“Katakan sesuatu yang benar-benar setimpal dengan waktuku yang kau buang.” Rhys memandangku, terlihat menikmati caraku mencegahnya pergi.
“Bisakah kita mendiskusikan ini dalam perjalanan?” Aku mengais jari-jari kaki kanan di lantai marmer honed yang anti licin. Sampai kapan aku tidak diizinkan mengenakan alas kaki seperti ini?
“Apa yang ingin kau diskusikan?”
“Tentang ...” Aku menoleh sekilas ke lorong menuju ruang makan, “tentang ucapan konyolku tadi.”
“Kau berubah pikiran?”
“Ya.”
“Bagus.” Dia memutar tubuhnya. “Ikut aku.” Baru dua langkah berjalan, dia berhenti, melihatku melewati bahunya. “Jangan berjalan dibelakangku.”
Menghela napas diam-diam, aku menurut. Berjalan di sisinya dengan kedua kaki telanjang. Tidak bisa kubayangkan bagaimana perihnya kedua kakiku jika digunakan saat menginjak aspal atau lantai yang terkena sinar matahari.
Jelas sekali Rhys ingin membuatku menderita.
Kami tiba di garasi. Sama seperti sebelumnya, a
Apel matang yang sudah berdiri di puncak kepalaku sedikit tidak menurut. Sesekali dia hampir merosot, dan aku berhasil menangkapnya.Aneh, Rhys terlihat sabar akan hal itu. Dia diam menunggu, tanpa mengatakan apapun meski pandangan kedua matanya begitu tajam dan menakutkan.Aku mengisyaratkan dengan tanganku bahwa si apel sudah siap, dan aku juga siap untuk mati. Berlebihan memang. Tapi aku hanya siap untuk terluka, bukan mati konyol.Dalam jarak terdekat, bukan seharusnya—tiga puluh meter—sekitar dua puluh meter, mungkin Rhys bisa mengenai apelnya. Berdoa saja, atau paling tidak, aku berharap tidak, jangan sampai kepalaku yang terkena bidikan anak panahnya.Mungkin jika harus memilih, lengan, bahu, atau kaki ya, sebaiknya anggota tubuh yang lain. Oh baiklah, aku sedikit panik! Ini gila!Rhys terlihat sudah menarik string. Dan ayolah, Putri bungsu Oxley, jangan tatap dia! Akan lebih baik jika aku menatap lurus ke arah lain, sambil berharap dia benar-ben
Benar, memang dia yang akan melakukannya. Setelah wajahku kering dengan sendirinya, Rhys mendekati wastafel, untuk mencuci tangannya cukup lama dari yang aku lakukan.“Jangan bergerak. Tenang dan tahanlah.” Rhys sudah selesai mencuci tangan pada akhirnya, duduk di hadapanku. Membuka tutup obat oles berbentuk gel, lalu mengoleskannya sedikit demi sedikit, dengan sangat pelan dan hati-hati di pipiku.Sekarang wajahnya sedekat saat tadi dia mengamati goresan luka di wajahku. Aku tidak paham kenapa dia sama sekali tidak memiliki kemiripan denganku.Alis matanya tidak tebal seperti milikku. Bentuk hidungnya lurus dari pangkal hingga ke ujungnya. Bibirnya tipis. Rhys juga memiliki rambut yang hitam pekat, tidak kecokelatan sepertiku.Walau Adorjan dan Leon memiliki warna rambut yang hampir mirip denganku, tapi cokelat yang lebih gelap, tetap saja aku tidak memiliki kemiripan satu persenpun dengan keenam saudara laki-lakiku, terutama Rhys.Aya
Terburu-buru turun dari mobil, aku melihat ada banyak tamu yang datang ke rumah kami. Sebenarnya, aku tidak heran, mereka pasti mendapat undangan makan siang dari Ibu.Begitu mencintai masak memasak, Ibu nyaris mengajak semua pelayan untuk memasak dalam porsi besar setiap kali dia ingin, lalu mengundang tamu atau teman-temannya untuk menikmati hasil eksperimennya di dapur.Lagipula, aku ingin segera terbebas dari Rhys sebentar saja. Aku terlalu dekat dengannya dan itu sangat membuatku tidak nyaman. Dia terus berada di kamar pintu merah tua bersamaku, meski aku sudah terbangun dengan perdarahan di hidung yang sudah berhenti.“ZeeZee? Apa kabarmu, sayang?”Inilah alasan yang membuatku terburu-buru ingin masuk ke kamar selain karena Rhys. Aku berbalik, Bibi Meida sudah merentangkan kedua tangannya untuk memelukku.“Baik, Bi. Aku baik-baik saja.” Walau ucapanku bernada biasa, Bibi Meida tetap melanjutkan kegiatan beramah tamahnya padaku.“Oh, ZeeZee D
Hugo meninggalkan nomor kontak si Aktor tampan—Giotto Armstrong—yang memiliki wajah licik dan senyum menawan.Meski dia Aktor terkenal, aku tidak begitu tahu apalagi peduli tentang siapa dia. Tapi kuakui si Aktor ini cukup tampan, meski tidak mampu menandingi ketampanan Hugo.Masih tiga jam sebelum Rhys tiba. Aku akan mencoba cara konyolku mengganggu Giotto, tanpa prasangka apapun. Coba saja dan tidak perlu mempedulikan hasilnya.Hugo memberitahuku bahwa tidak akan menjadi masalah ketika Giotto berhasil melacak keberadaanku, atau berhasil mencari tahu siapa aku, karena tidak akan ada satupun orang di Yellowrin yang mau berurusan dengan keluarga Oxley.Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mencobanya. Memberi umpan basi yang menurutku, mungkin, masih berfungsi dengan baik.“Kau di mana?” Pertanyaan langsung yang kuberikan ketika panggilanku segera dijawab, meski dia belum mengatakan ‘halo’ karena menurutku, serangan cepat itu, penting.“Maaf, dengan
Entah karena kepalaku yang terasa berat dan pusing, atau akibat dari rasa mengantuk yang masih ada, tapi kurasa, lebih tepatnya di karenakan sentuhan Rhys yang menyenangkan, membuat kepalaku terkulai kebelakang tanpa kusadari dengan cepat.Sandaran berupa dada Rhys sepersekian detik kemudian, membuat kedua mataku lebih dulu terbuka, daripada kepalaku yang bergerak maju.Sedikit mendongak, aku bisa melihat jakunnya yang naik turun teratur, sepanjang rahang hingga dagu yang baru selesai dicukur dan ah, ya ampun, hentikanlah!“Menyenangkan tidur dan bersandar di sana?” Dia bertanya, tepat setelah aku melepas diri dari dadanya.“Aku tidak sengaja,” gumamku pelan, menoleh sekilas pada Rhys yang masih bersedia duduk di belakangku. Sepertinya rasa takutku pada Rhys semakin menipis dari hari kemarin ke hari ini.Hening setelahnya dan aku berusaha membuka lebar-lebar kedua mataku dan hampir melotot, agar tidak terjebak kantuk yang luar biasa.“Apa ka
Suasana suram setelah percakapanku senja kemarin bersama Rhys di kamar, menyisakan keenggananku untuk bertemu dengannya lagi dalam waktu dekat.Memilih flowy dress hitam hampir semata kaki, aku menambahkan belt warna gold di pinggang sebagai pemanis. Lalu untuk kedua kaki, aku merasa nyaman dengan ankle boots pagi ini.Berjalan tanpa terburu-buru, aku keluar kamar, menyusuri lorong menuju ruang makan sebelum yang lain duduk mengitari meja makan.Lebih menyenangkan ketika mata mereka tidak mengawasiku yang baru tiba karena terlambat. Apalagi sudah beberapa hari aku melewatkan sarapan pagi di kamar dan pergi bersama Rhys.Masih ada lima belas menit lagi sebelum jam sarapan akan dimulai. Jadi aku merasa tidak perlu terburu-buru.Hampir tiba di ruang makan, aku berhenti berjalan ketika dua telapak tangan yang dingin, menutup kedua mataku.“Leon?” Aku menebak mungkin saja dia berniat untuk bercanda denganku pagi ini.“Kau
Tapi tetap saja, kursi Rhys yang paling sering kosong. Kutebak, dia lebih senang sarapan di rumahnya sendiri, tanpa Lucas dan gadis norak itu.Ayah duduk di kursi paling ujung meja, kursi kebanggaan Ayah di depan Anak-Anaknya. Di sebelah kanannya ada Ibu yang selalu berada di kursi itu dari waktu ke waktu. Sementara di sebelah kirinya, Hugo belum tampak, mungkin dia terlambat.Mereka bertiga tidak pernah merubah posisi kursi mereka, sejak dulu. Ah, tentu, satu orang lagi juga begitu. Rhys. Dia berada tepat di ujung meja seberang Ayah. Jadi mereka langsung bertatapan lurus satu sama lain.Pagi ini, aku memilih untuk duduk dihadapan Ludwig, dan Leon di sisi kiriku. Aku sibuk dengan serbet, ketika suara Ayah memecah hening dengan wajah yang cerah.“Oh, akhirnya kau datang juga, Giotto Armstrong.”Penyebutan nama itu seketika menghentikan semua kegiatanku. Saat menoleh ke arah si tamu muncul, aku merasa seperti ada yang mengkhianatiku ketika melihat si korb
Apa katanya? Saling tertarik? Apa dia sadar bahwa sekarang dia sedang membual? Sepertinya aku harus menghentikan omong kosong bodoh Giotto, sebelum aku juga akan terseret masalah.Ketika mulutku sudah sedikit terbuka, aku mendengar Hugo mengeluarkan suaranya yang sejak tadi—mungkin—sengaja dia simpan.“Kau tidak menyadari apa kesulitanmu?” Hugo tersenyum saat bertanya. Itu sikap yang sempurna menurutku.Tatapan Giotto beralih pada Hugo, dia tersenyum kaku dan canggung. Bahasa tubuhnya menunjukkan betapa gelisah serta tidak nyaman dirinya saat ini.“Aku tahu. Jelas aku tahu kesulitan apa yang akan aku hadapi ...” Dia berhenti sejenak, seolah menarik ketegangan dalam dirinya, “keenam Kakak laki-laki Nona ZeeZee.” Kedua mata Giotto menyapu seluruh kursi berpenghuni, kecuali satu kursi di sebelahnya. Tempat duduk Rhys.“Tapi Kakak tertuanya tidak ada di sini. Bagaimana kau akan menghadapinya?”