Share

Tujuh

Aku bergeming ketika Rhys sudah berdiri di belakangku. Posisi yang sama seperti saat dia mengepang rambutku kemarin sore.

Dia membuka tatanan half ponytail-ku, dengan perlahan-lahan. Menyisiri rambutku dengan jari-jarinya. Setelah itu, aku tidak bisa merasakan apa yang dia lakukan di belakang, tepatnya pada rambutku.

Diam membeku, aku menahan rasa ingin merosot duduk di lantai. Aku bergetar karena merasakan kedekatan yang mengancam dibalik punggungku.

Grapefruit dan pepper dari tubuh kami seakan menyatu, aromanya sangat kuat memenuhi ruang perpustakaan yang ukurannya setengah dari perpustakaan kesatu milik Ayah dan Ibu.

Kali pertama aku ke sini, sebentar, aku tidak ingat, dan sepertinya memang aku belum pernah menginjakkan kakiku ke sini. Aku juga tidak yakin kelima Kakakku yang lain pernah dibiarkan masuk oleh Rhys.

“Pergilah bercermin.” Rhys berkata dengan nada memerintah, dan itu berhasil mengejutkanku.

Rambutku terasa dalam balutan berbeda. Selama pikiranku melayang, aku tidak sadar bagaimana cara dia menyentuh rambutku.

Aku menoleh, melihat Rhys yang menunjuk menggunakan dagunya ke arah depan. “Cerminnya ada di dalam ruangan kecil itu, di balik rak buku yang itu,” tunjuk Rhys.

Tanpa sadar, aku melangkah dengan cepat menggunakan kedua kaki telanjangku. Rasa penasaran membuatku menyentuh-nyentuh rambutku yang seperti digulung sedikit rendah hampir menyentuh leher bagian belakangku.

Memang ada sebuah ruangan kecil tanpa pintu di balik rak buku, dan lebih mirip seperti tempat khusus bercermin. Ada cermin lantai yang langsung memberi pantulan bayangan sempurna diriku.

Aku memegang maha karya Rhys di rambutku. Melihat di cermin dengan memutar kepala ke kiri dan kanan, sambil mencermati dalam-dalam. Ini low bun hairdo.

Wow! Luar biasa untuk seorang pria dewasa yang amatir. Ya, seharusnya dia hanya seorang amatiran yang tidak terbiasa dengan tatanan rambut wanita.

“Kau suka?” Pantulan setengah tubuh Rhys muncul di cermin, dia berdiri tepat di belakangku.

“Yap.” Aku tersenyum sekilas, merapikan helaian rambut di sekitar wajahku. Meski tidak kusangka dia akan menyusul, tetap saja dia terlalu berlebihan pada Adiknya sendiri.

Dunia mungkin akan mengecam sikapnya yang tidak senonoh ini. Dia bermain-main dengan Adik kandungnya sendiri? Itu gila. Sangat menjijikkan!

Aku pikiranku saja yang sekarat? Apa karena aku tidak pernah memiliki hubungan ‘manis’ dengan semua Kakak laki-lakiku, hingga aku terlalu sadis dalam menilai keakraban seperti ini, menjadi suatu hal yang tidak layak?

Terasa aneh dan menggelikan.

“Ayo, kita pergi sekarang.”

“Kemana?”

“Ke tempat di mana kau akan mengenalku.”

Aku mengernyit, masih menyentuh low bun hairdo-ku dengan sangat hati-hati, seolah hanya satu sentuhan keliru saja, tatanannya akan langsung rusak. “Aku sudah mengenalmu. Kau Kakak tertuaku.” Penyangkalan konyol yang sengaja kurancang untuk membuatnya marah.

Memiliki sedikit keberanian, ya, sedikit. Itu karena dia sudah bersikap baik pada rambutku. Menyulapnya sebagus ini, seolah menjadi hal manis yang bisa dia lakukan, alih-alih menghukumku sesuai ancamannya.

“Jangan banyak bertanya, atau aku akan merusak rambutmu,” ancam Rhys, terdengar kekanakan.

Di sinilah aku tahu, dia tidak akan pernah bisa bersikap manis. Itu hanya ilusi. Kesenangan yang dia berikan padaku tidak cuma-cuma, jelas ada bayaran untuk itu.

“Baik.” Lagi-lagi aku berpikir, kapan aku bisa melawannya?

Aku mengikutinya, tapi sadar bahwa kedua kakiku masih tanpa alas. Dengan berjinjit, setengah berlari aku menuju ke tempat sneakers putihku berada.

“Biarkan sepatumu di sana.”

Aku sudah mengangkat kedua sneakers-ku ke udara, tapi mendadak berhenti. “Apa?” Aku lupa seharusnya tidak perlu bertanya.

“Cepat kemari!”

Tanpa menjawab, aku menurutinya. Kami bertemu Ludwig, berpapasan saat dia akan menuju lantai atas menggunakan tangga.

Dia salah satu dari si kembar ‘L’ yang fenomenal.

Ludwig lahir sepuluh menit lebih cepat dari Luigi, itu kata Orie.

Aku tahu itu Ludwig, karena dia memiliki tubuh yang lebih tinggi dan kurus dari Adiknya.

Kebiasaan di keluarga ini, mereka tidak akan saling menyapa, dan keakraban hanya terlihat saat mereka bergerak menghabisi nyawa orang lain.

Tidak peduli, seolah keberadaanku di sisi Rhys hanya angin lalu, Ludwig melanjutkan perjalanannya setelah melirik ke tatanan rambutku.

Mendadak, aku malu karena tatapan sekilas Ludwig padaku. Perasaan seperti ada hal buruk yang kami—aku dan Rhys—lakukan. Entahlah. Aku mulai merasakan perasaan ini semenjak berurusan dengan Rhys.

“Jangan gunakan alas kaki, tetap seperti itu!” perintah Rhys terkesan kaku, setengah mengancam.

“Ya, baiklah.” Aku bergumam di belakangnya, menunduk sambil berjalan dan mengasihani kedua kakiku, lalu tak lama, menubruk punggung Rhys yang berjalan di depanku.

Aku mengusap wajahku dengan kasar. Mendongak dan melihat Rhys sedang tidak berjalan, jadi ini bukan salahku. Dia yang berhenti mendadak karena kehadiran seorang wanita di rumah kami—mungkin tamu Ayah atau Ibu—yang menghadang langkah Rhys.

“Selamat pagi, Tuan Rhys Dimitri Oxley dan Nona ZeeZee Dimitri Oxley ....”

Dia cantik. Itu kesan pertamaku. Kulitnya seputih salju. Dia mengenakan atasan blouse tanpa motif lengan pendek yang dipadukan bersama rok midi hijau tua asimetris dengan model ruffle di bagian bawahnya.

Dia modis. Sekali lagi, cantik dan mungil. Bibir tipisnya diberi warna orange pudar.

“Waah ... kompak sekali,” katanya dengan tertawa, “kalian sepakat untuk tidak membalas sapaan hangatku?” Dia tampak tidak tersinggung, tapi kujamin dia sedang berpura-pura. Terutama dihadapan Ryhs, si lajang tua yang benar-benar memiliki banyak peminat wanita.

“Diam dan masuklah ke ruang makan, Nona Audrey Mika,” kata Rhys.

Aku tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan oleh Rhys, karena aku berdiri di belakang punggungnya, tapi wanita itu menciut, terdiam sesaat dengan raut wajah tegang.

Wah, karisma seekor ular berbisa memang mampu melumpuhkan lawan dengan sekali sengatan.

“Sampai nanti, Nona ZeeZee,” angguk wanita itu padaku dengan senyum canggung. Dia melirik sekilas pada Rhys sebelum akhirnya benar-benar menghilang menuju ke ruang makan.

Aku terbiasa tidak mempedulikan sapaan yang datang dari orang asing. Terutama saat aku tahu dia hadir di meja makan karena undangan Ayah atau Ibu.

Rhys melihatku melewati bahunya, “Kau akan mendapat hukuman dari Ayah dan Ibu jika tidak membalas sapaan tamu mereka.”

“Aku memilikimu untuk membatalkan hukuman itu,” gumamku lirih, tapi kujamin Rhys bisa mendengar itu.

Dia berbalik, sudah berdiri tepat dihadapanku. “Kau pikir begitu?”

“Ya.” Rasa takutku berkurang, sedikit, secuil, hanya untuk mengiyakan dengan berani, aku memang bisa.

Rhys mendengus, tersenyum sinis, memasukkan tangan ke saku celananya. “Kau berharap aku jadi pelindungmu dari hukuman Ayah dan Ibu?”

“Tidak, jika kau tak menginginkannya. Aku bisa menjalani hukuman itu sendiri seperti biasa.” Santainya aku bicara seolah dinding ketakutanku pada Rhys runtuh seketika. Padahal sejujurnya, karena aku bicara tanpa menatap kedua matanya, jadi seakan aku memiliki kekuatan gaib untuk menjawab Rhys seolah tanpa beban setelahnya.

“Baiklah, kau bisa jalani hukuman itu sendiri. Kau tak perlu bantuanku,” kata Rhys, berbalik. Sekarang Rhys berjalan sendirian menjauhiku dengan cepat. Dia tampak terburu-buru.

Seketika aku sadar arti dari kehati-hatianku sejak awal memang untuk menghindari hal seperti ini.

Aku perlu mengejarnya untuk membuat kesepakatan tentang semua masalah yang dia mulai, saat pertama kali dia berpikir untuk memilih, menguji dan menandaiku sebagai target.

Setidaknya, aku bisa mengatakan padanya, bahwa aku sedang tidak bersungguh-sungguh saat mengatakan aku tak membutuhkannya sebagai pelindungku dari hukuman Ayah dan Ibu.

“Tunggu!”

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status