Share

Dua

“Ah, baik.” Tanpa perlu berpikir bahwa dia kesal, aku bergegas turun dengan mendorong pintu tanpa bantuannya, tidak seperti saat kami akan berangkat.

Seorang wanita tua, mungkin berusia setengah abad lebih sepuluh tahun, menyambut kami dengan senyum yang dipaksakan. Dia mengenakan terusan polkadot hitam dengan warna latar putih bersama rambut yang tersanggul rapi. Dia terlihat modis di usia tuanya.

“Tuan Muda Tom ada di kamar utama lantai satu, mari kuantar kalian ke sana.” Dia mengangguk pelan, mungkin isyarat agar kami mengikutinya.

Rumah besar bergaya klasik dan terlihat antik. Aku terpesona sejenak, tapi Rhys menarikku ke sebuah lemari besar di dekat sebuah pintu, setelah dia meminta wanita tua itu meninggalkan kami berdua saja.

Merasa sesak meski dalam sebuah lemari yang tidak terisi apapun, aku berusaha menjauh sedikit dari si menakutkan ini.

Hebatnya, dia tidak membungkuk saat berada di dalam sini. Itu menandakan, lemari kayu tua nan kokoh ini cukup besar dan melebihi tinggi tubuh Rhys.

“Dengar, Tom Jhon Parera, baru saja kehilangan kedua orang tuanya yang menentang keluarga kita. Dia juga kehilangan penglihatannya pada kecelakaan itu. Dan sekarang, tidak ada satupun orang di rumah ini yang berada di pihaknya. Kau hanya perlu merayunya dengan lembut, agar setuju menandatangani surat pernyataan jual beli tanah, milik keluarga mereka di tengah kota Yellowrin.” Rhys bicara tanpa jeda, seperti bukan dirinya, dia mencengkeram pergelangan tanganku dengan lembut.

Aku mengerjap, sampai Rhys mendekatkan tubuhnya padaku, dan mengerikan, tubuh bagian depannya menempel padaku. Napasku tertahan, aku takut.

“Apa aku akan mendapat bantahan?” Dia bertanya dengan suara yang terdengar berat di telingaku.

“Tidak.” Aku berusaha menjawab seyakin yang kubisa.

“Bagus. Ingat baik-baik, mungkin Tom akan mengajakmu bermain, tapi kau tak perlu khawatir, karen aku akan berada di sana. Memperhatikan kalian.” Dengan kedua matanya yang lebih mirip mata ular daripada mata elang, dia menatapku penuh aura mengintimidasi.

“Ya, baiklah.”

Tubuhnya mulai mundur dariku. Dan itu, menghilangkan sedikit rasa ngeri yang dirasakan oleh sekujur tubuhku.

“Dan ingat ...,” katanya lagi, menatap tajam kembali padaku, “dia menyukai wanita dengan ketukan pelan juga teratur dalam setiap langkahnya. Jangan buru-buru, lakukan semua itu dengan baik. Ada hukuman dariku jika kau gagal, ZeeZee.” Rhys mengucapkan namaku dengan lembut dan hati-hati. Itu berbeda, dia hampir tidak pernah menyebut namaku. Dan aku berusaha tenang untuk semua yang akan kuhadapi.

Dia mulai melangkah keluar dari lemari, menungguku di depan pintunya, seolah dia pria sejati yang baik hati. Rhys menahanku dengan isyarat tangannya di depan wajahku, lalu dia mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya.

Sebotol kecil parfum yang kemudian dia semprotkan di semua bagian leherku, dan sekitar blazer abu-abu yang kukenakan. Dia menatapku yang mengernyit karena aroma parfum yang menusuk hidungku, meski wangi klasiknya begitu menyenangkan.

Setelahnya, kami berjalan bersisian, dan Rhys tidak perlu memberitahuku berulang kali tentang caraku berjalan sesuai kesukaan target kami. Dan Rhys hanya menatapku sekilas, melangkah lebih dulu dan menungguku di depan pintu.

Aku mengenali siapa Tom Jhon Parera. Dia kehilangan kekasihnya yang seorang model terkenal—Lucika Holloway—karena bunuh diri. Berita tentang Tom, mulai sering menghiasi majalah dan surat kabar sejak itu. Bahkan rumor tentang Tom yang mulai berhalusinasi bahwa sang kekasih masih hidup, juga beredar kencang waktu itu. Mungkin sekitar tujuh atau delapan bulan lalu.

“Mulailah beraksi,” bisik Rhys ketika pintu sudah mulai dibuka olehnya, dan dia mempersilahkan aku masuk menghampiri si tukang berkhayal.

Tom duduk di sebuah kursi berlengan layaknya Bos besar seperti Ayahku, dan caranya duduk mirip dengan salah satu Kakakku, Adorjan si gila kekuasaan.

Tatapannya lurus, meski hanya kekosongan yang jelas terbaca dari wajahnya. Dia tampan, seimbang dengan ketampanan salah satu Kakakku, Hugo.

Meski dalam posisi duduk, dia tetap terlihat memiliki tubuh yang tinggi, kulit sawo matang, bibir dan alis yang tipis, juga rambut hitam yang disisir rapi ke belakang. Dia tidak terlihat buta, tampak normal, dan tentu baik-baik saja.

Aku sudah berada tepat dihadapannya setelah tadi melangkah sangat anggun—lambat dan teratur—untuk menghampirinya.

“Selamat pagi, Tuan Tom Jhon Parera.”

Dia menaikkan alisnya, tersenyum manis, lalu menopang dagunya. “Selamat pagi, sayang. Aku tahu kau akan datang,” katanya. 

Aku ingin menoleh untuk melihat Rhys, tapi urung, karena aku tahu, ini belum apa-apa. Bukan saatnya aku meminta bantuan. Dia bisa menghukumku sampai mati.

Biasanya, aku selalu mudah membantu kelima Kakakku yang lain dalam urusan yang hampir mirip seperti ini. Aku juga terbiasa menembak mati target yang diinginkan kelima Kakakku.

Tapi tidak pada Rhys. Dia berbeda. Ini bantuan pertama yang kuberikan untuknya, dan menjadi pertama kalinya dia memberiku tugas. Dan tugas ini lebih sulit daripada menempelkan mulut pistol di kening seseorang.

“Kenapa diam? Kau sedang mengatur napas?” Dia tersenyum mengejek.

Tidak menjawab, aku melangkah pelan, berhati-hati dengan stilleto boots-ku agar dapat memberi ketukan yang rapi dan terkesan tidak buru-buru, seperti keberhasilan pertama yang kudapat tadi.

Aku sudah berdiri di sampingnya, meletakkan tangan kananku di pundaknya sesaat. Memastikan bahwa dia terpengaruh, aku langsung duduk di pangkuannya. Tentu dia akan tertawa seperti sekarang. Aku sudah menebak hal itu.

Walaupun jarang mendapatkan tugas seperti ini, tapi aku sedikit memahami tipikal pria kesepian seperti Tom. Aku melihat ke arah Rhys yang berdiri dalam jarak kurang lebih lima meter dariku.

Dia bersandar santai di tembok bercat putih dengan tangan terlipat di depan dada. Menatapku, maksudku, menatapku dan Tom dengan tatapan tak berkedip. Sempat canggung, tapi anggukan kepala dari Rhys, membuatku percaya diri, bahwa aku tidak melakukan kesalahan.

Kudekatkan tubuhku sedikit lebih rapat ke tubuh Tom. Aku tidak ingin terkesan terlalu mudah di awal perkenalan kami.

Dia mengendus, sedikit meraba dengan gerakan tak mahir. Wajar, kondisi ini bukan bawaan lahir, jadi dia akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi dengan keadaannya sekarang.

Beruntung, dia meraba wajahku, tepatnya di bagian bawah bibirku. Dia tersenyum senang, tetap dalam gerakan jari yang menyentuh dan menyapu bibirku.

Aku menahan napas, aku ingat, meski samar, seseorang pernah melakukan hal yang sama seperti ini padaku, di kamarku pada malam hari yang gelap gulita—aku tak suka tidur dengan lampu menyala—dan dia mencoba menciumku. 

Aku tidak tahu siapa dia. Tapi ingatan pastiku mengatakan dia salah satu dari keenam Kakak laki-lakiku, tapi jelas, sepertinya Rhys tidak masuk dalam hitungan.

Itu terjadi tujuh tahun yang lalu. Dan sejak itu, aku selalu mengunci pintu kamar dan menyembunyikan kuncinya di balik bantalku.

Ah, kutarik kembali ucapanku tentang Rhys, karena tadi, dia bisa duduk santai di tepi ranjangku tanpa izin. Sekali lagi, itu mengerikan.

Keluargaku memang gila. Mereka semua aneh dan menjijikkan, meski aku juga termasuk salah satu dari mereka.

“Cika ... ini sungguh kau?”

Aku tersadar dari lamunan, menoleh pada Rhys, tapi dia tidak mengangguk atau memberi isyarat lain. Aku tahu, dia ingin mengujiku, menilai cara kerjaku.

“Ya, sayang ... ini aku,” bisikku lembut di telinganya.

Aku sadar dia masih mengendus, aku tahu itu caranya dalam mengenaliku sebagai Lucika Holloway.

Apa semudah ini?

Suara gedebuk membuatku lebih dulu merasa terkejut daripada sakit. Baru saja aku merasa ragu, Tom sudah melempar tubuhku ke lantai dengan wajah berang.

“Jangan coba-coba menipuku!”

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status