya lantas meminum air itu perlahan.

“Kau pandai beramah tamah, Arin.” Laudia meletakkan gelas kosong di atas meja, lantas kembali tersenyum. Wanita ini suka sekali menebarkan keceriaannya. Iri. Aku sungguh iri tidak menjadi pribadi sepertinya. Aku ingin seperti wanita ini, yang mudah sekali berbaur bahkan pada orang baru yang dikenalnya.

Laudia perlahan berdiri, kembali melihat sekeliling ruangan, sesekali Laudia menunjuk gambar sedangkan aku hanya mengikuti kemana langkahnya akan membawa. Aku kembali mengingat saat pertama kali gambar-gambar itu dibuat.

Sekitar 50 anak berkumpul di lapangan sekolah membawa perlengkapan menggambar. Ada pensil warna, buku contoh-contoh untuk menggambar, buku gambar, cat minyak hingga kuas untuk melukis. Apapun yang mereka ingin gunakan untuk menggambar, semua diperbolehkan. Mereka bebas berkreativitas. Hasilnya dapat dibayangkan? Beraneka gambar tertuang dalam selembar kertas gambar. Mulai dari pemandangan, matahari, gunung, bulan, bintang, hewan, tumbuhan, bunga, rumah, sekolah, kantor-kantor, masjid, hingga manusia. Lantas, dapat dibayangkan bagaimana kualitas gambar mereka?

Aku mengatakan tidak terlalu buruk. Gambar mereka bagus. Sesuai dengan usia mereka. Seusia mereka, anak TK sangat wajar menggambar kaki manusia yang lebih besar dari kepala, kepala lebih besar dari bahu, jari-jari tangan yang seperti lidi, matahari berevolusi menjadi bentuk kotak dengan warna yang masih tetap sama, setidaknya mendekati warna orange atau kuning. Wah, Itu bagus. Yah, kelak mereka akan belajar dari kesalahan itu. Entahlah! Disuatu waktu nantinya. Mungkin, di saat mereka telah tumbuh dewasa, mereka akan bangga pada gambar yang telah tangan mereka ukir saat masih kecil. Karena saat itulah  mereka telah menjadi dirinya sendiri, diri yang bebas berkreasi dan berimajinasi. Saat ketika masa depan perlahan mulai terangkai. Diawali masa dahulu yang menghantarkan pada masa-masa selanjutnya dalam kehidupan seseorang, begitu seterusnya. Sebuah benang merah yang saling bertautan.

            Puas melihat sekeliling ruangan, aku mengajak Laudia duduk. Meskipun dengan penolakan halus Laudia sebelumnya, segelas air putih kembali aku sediakan di atas meja bersanding dengan pudding cokelat yang dibawa oleh salah satu orangtua murid yang suka sekali memasak. Tadi, pudding itu aku simpan dikulkas yang ada di dapur sekolah.

Laudia mengeluarkan secarik kertas dan menyerahkannya kepadaku. Kertas itu telah berpindah tangan. Aku membacanya lamat-lamat. Aku sudah terbiasa menerima berbagai macam keterangan tentang siswa yang akan belajar di kelas. Segera aku melipat kembali kertas itu dan meletakkannya di atas meja.

“Saya akan pelajari lagi di rumah, Laudia.” Aku mengusap wajah yang terasa cukup panas. Padahal di luar sangat dingin. Sekilas membaca secarik kertas itu cukup menguras sisa-sisa tenagaku.

“Haruskah aku kembali masuk ke dunia itu? Mampukah aku? Meski sudah lama, tetap saja aku tidak tahu seberapa kuat aku saat ini? Tapi aku juga tidak mungkin membiarkannya.” Batin Arin.

“Iya Rin, saya berharap kamu bisa memahaminya.” Laudia berkata lemah, pandangannya lurus pada lemari berisi piala. Ahh! Betapa luar biasanya piala itu. Siapa yang tidak bangga melihatnya. Aku menatap simpatik. Laudia memainkan jemarinya seperti orang yang sedang gugup sambil menunduk, senyumnya menghilang seketika meski sesekali ia tetap tersenyum, namun senyum itu lebih karena ia paksakan.  Aku tak lagi melihat keceriannya. Hanya wajah sendu dari seorang ibu yang rapuh.

“Aku tahu kau tidak akan bertanya. Tapi aku akan tetap memberitahumu alasan kenapa aku kemari.” Laudia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Laudia menatapku lekat, berusaha sekuat mungkin kembali dapat berkata-kata seperti sebelumnya.

“Aku…ini bukan pilihanku Rin, tapi pilihannya!” Laudia menatap secarik kertas yang terlipat di hadapan Arin. Kertas itu, kertas yang sebelumnya Arin baca. Sebuah kertas yang dalam sekejab mengganti suhu tubuh seseorang. Bagaimana bisa? Apa yang tidak mungkin di dunia ini. Bahkan bulan pun telah ada yang pijak padahal ia jauh berada di luar bumi ini. Maka, tersenyumlah! Begitulah bumi mengajarkan suatu hal pada anak manusia.

***

Pergantian waktu di mulai, malam kini sampai pada ujungnya. Tidak banyak kesibukan di hari ini. Bagi Arin inilah 1 hari dari sekian banyak hari yang dapat ia gunakan untuk istirahat. Hari Jum’at. Itulah hari istimewanya. Dia selalu menganggapnya begitu. Bukan hanya karena ia dapat beristirahat, tapi baginya hari Jum’at adalah hari yang spesial, ada nuansa tersendiri yang diberikan Jum’at pada 24 jam waktu dalam sehari. Istimewa, nuansa itulah yang menemaninya sejak dulu, saat ia masih begitu dini untuk mengerti tentang waktu.

            Sejak pukul 04.00 dini hari Arin sibuk dengan hafalannya. Dia tidak beranjak dari sajadah yang terjulur di samping kiri tempat tidur. Mulutnya komat-kamit mengulang bacaan. Dia masih mengenakan mukena setelah meletakkan media hafalannya yang bertulis Rabbani pada sambil bukunya. Diletakkannya di atas meja kecil di sebelah kanan tempat tidur. Di meja itu berjajar buku-buku bacaan, mulai dari berbagai buku berkaitan dengan bisnis, bidang yang sedang ia geluti di kampus, menginjak tahun ketiga yang berarti semester 6. Ditambah lagi buku penunjang wawasan berupa sastra, geografi, biografi tokoh-tokoh dunia, astronomi,  fisika, rumus-rumus kimia, pendidikan anak, psikologi, hingga resep memasak. Semua buku itu penting, menurut Arin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status