Share

CHAPTER 6: JADWAL MAKAN MALAM

Cassie yang sedang tidur tampak seperti malaikat.

Nafasnya halus dan berirama. Dadanya naik turun dengan lembut, menandakan tidurnya damai tanpa terusik mimpi buruk apa pun, membuat Dhika bersyukur.

Berbeda dengan Cassie, Dhika dihantui mimpi buruk setiap malam. Keringat dinginnya selalu keluar, membasahi seprai lembut yang dibelikan Cassie khusus untuk apartemennya. Kadang-kadang, cowok itu bahkan menemukan bantalnya basah karena air mata. Sayang sekali Dhika tak pernah ingat apa mimpinya, namun yang ia tahu, setiap mimpi itu selalu mendekatkannya ada Cassie. Bila boleh menebak, mimpi-mimpi itu pastilah kilas balik masa lalu yang ia lupakan.

Cowok itu tidak pernah bisa memutuskan apakah ia harus bersyukur atau merutuk pada Tuhan atas mimpi-mimpinya. Di satu sisi, ia selalu terbangun dalam keadaan lelah dan hati tidak tenang. Namun di sisi lain, Dhika juga merasakan hubungan yang makin erat dengan orang-orang yang dikenalnya sebelum kehilangan ingatan setelah mimpi-mimpi itu berakhir. Hal itu pula yang membuat Dhika bersikeras pindah ke apartemen ketimbang tinggal berdua dengan Cassie di rumahnya. Cewek itu pasti menyadari mimpi-mimpi buruknya setelah beberapa waktu, tak peduli seberapa baik Dhika menyembunyikan hal menyedihkan tersebut. Ia lebih memilih datang menginap di akhir pekan karena tahu Cassie selalu bangun agak siang di sabtu-minggu. Kuliahnya mulai pukul sepuluh pagi sehingga tantenya itu selalu begadang dengan segelas mojito pada malam sebelumnya dan baru tidur pada dini hari.

Dhika menyayangi Cassie sebesar cewek itu menyayanginya, mungkin lebih dari itu. Dan inilah hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk keluarga kecil mereka.

Hal yang tidak diduga Dhika sebelumnya adalah, ia melupakan fakta bahwa setelah kartu keluarga mereka hanya berisikan dua nama, nyaris seluruh keputusan hidupnya dipegang oleh Cassie. Fakta bahwa ia kehilangan ingatan dan belum cukup sadar untuk menghandle perusahaan yang ditinggalkan ayahnya membuat cowok itu ada di posisi yang lebih mengenaskan. Bukannya Dhika serta-merta menyalahkan Cassie atas hal tersebut. Namun bila dikuantifikasi, keputusan hidupnya dipegang Cassie sekitar tujuh puluh persen. Tiga puluh persen yang dia punya sudah nyaris habis akibat apartemen dan motor gede yang ia beli demi mengikuti trend di kampus.

Back to Cassie, Dhika yakin benar kalau cewek ini belum makan malam. Kalender Cassie yang diceknya pagi ini bilang bahwa Cassie ada meeting dengan para BOD pukul empat sore. Pastilah ada perdebatan panjang yang tidak mungkin diselang makan malam.

Sambil berpikir, Dhika menggaruk kepalanya. Helaian rambutnya yang agak ikal tersangkut di antara jari tengah dan manis cowok itu. Aku butuh potong rambut, batin Dhika, sembari membatin lebih lanjut tentang kenapa Cassie belum mengantarkannya ke salon sampai saat ini. Biasanya cewek itu selalu cerewet tentang rambut Dhika.

Dhika menghabiskan waktu setengah jam setelah itu dengan aplikasi ponselnya. Masalahnya, sebagai anak kos (well, kehidupan anak kos yang tinggal di kos-kosan dan anak kos yang tinggal di apartemen tidak akan terlalu berbeda, kan?), cowok itu terbiasa memilih makanan dengan harga termurah, diskon terbesar, dan jarak terdekat. Kali ini ia menambahkan filter secara manual di otaknya, yaitu makanan yang disukai Cassie. Pilihannya jatuh pada mentai rice di salah satu kafe favorit cewek itu. Kata Cassie, mereka berdua pernah beberapa kali makan di sana sepulang sekolah ketika Tante Lila sedang tidak memasak atau ayahnya sedang tidak ada di rumah untuk makan malam bersama. Lokasinya di dekat sekolah, harganya pun cukup terjangkau dengan tabungan hasil online shop Cassie ataupun uang jajan bulanan Dhika.

Setelah memesan, Dhika mendatangi tantenya yang tertidur dalam posisi duduk di sofa. Cewek itu langsung menghampiri Dhika setelah pulang dari kantor, yang berarti ia belum mengganti pakaian apalagi menghapus makeup. Tidur dalam keadaan seperti itu pasti tidak nyaman. Cowok itu bisa saja menyelimuti Cassie seperti adegan-adegan di film atau novel. Sayangnya cuaca Jakarta yang panas sangat tidak mendukung. Dhika justru ingin menyingkirkan blazer Cassie yang terlihat tebal dan gerah. Perdebatan batin itu berakhir dengan Dhika yang menyandarkan tubuhnya di sebelah Cassie. Tangannya tidak bisa diam melihat poni Cassie yang –lagi-lagi—terjuntai menutupi mata. Lain kali, saat Cassie mengantarnya potong rambut, Dhika juga akan menyeretnya ke salon terdekat untuk mengubah gaya rambut cewek itu. Ada sejuta gaya rambut wanita di dunia ini. Cassie bisa memilih satu yang tidak melibatkan poni menyebalkan yang selalu jatuh menutupi mata (dan kemungkinan besar bisa mencolok mata cewek itu juga).

Kemudian, ponsel Cassie di dalam tas tangannya berbunyi.

Sialan. Mata Cassie terbuka mendadak, tepat saat jari-jari Dhika masih belum beranjak dari dahi cewek itu. Dhika tahu ia seharusnya tidak malu, namun tak ayal pipinya memerah dan tangannya yang seketika dingin cepat-cepat ia tarik. Saat melirik Cassie lagi, cewek itu memandangnya dengan tatapan aneh.

“Nggak usah sampe bengong begitu kali,” ucap Cassie geli sambil menari-cari ponsel yang ada di dalam tasnya. Sontak Dhika langsung berkedip. Selagi cewek itu mengecek ponselnya (panggilan tak terjawab barusan dibarengi dengan pesan masuk rupanya), Dhika menjauh sedikit, meskipun masih duduk di sofa yang sama. “Aku makan malam di luar, ya?”

Seharusnya Dhika tidak mengizinkan tantenya pergi dengan nada super tegas khas keponakan yang perhatian. Siapa yang bakal menghabiskan dua bungkus mentai rice yang sudah dipesan itu? Perut Dhika tidak sebesar kuli! Namun dengan bodohnya cowok itu mengangguk. “Oke. Sama Beni?”

Beni adalah pacar Cassie. Yep, Cassie yang sibuk setengah mati dan hampir tidak pernah bersosialisasi saja sudah punya pacar, sementara Dhika yang masuk ke dalam jajaran cowok terpopuler versi majalah kampus tahun lalu masih menjomblo dengan setia. Dunia kadang-kadang memang tidak masuk akal.

“Iya. Mau nitip sesuatu?”

Cassie bahkan belum memperkenalkan Beni padanya, jadi cewek itu pasti tidak serius dengan Beni. Menjawab pertanyaan Cassie, Dhika bersedekap dengan seringaian yang terpatri di wajahnya, “Yacht.”

Oke, wajah Cassie tampak jengkel luar biasa saat ini. Demi menghindari perang dunia ketiga yang sebaiknya tidak terjadi, Dhika tertawa sepolos mungkin sembari beranjak dari sofa empuk favoritnya itu. Saat berjalan ke arah dapur, ponsel yang ia pegang menunjukkan panggilan dari driver yang mengantar makanan, namun cowok itu tetap melambai dan berseru pelan, “Jangan pulang malem-malem atau aku kunciin di luar.”

Sayup-sayup Dhika mendengar jawaban Cassie. “Aku bawa kunci sendiri!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status