Share

CHAPTER 2: AKU TIDAK PEDULI PADA APA YANG DUNIA LAKUKAN

“Cass, are you alright?”

Cassie tidak merespon. Pandangannya lurus dan fokus pada jalanan yang sepi. Di sebelahnya, Dhika duduk dengan gelisah karena tidak ada satu pun perkataannya yang direspon oleh Cassie sejak keluar dari kantor polisi. Sebut Dhika penakut, namun Cassie –cewel yang tingginya hanya setelinganya itu—paling terlihat menakutkan saat diam dan fokus.

Aunt Cassie marah sama Dhika?”

Harapan terakhir Dhika untuk mendapat perhatian Cassie adalah panggilan itu. Aunt. Dhika sudah berlatih selama bertahun-tahun agar bisa memanggil sahabatnya sejak kecil dengan panggilan aunt agar nanti, saat ayahnya dan kakak Cassie menikah, tidak ada kecanggungan panggilan lagi.

Namun tidak ada pernikahan yang terjadi dan dua kematian mendatangi keluarga mereka.

Benar saja. Mendengar panggilan tersebut keluar dari mulut Dhika, Cassie menghentikan mobilnya tiba-tiba. Jika ini siang hari, dapat dipastikan mobil-mobil di belakang akan mengklakson kesal atau skenario terparahnya, Cassie akan berakhir di kantor polisi lagi karena menyebabkan kecelakaan beruntun. Namun pada tengah malam seperti saat ini, hanya ada satu-dua mobil yang lewat.

Sorry, Cass. Aku nggak berniat menyebabkan masalah,” ucap Dhika menyesal. Cowok itu merapikan jepitan rambut Cassie, berusaha menebak apa yang dipikirkan cewek yang duduk di sebelahnya dibalik ekspresi dingin yang bagai batu. Paling tidak Cassie memberi respon atas ucapannya. Cewek itu tidak mengabaikan ucapannya lagi bagai angin lalu.

Bagi dunia luar, mungkin Dhika adalah sosok easy going yang agak arogan. Bagi orang-orang yang tahu sejarah kehidupannya, Dhika hanyalah seorang bocah tidak bertanggung jawab yang hanya mengandalkan kisah hidupnya yang menyedihkan untuk bertahan hidup. Namun bagi Cassie, di depan Cassie, Dhika adalah seseorang yang begitu hebat dan patut mendapatkan segalanya. Dan kini Cassie hidup agar bisa mendapatkan segalanya untuk Dhika.

“Katanya mereka preman jalanan yang sering ngumpul di area sana. Kamu diapain sama mereka? Ada yang luka?” tanya Cassie dengan nada dingin. Dipandangnya Dhika dengan pandangan menusuk, membuat mata pria itu sedikit perih.

I’m sorry. I’m really sorry, Cass.” Tangan Dhika turun dari rambut Cassie dan menggenggam tangan kirinya yang menggenggam persneling. Cassie mengkhawatirkannya dan peduli padanya adalah kebahagiaan terbesar Dhika saat ini. Tapi cowok itu tidak bisa terus memberatkan Cassie.“I promise you I’ll be good from now on, ok? I‘m your good boy. I’ll always be your good boy.

Tangan Cassie yang dingin tidak bergerak di bawah tangan hangat Dhika. Pandangan cewek itu masih tajam dan menusuk saat ia membuka suara lagi,”Luka, Dhika. Aku tanya tentang luka.”

“Nggak ada, Cass,” aku Dhika. Namun saat Cassie menelengkan kepalanya sedikit, Dhika cepat-cepat mengaku. “Cuma sedikit memar.”Dhika menggulung lengan kanan kemejanya. Di dekat pergelangan tangan, tampak memar kecil kebiruan yang terbentuk. “Beneran nggak apa-apa. Nggak sakit.”

Cassie menatap memar itu bagai melihat hantu. Wajahnya pucat seketika. Perlahan, tangannya yang ada di bawah tangan Dhika menyambut genggaman pria itu. Tangan satunya menyentuh memar Dhika dengan hati-hati, seolah sedikit saja ia menyentuhnya, Dhika bisa hancur seperti kaca yang rapuh. “Jangan masuk ke sana lagi, Dhik. Kamu mau aku mati muda?” ucap Cassie pada akhirnya. Bagi cewek ini, mungkin saja Dhika adalah kelemahan terbesarnya.

Dhika kini tersenyum. Cassie mau bicara padanya, berarti cewek itu sudah tidak marah lagi. Tangannya mengeratkan genggaman pada Cassie. “Nggak dong. Aku bisa mati duluan sebelum ngurus perusahaan yang kamu tinggalin.” Cassie melotot. “Apa? Nggak semua orang bisa jadi CEO di umur dua puluh satu. You’re a prodigy, Aunt Cassie.”Dhika menyeringai.

Melihat senyum miring yang sangat disukainya itu, Cassie tidak tahan untuk tidak mengelus rambut Dhika dengan tangannya yang lain. Keponakannya ini terkadang lebih menggemaskan dibanding para balita. Tebak berapa umurnya. Yeah, seumuran dengan Cassie. “Akan ada waktunya kamu duduk di sana dan memimpin perusahaan, Dhik. Aku nggak bisa jadi CEO selamanya.”

“Kenapa?” tanya Dhika main-main. Tentu saja ia tahu jawabannya.

“Karena aku ingin jalan-jalan keliling dunia lamaaa sekali.” Cassie membalas dengan main-main juga. “Ini saatmu bebas jalan-jalan. Nanti kita harus gantian.”

Dhika melepas tangan Cassie di genggaman dan rambutnya. “Cassie jahat. Kalau kamu nyerahin perusahaan padaku sebelum aku siap, nggak peduli apa kata semua orang, aku akan menjualnya.”

“Uangnya untuk apa?” tantang cewek di sampingnya. Cassie kembali mengelus rambut Dhika dengan keras kepala. Cowok itu terus menghindar hingga akhirnya Cassie malah menjambak rambutnya yang mulai panjang. Dhika harus potong rambut segera, pikir Cassie.

Cowok itu menghempaskan tangan cewek di sampingnya dengan kesal. “Untuk beli yacht.”

Cassie mendengus. “Kamu tau harga yacht?”

Dhika menggeleng. “Belum googling.”

Mau tidak mau, Cassie memberinya senyum mengejek. Dipegangnya dagu Dhika dengan ujung ibu jari dan jari telunjuknya. “Tau nggak? Kalau kamu jual perusahaan, mending uangnya kupakai untuk nyewa bodyguard 24/7 yang punya tugas untuk ngikutin kamu kemana-mana. Heran ya, padahal lokasi kafe tempatmu bekerja part-time itu lumayan ramai, sebelah kampus pula. Karena itu aku mengizinkanmu kerja di sana. Bisa-bisanya ada preman mabuk yang punya hobi memukuli orang tidak bersalah.”

“Cass!” Dhika tampak tersinggung. “Jangan hina-hina tempat kerjaku, dong.”

“Kamu hina-hina tempat kerjaku lebih dulu. Barusan bilang mau dijual, kan?” Cassie menghidupkan mobilnya lagi. Tak ada gunanya mereka berhenti di jalan tengah malam begini. Lebih baik cepat-cepat sampai di rumah lalu mengobrol dengan nyaman.

Back to the topic. Aku nggak mau bodyguard. End of discussion. Kamu pikir kita siapa? Crazy rich Jakarta? Kelompok mafia legendaris? Yang ada malah aku diketawain seluruh dunia.”

“Dasar keras kepala. Memangnya aku keliatan peduli sama apa yang dunia lakukan?” Dhika mengerang kesal. “Tapi okelah, kuanggap bodyguard terlalu berlebihan.”

Di luar dugaan, Dhika tidak membalas ucapan Cassie lagi. Sisa perjalanan menuju rumah begitu tenang sampai-sampai Cassie hampir mengantuk. Dhika mulai membuka suara lagi ketika mereka sampai di depan rumah.

“Aku naik taksi online ke apartemen, ya?”

“Kamu mau aku mati muda?!” bentak Cassie.

“Cass, kok kamu bahas mati-mati terus dari tadi? Kepingin mati beneran, ya? Duh, gawat!”

Cassie menghentakkan kakinya. Saat Dhika bersiap untuk dicubit –Cassie tiba-tiba setengah lari ke arahnya! –cowok itu merasakan tangan dingin di dahinya yang hangat. “See? Badanmu panas. Masih mau pulang sendiri ke apartemen?”

Dhika meringis. Badannya memang terasa sedikit hangat, tapi ia tidak tahu kalau Cassie bakal sadar. “Kok tau?”

“Siapa tadi yang pegang-pegang tanganku pakai tangan yang panas banget?” Dhika hanya nyengir tanpa rasa bersalah. “Malam ini kamu nginep di rumah. Ini rumahmu, tau? Sering-seringlah main ke sini.”

“Ini rumahmu juga, Cass,” sanggah Dhika. Setelah sekian tahun, Cassie masih belum bisa menganggap rumah ini sebagai rumahnya sendiri. Misi Dhika untuk merubah hal tersebut.

“Sering-seringlah ke sini. Jangan hanya nginep semalam aja di akhir pekan,” ucap Cassie sembari berbalik.

Cewek itu masuk duluan ke dalam rumah, meninggalkan Dhika yang kini mengelap darah di lengan kirinya. Untung saja Cassie tidak menyadari luka yang ada di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status