“Kau memiliki hati yang lembut Arin, aku tahu itu! Bahkan sejak pertama kali aku melihatmu.” Aku tak menanggapi, bukan karena tak tertarik tapi aku sama sekali tidak ingin membahasnya. Aku, hanya mampu menepuk-nepuk lembut bahu Laudia. Wanita ini baru saja menasehatiku, seakan ia begitu kuat namun ternyata semua tersimpan rapi dalam kenangan luka yang membuatnya terus menahan airmata. Rasa bersalah, benci pada diri sendiri mengendap lama dalam dirinya. Aku mengerti, bahwa nasehat yang barusan ia sampaikan tidak sepenuhnya diberikan untukku. Nasehat itu lebih tepatnya ditujukan untuk dirinya sendiri, ibu yang sedang berusaha menjadi wanita terbaik bagi anak dan suaminya.
“Sekarang dia di mana?”
“Di rumah, bersama ayahnya.” Singkat. Laudia hanya menjawab singkat dengan senyum kecil yang masih terus ia pertahankan berada di sudut bibirnya. Aku ikut tersenyum samar, mungkin jika dilihat langsung aku hanya memasang wajah tanpa ekspresi. Begitu yang kutahu dari teman-temanku di kampus ketika mereka berinteraksi denganku.
Sebenarnya gedung ini tidaklah besar. Hanya terdapat beberapa ruangan kecil untuk proses belajar mengajar dan tersedia pula 1 ruangan khusus untuk menyambut tamu. Tidak besar. Tapi cukup untuk menampung seperangkat sofa beludru merah dengan motif bunga-bunga mawar berukuran kecil, serta meja persegi panjang berwarna senada. Ditambah satu vas bunga hias yang berwarna-warni di letakkan di atasnya.
Ruangan ini hampir sama seperti ruangan panjang sebelumnya. Dinding berwarna hijau dihiasi pajangan gambar-gambar berpigura. Hanya saja, dalam ruangan terdapat sebuah lemari yang cukup besar. Lemari kaca yang terdiri dari 4 tingkatan dengan lebar 1,5 meter dan tingginya mencapai 2,5 meter. Lemari kaca seakan dengan angkuhnya menonjolkan warna-warna keemasan dari piala-piala yang bertengger rapi di dalamnya.
“Minumlah.” Aku memberikan segelas air untuk Laudia. Setidaknya wanita yang menangisi anaknya ini membutuhkan sebuah energi baru. Bagiku, mungkin segelas air putih cukup.
“Terimakasih, Arin.” Laudia menerima gelas yang kuberikan padanya lantas meminum air itu perlahan.
“Kau pandai beramah tamah, Arin.” Laudia meletakkan gelas kosong di atas meja, lantas kembali tersenyum. Wanita ini suka sekali menebarkan keceriaannya. Iri. Aku sungguh iri tidak menjadi pribadi sepertinya. Aku ingin seperti wanita ini, yang mudah sekali berbaur bahkan pada orang baru yang dikenalnya.
Laudia perlahan berdiri, kembali melihat sekeliling ruangan, sesekali Laudia menunjuk gambar sedangkan aku hanya mengikuti kemana langkahnya akan membawa. Aku kembali mengingat saat pertama kali gambar-gambar itu dibuat.
Sekitar 50 anak berkumpul di lapangan sekolah membawa perlengkapan menggambar. Ada pensil warna, buku contoh-contoh untuk menggambar, buku gambar, cat minyak hingga kuas untuk melukis. Apapun yang mereka ingin gunakan untuk menggambar, semua diperbolehkan. Mereka bebas berkreativitas. Hasilnya dapat dibayangkan? Beraneka gambar tertuang dalam selembar kertas gambar. Mulai dari pemandangan, matahari, gunung, bulan, bintang, hewan, tumbuhan, bunga, rumah, sekolah, kantor-kantor, masjid, hingga manusia. Lantas, dapat dibayangkan bagaimana kualitas gambar mereka?
Aku mengatakan tidak terlalu buruk. Gambar mereka bagus. Sesuai dengan usia mereka. Seusia mereka, anak TK sangat wajar menggambar kaki manusia yang lebih besar dari kepala, kepala lebih besar dari bahu, jari-jari tangan yang seperti lidi, matahari berevolusi menjadi bentuk kotak dengan warna yang masih tetap sama, setidaknya mendekati warna orange atau kuning. Wah, Itu bagus. Yah, kelak mereka akan belajar dari kesalahan itu. Entahlah! Disuatu waktu nantinya. Mungkin, di saat mereka telah tumbuh dewasa, mereka akan bangga pada gambar yang telah tangan mereka ukir saat masih kecil. Karena saat itulah mereka telah menjadi dirinya sendiri, diri yang bebas berkreasi dan berimajinasi. Saat ketika masa depan perlahan mulai terangkai. Diawali masa dahulu yang menghantarkan pada masa-masa selanjutnya dalam kehidupan seseorang, begitu seterusnya. Sebuah benang merah yang saling bertautan.
Puas melihat sekeliling ruangan, aku mengajak Laudia duduk. Meskipun dengan penolakan halus Laudia sebelumnya, segelas air putih kembali aku sediakan di atas meja bersanding dengan pudding cokelat yang dibawa oleh salah satu orangtua murid yang suka sekali memasak. Tadi, pudding itu aku simpan dikulkas yang ada di dapur sekolah.
Laudia mengeluarkan secarik kertas dan menyerahkannya kepadaku. Kertas itu telah berpindah tangan. Aku membacanya lamat-lamat. Aku sudah terbiasa menerima berbagai macam keterangan tentang siswa yang akan belajar di kelas. Segera aku melipat kembali kertas itu dan meletakkannya di atas meja.
“Saya akan pelajari lagi di rumah, Laudia.” Aku mengusap wajah yang terasa cukup panas. Padahal di luar sangat dingin. Sekilas membaca secarik kertas itu cukup menguras sisa-sisa tenagaku.
“Haruskah aku kembali masuk ke dunia itu? Mampukah aku? Meski sudah lama, tetap saja aku tidak tahu seberapa kuat aku saat ini? Tapi aku juga tidak mungkin membiarkannya.” Batin Arin.
“Iya Rin, saya berharap kamu bisa memahaminya.” Laudia berkata lemah, pandangannya lurus pada lemari berisi piala. Ahh! Betapa luar biasanya piala itu. Siapa yang tidak bangga melihatnya. Aku menatap simpatik. Laudia memainkan jemarinya seperti orang yang sedang gugup sambil menunduk, senyumnya menghilang seketika meski sesekali ia tetap tersenyum, namun senyum itu lebih karena ia paksakan. Aku tak lagi melihat keceriannya. Hanya wajah sendu dari seorang ibu yang rapuh.
“Aku tahu kau tidak akan bertanya. Tapi aku akan tetap memberitahumu alasan kenapa aku kemari.” Laudia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Laudia menatapku lekat, berusaha sekuat mungkin kembali dapat berkata-kata seperti sebelumnya.
“Aku…ini bukan pilihanku Rin, tapi pilihannya!” Laudia menatap secarik kertas yang terlipat di hadapan Arin. Kertas itu, kertas yang sebelumnya Arin baca. Sebuah kertas yang dalam sekejab mengganti suhu tubuh seseorang. Bagaimana bisa? Apa yang tidak mungkin di dunia ini. Bahkan bulan pun telah ada yang pijak padahal ia jauh berada di luar bumi ini. Maka, tersenyumlah! Begitulah bumi mengajarkan suatu hal pada anak manusia.
***
Pergantian waktu di mulai, malam kini sampai pada ujungnya. Tidak banyak kesibukan di hari ini. Bagi Arin inilah 1 hari dari sekian banyak hari yang dapat ia gunakan untuk istirahat. Hari Jum’at. Itulah hari istimewanya. Dia selalu menganggapnya begitu. Bukan hanya karena ia dapat beristirahat, tapi baginya hari Jum’at adalah hari yang spesial, ada nuansa tersendiri yang diberikan Jum’at pada 24 jam waktu dalam sehari. Istimewa, nuansa itulah yang menemaninya sejak dulu, saat ia masih begitu dini untuk mengerti tentang waktu.
Sejak pukul 04.00 dini hari Arin sibuk dengan hafalannya. Dia tidak beranjak dari sajadah yang terjulur di samping kiri tempat tidur. Mulutnya komat-kamit mengulang bacaan. Dia masih mengenakan mukena setelah meletakkan media hafalannya yang bertulis Rabbani pada sambil bukunya. Diletakkannya di atas meja kecil di sebelah kanan tempat tidur. Di meja itu berjajar buku-buku bacaan, mulai dari berbagai buku berkaitan dengan bisnis, bidang yang sedang ia geluti di kampus, menginjak tahun ketiga yang berarti semester 6. Ditambah lagi buku penunjang wawasan berupa sastra, geografi, biografi tokoh-tokoh dunia, astronomi, fisika, rumus-rumus kimia, pendidikan anak, psikologi, hingga resep memasak. Semua buku itu penting, menurut Arin.
Di dunia ini, banyak hal yang tidak kita ketahui. Hampir semua yang ada disekeliling berkaitan dengan berbagai hal yang juga tidak semua kita ketahui. Karena itulah, tanpa ilmu seseorang tidak akan mampu mengatasi suatu masalah dengan tepat. Tidak pernah ada salahnya membaca buku yang tidak ada sangkut pautnya dengan keilmuan yang digeluti. Keadaan. Awalnya keadaan yang memaksa begitu. Karena realitas kenyataan mengharuskan seseorang menghadapinya dengan ilmu. Secarik kertas menyembul disela-sela sebuah buku yang tersusun terbalik, nampak sebelumnya kertas itu diletakkan buru-buru di salah satu halaman buku. Buku Diagnosis gangguan kejiwaan. Kertas itu, ujung jari Arin menyentuhnya, bergetar hebat, tapi lengannya terus mendorong jemari itu mendekat.Tok…tok…tok…Spontan jari Arin berhenti, getaran ditangannya juga hilang. Dia menoleh pada pintu kecil arah barat daya. Suara ke
Bergegas ia melihat hamparan manusia yang berjubel di depan pintu kereta. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi meskipun ia sering mengucapkan “permisi” atau “maaf” karena menerobos masuk di antara orang-orang yang berlalu lalang“Kenapa hari ini stasiun begitu ramai?” ia membatin.Jrett…jreet…Getaran handphone mengalihkan pandangan Arin. Dia sudah melihat Mey memegang handphone 20 meter dari posisinya. Arin sempatkan mengambil handphone hitam berukuran kecil dari saku bajunya. Handphone yang sangat ketinggalan zaman. Sapu tangan birunya ikut keluar, jatuh mulus ke lantai stasiun. Seseorang mengambilnya, berteriak tertahan di tengah orang-orang yang berjubel. Berharap pemiliknya menoleh.“Wa’alaykumussalam, iya Bu?” Arin berhenti melangkah. Salah satu tangan menutup telinganya. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas, pembicaraan seseorang di seberang sana.“Bagaimana?&rdq
“A...apa yang kau lakukan? Kau akan dalam kesulitan jika membuangnya. Ambil cepat. Ambil!” kakek itu berseru-seru.“Kenapa kakek memperdulikan sebuah kartu? Itu hanya sebuah kartu, Kek! Tidak cukup berarti dibanding nyawa. Bukan karena kartu itu saya berada dalam kesulitan. Tapi sepenuhnya berada di dalam diri saya sendiri. Ketika saya berpikir sulit maka kehidupan akan membuat saya kesulitan, namun ketika saya melihat harapan di antara kesulitan maka selalu ada jalan keluar. Apakah pikiran saya salah, Kek?” kakek menggeleng lemah, seperti ayunan daun yang tertiup angin.“Tapi tetap saja, kau membutuhkan kartu itu. Cepat ambil kartumu!” kakek berseru-seru dengan suara rentanya“Asal kakek berjanji mau aku obati!”“Anak ini!” kakek itu mengancam Arin dengan gertakan kakinya yang luka dan matanya yang memerah.“Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum tugasku selesai.”&ldqu
Udara pagi masuk melalui ventilasi jendela kamar. Sinar mentari telah memasuki ruang yang gelap berganti cahaya yang menebarkan senyum bunga yang merekah indah di taman. Seperti sapuan hujan pada gersangnya tanah yang tandus, seketika memberi harapan pada kehidupan yang berjalan tanpa setitik jejak yang menunjukkan akan kemana sebuah kisah akan bermula.Matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya, tapi ayam terus berkokok, mengusik jiwa yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Sudah menjadi tradisi di sekitar kota Yogya, masyarakatnya disibukkan bekerja di pagi-pagi buta. Ada yang bersiap berangkat ke ladang, sawah, berolahraga, memotong rumput, memberi makan ternak, memasak, membaca koran, membuka toko hingga memperbaiki antena TV di atas genteng.Sebuah sepeda hijau menemani pemiliknya mengarungi jalan-jalan kecil menuju pasar. Di depan sepeda itu ada keranjang berukuran sedang, cukup meletakkan beberapa barang di dalamnya, dan sisanya diikat pada tem
Pertemuan usai setelah 2 jam berlalu. Adam dan Khan menuju pasar kembali. Khan yang mengajak Adam.“Kau harus mengikutiku kali ini Dam, kau tidak akan menyesal.” Khan bersemangat. Wajah khas arab-indianya tampak berseru-seru setelah melihat yang dia tunggu-tunggu selama 2 hari kembali ada di depan mata.“Baru datang Bu?” tangan Khan memegang bungkusan makanan yang bergantung di depan warung.“Iya, Nak Khan. Ibu sudah simpankan milikmu, tunggu sebentar!” Adam tidak begitu tertarik dengan ucapan Khan sepanjang perjalanan karena sibuk memotret sekitar pasar. Tapi dia sedikit terusik dengan keakraban Khan dengan ibu itu. Sepertinya Khan sering datang kemari.“Apakah seperti dia tipemu?” Adam berbisik menggoda. Bu Minah dengan terseok-seok berdiri bersama tubuhnya yang cukup bongsor. Dia tak mendengar percakapan dua pria di depan warungnya yang menjalar kemana-mana. Khan menyentil pelipis Adam, kesal dia dengan g
Disudut kota Yogya. Di sebuah kamar berukuran cukup besar dan dipenuhi foto-foto pemandangan juga sebuah foto yang baru di ambil sebulan yang lalu. Sebuah pohon besar yang tumbang di tengah jalan. Sambil membersihkan kameranya Adam menyanyikan sebuah lagu sahabat dari Ali Sastra. Sesekali dia bersiul, melihat kameranya menghadap matahari. hal itu dilakukannya untuk memudahkan mendeteksi dimana letak debu-debu nakal yang menempel.Kamar Adam yang berada di lantai dua dan tidak terhalangi oleh bangunan apapun atau pohon apapun mampu membuat mata melihat jelas matahari pagi yang mulai menyengat. Adam melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Handphone Adam berdering mendendangkan lagu yang ia nyanyikan sebelumnya. Tertera Bunda Sovie.“Kenapa, Mbak?” tanya Adam.“Mbak ada meeting dadakan di kantor Dam, jemput Sovie yah. Ini sudah waktunya dia pulang sekolah. Dia pasti su
“Wanita ini?” batinnya. Guru Sovie menunduk dan memegang tangan Sovie.“Jemputan Sovie sudah datang, jadi sekarang Umi pulang yah?” guru itu kemudian bersiap mengambil sepeda hijaunya yang terparkir di luar pagar. Sovie meraih tangan gurunya, sang guru segera menoleh, memandang Sovie tidak percaya.“Besok Sovie mau gambar balon, Umi!” guru Sovie mengangguk, tanpa kata. Sulit dia berkata-kata saat itu. Sovie? Apa yang membuat anak itu akhirnya mau bicara? Bukan hanya Arin yang terkejut Adam juga sama. Setahunya, tidak pernah Sovie berbicara pada orang asing. Bahkan Laudia saja kesulitan. Anak itu begitu dekat dengan Adam. Selama ini, bersama Adam lah sisi lain Sovie terlihat. Arin menghentikan langkahnya saat menuntun sepeda. Dia berbalik arah. Berhenti tepat di hadapan Sovie dan juga Adam. Arin mengulurkan tangannya, meminta sesuatu.“Apa?
“Lah anak laki-laki itu kerjaannya harus jelas, Dam! Kau dapat apa dari memotret? Hemm?” logat jawa Saras, ibu Adam memecah keheningan di ruang keluarga. Ada ayah Adam, Laudia beserta suaminya dan juga Sovie yang semenjak datang mengikuti langkah Adam. Om dan keponakan itu melihat-lihat foto yang berhasil diabadikan dalam kamera.“Di kantormu apa tidak ada lowongan, La?” sahut ayah Adam. Laudia menggeleng. Sedang orang yang dibahas tidak ingin ikut dalam pembicaraan itu. Bukan sekali dua kali ayah dan ibu mereka membahas hal yang sama. Paling-paling Adam menghentikan pembicaraan dengan mengatakan “Do’akan saja Adam dapat gambar yang bagus dan unik ibu,” kemudian menoleh pada ayahnya “dan ayahku tercinta!” beserta bujukan manjanya. Kedua orangtua Adam saling pandang saja melihat tingkah anak bungsu mereka.“Atau ayah jodohkan saja dia, biar dewasa, Yah!” celetuk Laudia asal. Adam segera