Share

Lima

Kurasakan tarikan halus di sekitar kepalaku. Rhys melakukannya. Dia menyisiri rambut cokelat-ku yang melewati bahu.

“Berapa kali kau keramas dalam seminggu?”

Aku hampir tertawa. Dia yang jarang bicara jika tidak ada hal penting, kenapa bertanya mengenai hal sepele?

“Hampir tiap pagi aku keramas,” sahutku datar, sebisa mungkin begitu.

“Ganti waktunya.”

“Apa?”

“Setiap sore,” katanya tanpa mau mengulangi pertanyaan kebingunganku.

“Bisa beritahu aku alasannya?”

“Hanya ingin.”

Aku benar-benar memimpikan saat-saat di mana aku bisa memukul wajahnya, meski itu tidak akan pernah terwujud dalam kehidupan nyataku.

“Hanya ingin?”

“Jangan biasakan mengulangi perkataanku.”

“Baik.” Aku cukup cepat menjawabnya karena tidak ingin nada mengintimidasi yang lebih dari ini.

“Mulai hari ini, setiap pulang dari Oxley Family Wood aku akan singgah. Jangan biarkan siapapun masuk dan berada di kamarmu. Keramaslah satu jam sebelum aku tiba, dan jangan keringkan menggunakan hairdryer. Tetap biarkan setengah kering.”

Mendadak, aku merasa mual dengan sikap aneh dan menjijikkan yang direncanakan olehnya, meski aku sudah terbiasa dengan kengerian lain yang dilakukan keluargaku, di rumah ini.

“Kau ingin membantah?”

“Apa ini sebagai bentuk hukuman yang harus kuterima?”

“Bisa ya, bisa juga tidak.”

Aku menghela napas diam-diam, tidak ingin dia mendengar, apalagi merasakannya.

“Ada bantahan?”

Aku segera menggeleng. Membantah lebih sulit daripada mati. Tidak ada negosiasi dengan Rhys.

“Selesai,” katanya setelah lima menit berlalu dalam sunyi.

Dan tidak sadar bahwa ternyata dia pintar mengepang rambut dan sudah menyelesaikannya dengan cepat.

“Bacakan buku ini dengan baik untukku.” Rhys menyodorkan sebuah buku dari balik punggungku, buku tebal dengan sampul cokelat tua dan tulisan judul serta nama pengarang berhuruf timbul.

Ini seperti novel tebal fantasy atau petualangan untuk remaja. Apa dia tidak sadar umur?

Aku menerima buku itu dengan pelan dan berbalik menghadapnya. Melihat pada kedua bola mata Rhys yang memancarkan sorot mata tajam.

Perintah Rhys bukan memperlihatkan dia tidak mampu membaca, apalagi buta huruf.

Dia Putra sulung terpintar dan terlicik yang dimiliki keluarga ini. Rhys hanya sedang menghukumku secara perlahan-lahan dengan tujuan berbeda. Bukan berencana untuk melukai fisikku, tapi mentalku.

Lama kelamaan, apa dia menginginkan aku menjadi gila dari waktu ke waktu?

“Apa yang kau tunggu?” Ucapan Rhys menyusup ke gendang telingaku. Perlu kuulangi, kami tidak pernah memiliki hubungan sedekat ini sebelumnya.

Dan sekarang, ini sangat meresahkanku. Membuat dentuman besar di dalam dadaku setiap kali melihat Rhys memperhatikan setiap gerak tubuhku. Bahkan untuk menyapukan bibirku saja, aku tak lagi bisa bebas sejak dia masuk ke kamarku.

“Akan kubacakan sekarang,” kataku memberitahu. Kebingungan sebentar, karena di kamarku tidak ada loveseat, aku jelas tidak menyukai sofa dengan jenis itu di kamarku.

Lagipula, aku tidak perlu loveseat karena aku jarang bersantai di kamarku. Untuk membaca buku? Oh, tidak! Aku benci membaca buku.

Rhys yang bukan pemilik kamar, justru santai naik ke ranjangku, duduk bersila, melipat kedua tangan di depan dada, dan bersandar pada kepala ranjang. Pemandangan yang luar biasa.

Hanya lewat tatapannya saja, aku paham dan bergerak mendekat, duduk di tepi ranjang, berjarak cukup jauh darinya. Sejengkal lagi, aku tiba di kaki ranjang.

“Aku tidak akan menggigitmu. Jadi kemari.” Nadanya terdengar kasar, tapi tidak membentak. 

Aku bergeser sedikit. Hanya sedikit.

“Jangan membuatku mengatakannya dua kali. Lebih dekat atau aku tidak akan selesai denganmu di sini.”

Aku bergidik mendengar ucapannya. Sebagai wanita muda dan normal, aku berpikir bahwa ucapan pada kalimat terakhirnya itu, tidak cocok dia lontarkan padaku, tapi lebih tepat pada semua wanita yang biasa melayaninya di atas ranjang.

Lagipula, dia terlalu tua untuk bermain-main dengan tubuh wanita. Seharusnya di usianya ini, dia sudah mengantar bocah lima tahun untuk jalan-jalan sore di taman, bukan mendengarkan Adik perempuannya membacakan buku kategori fantasy untuknya.

Tepat ketika aku mulai membuka sampul depan, Rhys menarik pelan lenganku, agar aku benar-benar duduk tepat di hadapannya.

“Samakan posisimu denganku.” Dia berkata menggunakan petunjuk dagu.

Menelan kebodohanku sendiri, aku menurut. Benar-benar menurut dengan posisi duduk bersila, berhadapan, melawan tatapan Rhys yang belum berani kutantang balik, selama diriku masih bernyali pecundang seperti ini.

“Aku akan mulai membacakannya,” kataku, memberitahu Rhys lagi karena kulihat keningnya mulai berkerut dan itu bisa jadi berbagai pertanda.

Mungkin bosan, marah, tidak sabar, atau ingin mengeluarkan sumpah serapah tepat di depan wajahku.

“Bacakan yang benar, jika aku tidak puas mendengar bacaanmu, kau akan mendapat hukuman yang setimpal dariku.”

“Baiklah.” Dalam posisi ini, aku tanpa sadar berani menjawabnya.

“Bagus. Mulailah.”

Mengatur napas dengan tepat, aku berdeham setelahnya. Menunduk menatap buku tebal yang terbuka lebar di atas pangkuanku, jauh lebih baik daripada menatap wajahnya.

Mulutku sudah terbuka dan siap bersuara, tapi Rhys kembali mengacaukanku.

“Bacakan dari sampulnya.”

Aku ingin berkata ‘apa’ tapi enggan, jika kuingat dia sudah memperingatiku untuk tidak membuatnya mengulang.

“Sorcerer's Memory, karya Megan Laura.” Aku berhenti di bagian ini, melirik sekilas pada wajah Rhys yang terlihat tak merasa marah dengan caraku membacakannya.

Suara pelan, namun tidak lirih, berintonasi, dan sedikit berjeda. Aku hanya mampu membaca dengan cara ini. Karena seumur hidup, aku tidak pernah mendengar Ibu atau Ayah dan bahkan pengasuhku—Orie—membacakan cerita sebelum tidur untukku.

Kubuka halaman pertama buku itu, sebuah halaman bersih dengan sebaris kalimat di bagian atas.

“Terima kasih untuk Rhys, cinta pertamaku dalam tetes air mata pada yang bertepuk sebelah tangan ...” Penuh kehati-hatian aku membaca pada bagian itu, meski tidak sepenuhnya yakin bahwa yang di maksud si penulis dengan ‘Rhys’ di sini adalah Kakak sulungku yang super gila, karena kesamaan nama terkadang hanya fiktif belaka. Kulanjutkan lembaran halaman selanjutnya, “bab satu ....”

Saat Rhys mengangkat tangannya ke udara, di depan wajahnya, aku kembali berhenti. Sekarang aku harus mulai terbiasa untuk tidak selalu fokus menatap buku di pangkuanku, tapi sesekali melirik ke arahnya yang senang membuat gerakan isyarat tiba-tiba ditengah pekerjaanku.

“Saat membaca dialog tiap tokohnya, usahakan untuk benar-benar menjadi mereka.”

Aku sungguh-sungguh memiliki keinginan yang besar untuk memukul wajah tampannya yang sama sekali tidak terlihat tua, di usianya yang terpaut tiga belas tahun dariku itu.

“Baik,” sahutku cepat, menekan ujung buku dengan beberapa jariku, “bisa aku mulai bab satu-nya?”

“Ya, silahkan.”

Aku kembali berdeham, berharap bisa menuntaskan buku ini dalam beberapa hari, tapi aku yakin tidak akan bisa karena halamannya yang mencapai ribuan.

“Rumput hijau semata kaki yang kini tidak lagi sama, menguning dalam kurun waktu seminggu sejak para penyihir utara mendatangi tempat—”

“Berhenti sebentar,” sela Rhys, tidak lagi mengejutkanku.

Aku meliriknya sekilas yang terburu-buru turun dari ranjang seraya memegang ponselnya. Panggilan seperti itu terkadang menyelamatkanku, meski sekarang, yang kubutuhkan bukan itu.

Aku menutup bukunya, dan Rhys sedang menahan tanganku yang melakukan itu, membuatku terkejut dan hampir tidak dapat bernapas karena cengkeraman tangannya yang kuat dan tiba-tiba, di pergelangan tanganku.

“Aku belum memintamu untuk menutup bukunya, ZeeZee.”

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status