Share

CHAPTER 1: ORANG-ORANG TIDAK PERNAH PEDULI, MEREKA HANYA PENASARAN

Cassie memacu mobil secepat mungkin. Pikirannya kalut. Ia tidak bisa berpikir jernih. Yang diinginkannya saat ini hanyalah sampai ke kantor polisi secepat mungkin dan mengeluarkan seseorang dari sana. Beraninya polisi-polisi brengsek itu melakukan ini padanya. Apa mereka tidak tahu siapa Cassie? Well, mungkin tidak. Namun jika tahu, mungkin mereka akan berpikir dua kali sebelum mencari masalah dengan cewek itu.

Di negara ini, paling tidak di kota ini, siapa yang tidak mengenal PT Bellezza? Perusahaan raksasa yang menguasai industri kosmetik dan vitamin meskipun baru berdiri belum genap dua puluh tahun. Dan Cassie adalah CEO paling terkenal sepanjang sejarah nyaris dua puluh tahun tersebut. Karena ia begitu hebatnya? Mungkin saja, batin Cassie. Sayangnya ia tidak bisa menyombong seperti itu, terlebih karena posisi CEO didapatkannya dari nepotisme.

Sekitar empat tahun lalu, hidup Cassie berubah. Orang-orang terdekatnya pergi dengan satu cara atau lainnya, meninggalkan cewek itu sendirian di dunia kejam yang hanya berani mengolok-oloknya atau memandangnya dengan tatapan kasihan. Cassie ada di titik terbawah hidupnya saat air matanya kering. Namun Dhika menyelamatkannya—seperti yang selalu dilakukan cowok itu sejak mereka masih TK. Kemudian wajah Cassie muncul di televisi nasional akibat menjadi CEO perusahaan sebesar PT Belezza saat berusia delapan belas tahun. Dan hujatan karyawan perusahaan yang akan dipimpinnya tersebut mulai terdengar dari balik punggung Cassie karena, well, siapa yang percaya pada CEO muda yang bahkan belum tamat sekolah menengah?

Namun Cassie punya Dhika untuk bertahan. Maka ia melanjutkan hidupnya dengan dagu terangkat tinggi dan telinga yang ditulikan. It’s gonna be Dhika and Cassie against the world from now on. Oleh karena itulah, saat seorang polisi menghubungi ponsel Cassie hampir tengah malam (saat Cassie telah menyelesaikan semua ritual sebelum tidurnya: cuci tangan - cuci kaki - sikat gigi - pakai skincare) dan mengatakan Apakah Ibu wali dari Andhika Pratama? gigi Cassie bergemeretak menahan tangis dan amarah. Pikiran-pikiran buruk menyerangnya. Dhika bisa saja terlibat dalam kecelakaan beruntun. Dhika dirampok dalam perjalanan pulang ke apartemennya. Dhika ditemukan dengan luka menganga di suatu tempat dan kini seorang dokter kardiotoraks sedang membedah dadanya di ruang operasi. Namun kata-kata yang keluar dari mulut polisi tersebut berikutnya membuat kemarahan Cassie meluap. Saudara Andhika Pratama kini ada di kantor polisi karena terlibat dalam perkelahian jalanan katanya? Dhika bukan anggota geng manapun. Ia tidak pernah, dan tidak akan pernah merendahkan dirinya sampai ke level tersebut.

Cassie yang panik tak sempat memikirkan apa-apa lagi selain, apakah Dhika dikeroyok orang-orang tak dikenal di tengah jalan? Atau apakah dia terluka saat ini dan para polisi memperlakukannya dengan baik? Pikiran Cassie kalut. Tahu-tahu saja, dia sudah memarkirkan mobilnya dengan sembarangan di halaman kantor polisi yang dimaksud.

Cewek itu tak sempat ganti pakaian. Pakaian tidur satin warna pink muda yang dikenakannya hanya berlapis cardigan tipis berwarna dusty. Saat mendorong pintu masuk dengan tangan kanan, tangan kirinya terasa berat meskipun hanya menenteng kunci mobil dan dompet kecil. Polisi-polisi menatapnya aneh. Cassie bisa membaca pikiran mereka: Apa yang dilakukan seorang anak kecil di tempat seperti ini malam-malam? Seketika, Cassie merasa ciut tanpa perlindungan dari pakaian kerja formal, stiletto, dan makeup tebal yang biasa menjadi tameng cewek itu. Seluruh dirinya kini meneriakan kata anak-anak yang belum dewasa.

“Saya Cassie, wali Andhika Pratama,” ucap Cassie setenang dan sedewasa mungkin meskipun jantungnya kini berdegup kencang akibat baru saja lari dari mobilnya yang terparkir sembarangan di halaman kantor polisi kemudian mendorong pintu masuk dengan sekuat tenaga. Napasnya terengah-engah dan ia yakin rambutnya berantakan. Diam-diam, Cassie merutuk dirinya sekali lagi. Di depannya, seorang polisi tampak mengerutkan alis. Polisi ini pasti menganggapnya bocah.

Benar saja. Polisi bertubuh tambun itu menatapnya dengan tatapan heran. “Ibu Cassiopeia Anderson?” tanyanya pelan dengan tidak yakin, membuat Cassie meringis dalam hati. Meskipun begitu, sedikit rasa syukur menghinggapi Cassie. Untung saja ia langsung menemukan polisi yang tepat. Keadaan bisa jadi makin canggung jika ia harus mendatangi meja para polisi di kantor ini satu persatu untuk mencari tahu siapa polisi yang meneleponnya lima belas menit lalu.

“Benar. Bapak yang tadi menghubungi saya?” Laki-laki itu mengangguk. Ia tampak memeriksa sesuatu di komputernya saat Casie bilang, “Bapak pasti membuat kesalahan. Dhika bukan tipe orang yang akan bergabung dengan preman jalanan dan memulai perkelahian di tengah malam.”

“Sebaiknya adik duduk dulu. Boleh saya lihat KTP-nya?” Sialan. Apa-apan panggilan adik itu? Orang ini tidak memercayai Cassie rupanya.

Dengan kesabaran dan ketenangan yang sudah dilatih bertahun-tahun, Cassie mencoba duduk seanggun mungkin. Dikeluarkannya KTP dari dompet untuk diperiksa oleh polisi tadi. Untung ia ingat membawa dompet. “Silakan. Cek juga kartu keluarga kami kalau perlu,” tantang Cassie. Cewek itu belum melihat Dhika di sekitar sini, jadi Dhika pasti ada di ruangan lain. Memikirkan hal tersebut, Cassie menjadi was-was. Mereka tidak menempatkan Dhika di sel, kan? Para polisi ini tidak sekejam itu, kan? Apa Cassie bisa menuntut kantor polisi dengan alasan tersebut?

Polisi tadi kemudian mengecek dokumen-dokumen cewek itu. Sejujurnya Cassie menyadari bahwa bukan salah polisi tadi atau semua orang lain kalau mereka curiga. Cassie, seorang cewek 22 tahun yang bahkan belum lulus kuliah menjadi kepala keluarga dari Andhika Pratama,  cowok berumur sama yang tidak ada pertalian darah dengannya. Lebih-lebih, hanya mereka berdualah yang ada di daftar kartu keluarga.

Jika Dhika yang menjadi kepala keluarga, mungkin orang-orang akan beranggapan bahwa mereka berdua adalah pasangan muda yang baru menikah. Apabila tahun lahir Cassie jatuh lebih dulu sebelum Dhika, orang-orang ini akan berasumsi bahwa keduanya saudara kandung. Tetapi tak ada situasi yang cocok dengan rentetan skenario di kepala mereka dan Cassie sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia tahu akan muncul setelah ini.

Tangan cewek itu dingin dan gemetar, jadi diremasnya kedua tangan satu sama lain karena, well, tidak ada yang bisa melakukannya untuk Cassie selama empat tahunan ini. Almost at all times, cewek itu harus menenangkan dirinya sendiri kapan pun dia merasa kalut, which is often. Try her life.

“Rekan saya akan membawa saudara Andhika ke sini. Penyelidikan menunjukkan dia merupakan korban dari preman-preman mabuk dan apa yang dilakukannya adalah bentuk pertahanan diri.” Lihat? Dhika tidak salah. “Tapi, mohon maaf sebelumnya, boleh saya bertanya?”

Here comes the question. Cassie mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca dengan cepat. Akan memalukan dan menyedihkan sekali jika ia menangis karena pertanyaan yang sudah ditanyakan padanya berkali-kali. Senyum cewek itu tampak perih saat menjawab, “Silakan.” Bagaimanapun, orang akan selalu bertanya. Mereka akan selalu curiga dan menganggap kondisi Cassie dan Dhika tidak wajar. Mereka akan bergosip dan memberi tatapan mengasihani. Namun cewek itu juga sadar keadaan bisa jadi lebih buruk bila ia tidak menjawab.

“Apakah kalian saudara kandung?” Pertanyaan yang sama.

Cassie menggeleng. Dia punya manual book dalam kepalanya untuk pertanyaan ini. “Bukan.”

“Seperti yang saya duga.” Lalu kenapa masih ditanyakan, huh? Terkadang, orang-orang memang hanya ingin tahu dan bukannya benar-benar peduli. “Tapi masih ada pertalian darah?” Come another question.

“Tidak. Tapi kakak saya dan ayahnya hampir menikah.” Lihat wajahnya yang mulai bingung. Skenario baru pasti terbentuk di kepala polisi ini.

“Lalu kenapa hanya ada kalian berdua di kartu keluarga? Apa yang terjadi?” Benarkah ini pertanyaan untuk memastikan bahwa Cassie benar-benar wali Dhika atau polisi ini lagi-lagi hanya penasaran dengan kehidupan pribadinya?

Namun ia harus tetap menjawab, kan? Jadi dengan senyum yang menyakitkan, Cassie bergumam lirih, “Kakak saya dibunuh, Dhika diculik oleh pembunuhnya dan kehilangan ingatan, kemudian ayahnya koma dan meninggal.”

Cassie harap, penjelasannya sudah cukup baik karena ujung matanya menemukan Dhika, dan satu-satunya hal yang diinginkan cewek itu saat ini adalah membawa Dhika pulang.

Cassie memacu mobil secepat mungkin. Pikirannya kalut. Ia tidak bisa berpikir jernih. Yang diinginkannya saat ini hanyalah sampai ke kantor polisi secepat mungkin dan mengeluarkan seseorang dari sana. Beraninya polisi-polisi brengsek itu melakukan ini padanya. Apa mereka tidak tahu siapa Cassie? Well, mungkin tidak. Namun jika tahu, mungkin mereka akan berpikir dua kali sebelum mencari masalah dengan cewek itu.

Di negara ini, paling tidak di kota ini, siapa yang tidak mengenal PT Bellezza? Perusahaan raksasa yang menguasai industri kosmetik dan vitamin meskipun baru berdiri belum genap dua puluh tahun. Dan Cassie adalah CEO paling terkenal sepanjang sejarah nyaris dua puluh tahun tersebut. Karena ia begitu hebatnya? Mungkin saja, batin Cassie. Sayangnya ia tidak bisa menyombong seperti itu, terlebih karena posisi CEO didapatkannya dari nepotisme.

Sekitar empat tahun lalu, hidup Cassie berubah. Orang-orang terdekatnya pergi dengan satu cara atau lainnya, meninggalkan cewek itu sendirian di dunia kejam yang hanya berani mengolok-oloknya atau memandangnya dengan tatapan kasihan. Cassie ada di titik terbawah hidupnya saat air matanya kering. Namun Dhika menyelamatkannya—seperti yang selalu dilakukan cowok itu sejak mereka masih TK. Kemudian wajah Cassie muncul di televisi nasional akibat menjadi CEO perusahaan sebesar PT Belezza saat berusia delapan belas tahun. Dan hujatan karyawan perusahaan yang akan dipimpinnya tersebut mulai terdengar dari balik punggung Cassie karena, well, siapa yang percaya pada CEO muda yang bahkan belum tamat sekolah menengah?

Namun Cassie punya Dhika untuk bertahan. Maka ia melanjutkan hidupnya dengan dagu terangkat tinggi dan telinga yang ditulikan. It’s gonna be Dhika and Cassie against the world from now on. Oleh karena itulah, saat seorang polisi menghubungi ponsel Cassie hampir tengah malam (saat Cassie telah menyelesaikan semua ritual sebelum tidurnya: cuci tangan - cuci kaki - sikat gigi - pakai skincare) dan mengatakan Apakah Ibu wali dari Andhika Pratama? gigi Cassie bergemeretak menahan tangis dan amarah. Pikiran-pikiran buruk menyerangnya. Dhika bisa saja terlibat dalam kecelakaan beruntun. Dhika dirampok dalam perjalanan pulang ke apartemennya. Dhika ditemukan dengan luka menganga di suatu tempat dan kini seorang dokter kardiotoraks sedang membedah dadanya di ruang operasi. Namun kata-kata yang keluar dari mulut polisi tersebut berikutnya membuat kemarahan Cassie meluap. Saudara Andhika Pratama kini ada di kantor polisi karena terlibat dalam perkelahian jalanan katanya? Dhika bukan anggota geng manapun. Ia tidak pernah, dan tidak akan pernah merendahkan dirinya sampai ke level tersebut.

Cassie yang panik tak sempat memikirkan apa-apa lagi selain, apakah Dhika dikeroyok orang-orang tak dikenal di tengah jalan? Atau apakah dia terluka saat ini dan para polisi memperlakukannya dengan baik? Pikiran Cassie kalut. Tahu-tahu saja, dia sudah memarkirkan mobilnya dengan sembarangan di halaman kantor polisi yang dimaksud.

Cewek itu tak sempat ganti pakaian. Pakaian tidur satin warna pink muda yang dikenakannya hanya berlapis cardigan tipis berwarna dusty. Saat mendorong pintu masuk dengan tangan kanan, tangan kirinya terasa berat meskipun hanya menenteng kunci mobil dan dompet kecil. Polisi-polisi menatapnya aneh. Cassie bisa membaca pikiran mereka: Apa yang dilakukan seorang anak kecil di tempat seperti ini malam-malam? Seketika, Cassie merasa ciut tanpa perlindungan dari pakaian kerja formal, stiletto, dan makeup tebal yang biasa menjadi tameng cewek itu. Seluruh dirinya kini meneriakan kata anak-anak yang belum dewasa.

“Saya Cassie, wali Andhika Pratama,” ucap Cassie setenang dan sedewasa mungkin meskipun jantungnya kini berdegup kencang akibat baru saja lari dari mobilnya yang terparkir sembarangan di halaman kantor polisi kemudian mendorong pintu masuk dengan sekuat tenaga. Napasnya terengah-engah dan ia yakin rambutnya berantakan. Diam-diam, Cassie merutuk dirinya sekali lagi. Di depannya, seorang polisi tampak mengerutkan alis. Polisi ini pasti menganggapnya bocah.

Benar saja. Polisi bertubuh tambun itu menatapnya dengan tatapan heran. “Ibu Cassiopeia Anderson?” tanyanya pelan dengan tidak yakin, membuat Cassie meringis dalam hati. Meskipun begitu, sedikit rasa syukur menghinggapi Cassie. Untung saja ia langsung menemukan polisi yang tepat. Keadaan bisa jadi makin canggung jika ia harus mendatangi meja para polisi di kantor ini satu persatu untuk mencari tahu siapa polisi yang meneleponnya lima belas menit lalu.

“Benar. Bapak yang tadi menghubungi saya?” Laki-laki itu mengangguk. Ia tampak memeriksa sesuatu di komputernya saat Casie bilang, “Bapak pasti membuat kesalahan. Dhika bukan tipe orang yang akan bergabung dengan preman jalanan dan memulai perkelahian di tengah malam.”

“Sebaiknya adik duduk dulu. Boleh saya lihat KTP-nya?” Sialan. Apa-apan panggilan adik itu? Orang ini tidak memercayai Cassie rupanya.

Dengan kesabaran dan ketenangan yang sudah dilatih bertahun-tahun, Cassie mencoba duduk seanggun mungkin. Dikeluarkannya KTP dari dompet untuk diperiksa oleh polisi tadi. Untung ia ingat membawa dompet. “Silakan. Cek juga kartu keluarga kami kalau perlu,” tantang Cassie. Cewek itu belum melihat Dhika di sekitar sini, jadi Dhika pasti ada di ruangan lain. Memikirkan hal tersebut, Cassie menjadi was-was. Mereka tidak menempatkan Dhika di sel, kan? Para polisi ini tidak sekejam itu, kan? Apa Cassie bisa menuntut kantor polisi dengan alasan tersebut?

Polisi tadi kemudian mengecek dokumen-dokumen cewek itu. Sejujurnya Cassie menyadari bahwa bukan salah polisi tadi atau semua orang lain kalau mereka curiga. Cassie, seorang cewek 22 tahun yang bahkan belum lulus kuliah menjadi kepala keluarga dari Andhika Pratama,  cowok berumur sama yang tidak ada pertalian darah dengannya. Lebih-lebih, hanya mereka berdualah yang ada di daftar kartu keluarga.

Jika Dhika yang menjadi kepala keluarga, mungkin orang-orang akan beranggapan bahwa mereka berdua adalah pasangan muda yang baru menikah. Apabila tahun lahir Cassie jatuh lebih dulu sebelum Dhika, orang-orang ini akan berasumsi bahwa keduanya saudara kandung. Tetapi tak ada situasi yang cocok dengan rentetan skenario di kepala mereka dan Cassie sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia tahu akan muncul setelah ini.

Tangan cewek itu dingin dan gemetar, jadi diremasnya kedua tangan satu sama lain karena, well, tidak ada yang bisa melakukannya untuk Cassie selama empat tahunan ini. Almost at all times, cewek itu harus menenangkan dirinya sendiri kapan pun dia merasa kalut, which is often. Try her life.

“Rekan saya akan membawa saudara Andhika ke sini. Penyelidikan menunjukkan dia merupakan korban dari preman-preman mabuk dan apa yang dilakukannya adalah bentuk pertahanan diri.” Lihat? Dhika tidak salah. “Tapi, mohon maaf sebelumnya, boleh saya bertanya?”

Here comes the question. Cassie mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca dengan cepat. Akan memalukan dan menyedihkan sekali jika ia menangis karena pertanyaan yang sudah ditanyakan padanya berkali-kali. Senyum cewek itu tampak perih saat menjawab, “Silakan.” Bagaimanapun, orang akan selalu bertanya. Mereka akan selalu curiga dan menganggap kondisi Cassie dan Dhika tidak wajar. Mereka akan bergosip dan memberi tatapan mengasihani. Namun cewek itu juga sadar keadaan bisa jadi lebih buruk bila ia tidak menjawab.

“Apakah kalian saudara kandung?” Pertanyaan yang sama.

Cassie menggeleng. Dia punya manual book dalam kepalanya untuk pertanyaan ini. “Bukan.”

“Seperti yang saya duga.” Lalu kenapa masih ditanyakan, huh? Terkadang, orang-orang memang hanya ingin tahu dan bukannya benar-benar peduli. “Tapi masih ada pertalian darah?” Come another question.

“Tidak. Tapi kakak saya dan ayahnya hampir menikah.” Lihat wajahnya yang mulai bingung. Skenario baru pasti terbentuk di kepala polisi ini.

“Lalu kenapa hanya ada kalian berdua di kartu keluarga? Apa yang terjadi?” Benarkah ini pertanyaan untuk memastikan bahwa Cassie benar-benar wali Dhika atau polisi ini lagi-lagi hanya penasaran dengan kehidupan pribadinya?

Namun ia harus tetap menjawab, kan? Jadi dengan senyum yang menyakitkan, Cassie bergumam lirih, “Kakak saya dibunuh, Dhika diculik oleh pembunuhnya dan kehilangan ingatan, kemudian ayahnya koma dan meninggal.”

Cassie harap, penjelasannya sudah cukup baik karena ujung matanya menemukan Dhika, dan satu-satunya hal yang diinginkan cewek itu saat ini adalah membawa Dhika pulang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
GracyaValSa
Nice thorrr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status