Share

Enam

Dengan pelan, aku mengangguk dan menjawab, “Ya.”

Rhys melanjutkan percakapannya di telepon. Aku tidak fokus pada apa yang dia bicarakan, tapi sepertinya itu ada kaitannya dengan Tom Jhon Parera.

“Urus semua sisanya. Jangan ada yang terlewat.” Rhys melirikku yang kebetulan, tertangkap basah sedang mencuri pandang ke arahnya. Cengkeraman eratnya mengendur. Aku tidak paham kenapa itu terjadi. “Sebaiknya kau tidak menghubungiku sampai nanti kuizinkan.” Rhys memberi peringatan di telepon, lalu mengakhiri panggilan.

Melepas cengkeraman tangannya, dia kembali naik ke ranjangku. “Ayo mulai lagi. Gangguan sudah lewat.”

Semakin lama, semakin terasa bahwa aku hanyalah pecundang yang terlihat mengalami kemajuan.

Hampir lima puluh lima menit ketika Rhys memintaku berhenti. Aku benar-benar menghitung dengan tepat waktunya. Detail seperti ini, sewaktu-waktu, aku akan membutuhkannya.

“Besok pagi, kenakan pakaian yang akan diantarkan Peony padamu. Kau harus menemaniku.”

Perintah Rhys di depan pintu, membuatku lelah sebelum benar-benar menjalaninya.

Dia sudah bertekad untuk menjadikanku bonekanya. Menikmati menyiksaku dalam satu kali kekacauan yang kulakukan.

Akan sulit keluar dari lingkaran setan yang dia ciptakan khusus untukku. Ini tidak akan berakhir sampai aku mati. Sampai Rhys mencapai puncak kenikmatannya dalam menyiksaku, dia tidak akan berhenti.

Frida—salah satu pelayan dapur—muncul tepat ketika aku akan mendorong pintu kamarku menutup. Dia menahan pintu dengan wajah ketakutan.

Bagiku, dia terlihat mencurigakan, mungkin Frida sudah ada di sekitar kamarku, menunggu sampai Rhys keluar dan menghampiriku untuk—mungkin—sesuatu yang penting.

“Ada apa?” Suaraku selalu tidak ramah pada siapapun yang berada di istana ini.

Kegelisahan yang mengelilingi Frida membuatku semakin mencurigainya. Tatapan itu menyapu sekitar seperti kedua mata pencuri yang awas.

“Aku sudah menunggumu bicara, cepat katakan atau aku akan—”

“Tolong rahasiakan ini dari Tuan Rhys,” rengek Frida. Gemetar dan pucat pasi di kulitnya yang kecokelatan, menyisakan warna aneh bagi pemandangan mataku.

Dengan gerakan cepat, Frida menyelipkan gulungan kertas dan mengepalkan tanganku.

“Kumohon jangan beritahu Tuan Rhys aku mendatangimu,” kata Frida, merengek kembali seperti bocah kecil, “ini perintah. Aku ... aku tidak bisa menolak, tapi—”

“Ya, ya Frida, aku mengerti. Pergilah,” selaku cepat, merasa lelah ketika mendengar suaranya setelah hampir enam puluh menit tercekik bersama Rhys di kamarku. Aku butuh kesenangan lain, bukan suara memohon dengan wajah penuh ketakutan yang kulihat darinya.

Kubanting pintu dan menguncinya, meski Frida mungkin masih mematung di luar. Kulihat tulisan Ibu saat merapikan secarik kertas lusuh yang bertuliskan sebaris kalimat.

“Datang ke kamarku lewat tengah malam.”

Aku benci serangan dari dua kubu berbeda seperti ini. Ibu menginginkanku untuk kepentingannya, dan Rhys lebih dari sekedar ingin menjadikanku budaknya.

Kupikir, tidak akan untungnya aku bicara dengan Ibu di tengah malam. Sekarang aku lelah, membaca sampai delapan puluh dua halaman dalam waktu hampir lima puluh lima menit, membuat kedua mataku letih.

Melempar tubuh ke ranjang menjadi jawabannya. Ketika mataku terpejam, hidungku mengendus samar-samar aroma Rhys yang tertinggal di ranjangku.

Dengan amarah yang hampir tidak dapat kutahan, aku buru-buru turun dari ranjang, menarik seprei yang dikuasai aroma Rhys, menggulung dan melemparkannya ke sudut kamar.

Aku terlalu mengantuk untuk memasang seprei baru, jadi aku benar-benar tidur tanpa seprei dan selimut.

*****

Sesuai kata Rhys, Poeny muncul pagi-pagi sekali dengan ketukan berulang kali di pintu.

“Selamat pagi, Nona ZeeZee,” sapa Poeny. Dia manis, itu hanya berlaku jika dia bukan seorang pelayan. Poeny Anak satu-satunya dari Orie, pengasuhku yang sudah meninggal tujuh tahun lalu.

Poeny melanjutkan pengabdiannya pada keluarga gilaku ini. Miris, dia seharusnya tidak perlu mendengar permintaan terakhir Ibunya untuk terus menjadi budak di sini. Poeny semanis madu—menurutku—dia pantas masuk ke agensi besar untuk menjadi Aktris.

Ah, mungkin agensi Model. Karena tubuh Poeny sangat tinggi menurut standarku. Mungkin sekitar seratus tujuh puluh sentimeter atau lebih, tidak kurang.

“Pagi, Py.” Aku tidak membalas senyumnya. Dia tahu aku sangat menyebalkan dan sedikit membencinya karena dia cerewet padaku seperti mendiang Ibunya.

“Paket dari Tuan Rhys. Kau akan suka, ambillah,” katanya.

“Ini bukan paket. Jelas yang kau bawa itu hanya pakaian.” Aku sengaja memacu emosinya.

Senyum penuh kepahitan muncul di wajahnya, dia sedang menahan untuk tidak menampar wajah atau menjambak rambutku, pasti begitu.

Aku mengambil dengan kasar, pakaian yang terlipat rapi dari persembahan kedua tangannya.

Setelah tersenyum sinis, aku membanting pintu. Membiarkan dia mengatakan sesuatu dari luar sana.

“Nona ZeeZee ... jangan sampai terlambat, Tuan Rhys hanya mau menunggu tidak lebih dari sepuluh menit. Dia ada di perpustakaan kedua,” kata Poeny, sedikit keras.

Perpustakaan kedua yang hanya boleh dimasuki oleh Rhys dan siapapun yang dipanggil ke sana untuk memenuhi undangannya.

Aku hanya menendang pintu sebagai jawaban ‘ya’ dan berjalan cepat, lalu membentang pakaian berwarna hitam polos itu di atas ranjang.

A line dress yang kurasa cukup pendek untukku. Hanya itu yang dia berikan agar aku mematuhinya dengan cara memakai simple dress ini di hadapannya.

Dia bertujuan menghinaku lagi!

Sekarang aku menjadi ragu akan penyangkalanku mengenai suara berbisik lewat tengah malam di telingaku.

Kurasa dia memang benar-benar masuk dan mengancamku.

“Kau tidak suka ada aromaku di kamarmu? Mulai sekarang, akan kubuat kau menyukainya.”

Kini aku merinding jijik, karena sempat merasa yakin pada awal terbangun, bahwa itu hanya mimpi. Tapi sekarang, ketika aku mencium aroma dari dress hitam ini, aku yakin Rhys memang masuk ke kamarku dan berbisik untuk mengatakan itu.

Perpaduan grapefruit dan pepper, sangat menenangkan perasaanku. Tapi ketika Rhys menguarkan aroma ini di sekitarku, aku membencinya. Aku benci dia mulai menandai diriku dengan segala yang biasa dia gunakan, mulai hari ini.

*****

Rhys sedang menulis sesuatu di atas meja tanpa duduk, dia membungkuk dan itu terlihat bagus. Tapi bukan untuk dipandang oleh kedua mataku.

“Kemari!” Dia memanggilku untuk mendekat, lalu mundur beberapa langkah.

Dress ini sedikit longgar di tubuhku, dan aku merasa beruntung untuk itu. Tapi sialnya, panjangnya tidak lebih di atas lututku. Benar-benar pendek.

Aku memilih menggunakan sneakers putih, karena Rhys tidak mendikteku soal alas kaki yang harus kugunakan seperti sebelumnya.

Dia menilai penampilanku sedetik, ya hanya sedetik. Lalu tersenyum sinis. “Kemarilah ... lepas sepatumu.”

Lagi-lagi menurut, aku mulai merasa lelah dengan hukumannya yang sangat lamban dan menguras emosiku.

Apa dia punya banyak waktu untuk dibuang bersamaku?

Melepas sepatu dengan mudah, aku berjalan mendekati Rhys. Tapi berhenti di samping meja. Aku enggan berada tepat di depan wajahnya.

“Sudah keramas pagi ini?”

“Setiap sore,” ralatku cepat. Aku tahu dia memberi pertanyaan yang menjebakku, “itu yang kau mau.”

“Bagus.” Dia mengangguk, mendekatiku. “Biar kubuat rambutmu lebih indah pagi ini.”

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status